Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Gempa dan Tsunami Pun Kau Politisasi
2 Oktober 2018 10:48 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
Tulisan dari Tasaro Gk Penulis Novel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sedikit renungan.
Ketika gempa terjadi, semua orang berteriak “Astaghfirullah, Allahu Akbar”
ADVERTISEMENT
Tak ada yang teriak, “Pancasila. NKRI Harga mati.”
Sewaktu meme berlatarbelakang warna merah itu pagi-pagi betul dikirim ke WA pribadi, saya sedang menonton berita. Merasakan kehancuran yang sama dengan apa yang dulu menguras air mata pada tsunami Aceh 2004, gempa Jogja 2006, sewaktu liputan wartawan memampangkan gambaran luluh lantak di berbagai pelosok Palu, Donggala, dan daerah-daerah sekitarnya.
Juga rasa haru sewaktu para pesohor dunia menitipkan doa mereka untuk Indonesia. Berbagai pemimpin negara dan agama, atlet olahraga, sampai publik figur. Mereka menuliskan kalimat yang empatik, video yang terasa tulus, keinginan untuk meringankan duka saudara kita di Sulawesi Tengah.
Lalu masuklah meme itu. Meme yang dikirim seorang kerabat dekat. Meme yang begitu membuat saya hampir-hampir kehabisan kalimat.
ADVERTISEMENT
Pikiran saya, meme ini dibuat oleh seseorang atau sekelompok orang yang memang ingin menjaring ikan di air keruh, lalu disebarkan orang-orang yang belum juga paham, kapan mereka mesti berhenti mendebatkan dendam.
Saya tentu saja tidak merasa tersindir dengan meme itu, karena saya tidak pernah memakai frase “Pancasila segalanya atau NKRI harga mati”. Bukan bermakna tidak suka, hanya merasa tidak segaya saja. Ada beberapa komunitas yang memang membutuhkan spirit, yel-yel itu sebagai identitasnya, pengobar semangatnya.
Sedangkan saya, meski acapkali menuliskan tema perihal Indonesia, selalu memilih narasi lain, pilihan kata berbeda, untuk membahas topik yang sama.
Saya sadar, saudara-saudara kita di Palu dan Donggala jauh lebih membutuhkan bantuan kita, bentuk apa pun, doa kita atau bahkan sekadar diam kita dan tidak menambah duka mereka dengan perdebatan yang bukan main kurang ajarnya.
ADVERTISEMENT
Namun, karena meme semacam itu masih saja dibuat dan disebarkan. Pula komentar-komentar lisan yang mengait-ngaitkan bencana alam ini dengan perpolitikan, saya merasa harus bersuara. Setidaknya agar Anda yang memiliki cara berpikir sama, tak merasa sendiri.
Bagi saya, siapa pun yang membuat meme, kalimat langsung, status media sosial, yang menggunakan tema bencana alam, termasuk apa yang tengah menimpa saudara-saudara kita di Sulteng itu, untuk melontarkan kebencian mereka terhadap kelompok tertentu, sungguh cacat psikologinya.
Saya tidak tahu, apakah hari ini orang-orang itu sempat menyetel TV?
Apakah mereka menyaksikan evakuasi Nurul, remaja di Palu yang bertahan 36 jam di dalam kubangan lumpur sembari memeluk jenazah ibunya? Atau adegan anak muda yang menjerit-jerit di hadapan puing-puing yang mengubur ibu dan saudara-saudara kandungnya? Atau Siti Hajat, perempuan muda yang sedang menyiapkan diri untuk mendaftar CPNS dengan teman-temannya, ketika rumah dan jalan di depannya terbelah. Lalu selama lima jam ia berusaha menyelamatkan diri dengan mendaki satu gundukan aspal ke gundukan lainnya ketika tempat berpijak berubah menjadi lubang besar dan api menyala mengejar-ngejarnya?
ADVERTISEMENT
Jika mereka sempat melihat berita itu, juga kisah-kisah pilu lainnya, dan masih mampu membuat meme, status media sosial, komentar lisan, menyeret-nyeret tema bencana alam sebagai bungkus dari niat sesungguhnya untuk terus melanjutkan perdebatan politis mereka, saya tidak tahu apa isi perenungan mereka. Jangan-jangan, bahkan orang-orang ini tidak pernah melakukan perenungan?
Dengan belahan hati sebelah mana, hingga jemari dengan begitu mudah membuat, membagi ujaran-ujaran tendensius yang jauh ... jaauh ... dari kulit kalimat yang disepuh-sepuh.
Bukankah jika memang pembuat meme semacam itu hendak mengajak orang lain merenung, tak perlu dia menambahkan narasi lain yang arahnya sungguh mudah ditebak, yakni membenturkan kelompok-kelompok yang memahami suatu persoalan dengan sudut pandang berbeda?
Mbokya nanti.
ADVERTISEMENT
Setidaknya nanti, setelah semua jasad ditemukan, dimakamkan.
Nanti, setelah para korban selamat menata hati mereka untuk kembali menyemai semangat untuk bangkit lagi.
Nanti, setelah seluruh reruntuhan bisa disingkirkan dan setiap orang memulai kembali kehidupannya dari titik nol.
Begitu tidak sabarkah mereka untuk melanjutkan nafsu ingin menang?
Begitu tak mampukah mereka menahan diri dan membiarkan kemanusiaan menemukan posisinya?
Apakah mereka akan begitu bahagia ketika meme yang dibuat, disebar, membuat orang lain bersorak, mengiyakan ejekan mereka?
Saya kira lebih dari doa yang mana pun, mereka mesti minta kepada Allah, agar dilembutkan hati mereka. Agar dipenuhi kasih sayang bahkan kepada orang atau kelompok yang tidak mereka sukai.
Sayangnya, akan selalu sulit bagi kita untuk tahu siapa pembuat meme-meme semacam itu. Sebab mereka yang membagikannya, akan selalu mengatakan kepada Anda. “Saya hanya dapat dari grup anu. Sekadar untuk renungan kita bersama?”
ADVERTISEMENT
Saya tidak bisa mengukur kebohongan, tapi orang-orang yang beralasan seperti itu, bisa tahu se dalam apa kejujuran mereka sendiri.
Mengapa amat jarang, penyebar meme yang menuai reaksi, somasi, hingga laporan polisi, berani membela isi meme yang mereka bagi? Mengapa tidak mengatakan, “Ini saya dapat dari grup alumni TK, tapi isinya, saya benar-benar menyetujuinya.”
Sebab, jika seseorang membagi sebuah materi melalui WA atau media sosial lainnya, mestinya dia sadar betul apa isinya. Amat aneh jika seseorang merasa terwakili dengan isi sebuah meme tapi berlepas diri ketika meme itu mengundang reaksi.
Pada meme yang pagi-pagi saya terima ini, panjang lebar sebenarnya saya ingin mengulasnya. Namun, hati saya tengah merasakan derita yang sama dengan sesama anak bangsa yang tengah berduka. Sungguh tak sampai hati melakukannya.
ADVERTISEMENT
Mungkin jika ada satu paragraf yang cukup untuk mewakili isi pikiran saya, ingin saya katakan kepada siapa pun yang membuat meme itu, atau mereka yang sekadar membaginya, mengajak orang lain merenung tetapi tidak dirinya sendiri, isinya akan begini....
“Mereka yang membela Pancasila dan NKRI juga salat seperti Anda, bertakbir seperti Anda, mengkaji Al Qur’an sebagaimana Anda. Memberikan tangannya, hartanya, doanya, kepada saudara yang tengah berusaha bangkit dari gempa, tak beda dengan Anda. Jadi, kehendak Anda untuk membenturkan dua entitas itu seperti pisau yang tumpul. Tak akan mengoyak tauhid, tak hendak meruntuhkan kecintaan terhadap tanah air. ”