Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kalau Saya Jadi Ratna
5 Oktober 2018 1:19 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Tasaro Gk Penulis Novel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jika kawan media tidak meyakinkan saya pentingnya isu ini ditulis, saya benar-benar hendak membiarkannya saja berlalu. Mata dan pikiran saya masih ingin ke Palu.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, saya mengiyakan permintaan itu ketika kasusnya telah lebih terang, dan sebisa mungkin saya melepaskannya dari sudut pandang politik praktis. Saya tidak tahu apa-apa tentang politik.
Setidaknya Ratna Sarumpaet sudah bukan bagian tim pemenangan capres manapun. Sehingga pembahasan kasusnya tidak dimaksudkan, atau mudah diartikan, sebagai keberpihakan politik.
Bagi saya, Pilpres itu nanti saja di kotak suara. Setiap orang sudah menentukan pilihan sejak dalam pikiran. Saya tidak hendak bersusah payah memengaruhi Anda dan sama sekali tidak tertarik untuk mengubah ketetapan hati Anda.
Saya hendak menulis perihal Ratna Sarumpaet dari sisi yang barangkali belum dibahas penulis lain. Sisi literasi. Saya biasa menyebutnya Sidik Diksi. Saya percaya jejak kejujuran seseorang tidak hanya ada di sidik jari, namun juga ada pada pilihan katanya.
ADVERTISEMENT
Ini perihal diksi.
Keliru kalau Anda berpikir saya hendak menambahkan caci maki yang sudah meluberi Ratna Sarumpaet beberapa hari ini. Waktu saya menuliskan artikel ini, Ratna baru saja diamankan di Polda Metro Jaya setelah beberapa menit sebelumnya sudah duduk di kursi Turkish Airlines dan hendak terbang ke Chile. Dia tahu, dia akan menghadapi apa sebagai konsekuensi tindakannya.
Sudah, biarkan saja. Saya tidak berminat ikut-ikutan membuat Ratna babak belur di media sosial dan saya yakin, saya tidak merasa bahagia dengan kondisinya betapa pun saya tidak pernah punya pendapat yang sama dengannya. Dalam hal apa pun. Sejak dulu.
Jadi, sudut pandang tulisan ini akan sama dengan cara saya melihat bagaimana beberapa orang atau kelompok memainkan isu gempa dan tsunami di Palu atau suporter bola yang terbunuh di luar Stadion Bandung Lautan Api, Bandung, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Ini perihal kepekaan literasi. Tidak banyak yang mau memahami, gegar informasi yang sedang mengguncang publik negeri ini berawal dari gagapnya kita dalam berliterasi. Sebagian dari kita tidak terlalu akrab dengan teks dan cenderung histeris ketika mendapat berbagai informasi yang meyakinkan. Mudah percaya, mudah membagi, mudah bereaksi.
Jika saja kita tidak gagap literasi, kebohongan Ratna Sarumpaet sangat mudah ditebak, bahkan sejak awal cerita ini mulai meruak--ini jika sedikit saja kita memiliki kepekaan literasi.
Seseorang yang cukup baik dalam berliterasi, akan selalu menemukan keganjilan pada manuskrip yang buruk logika ceritanya. Dia tidak akan mudah percaya, menyertakan emosinya, menjadikan diri sebagai bagian darinya. Tidak akan buru-buru menyebarkannya.
ADVERTISEMENT
Saya akan memulai perbincangan kita dengan mengajak Anda berangkat dari sebuah narasi yang ditulis Nanik S. Deyang. Tulisan Nanik adalah sumber yang dianggap paling valid sejak awal kasus ini mencuat. Banyak media massa mengulang apa yang dia katakan.
Karena Ratna sendiri tidak menampik bahwa seluruh cerita yang ditulis Nanik memang bersumber darinya dan setiap detailnya adalah imajinatif, ya, sudah, saya akan memperlakukannya sebagai cerita pendek saja. Kisah fiksi alias karangan.
Mungkin sebagian orang akan menganggap cerita fiksi itu tidak ada seriusnya. Tentu pendapat seperti itu tidak akan ke luar dari lisan pembaca buku-buku Dan Brown. Selalu ada cerita fiksi yang baik ada yang buruk. Cerita fiksi yang buruk disusun oleh logika cerita yang lemah, berantakan, mudah ditebak, gampang didebat.
Saya ingin mengatakan kepada Anda, fiksi yang ditulis Nanik terlalu banyak bolongnya. Anda akan kebingungan bagaimana cara untuk mempercayainya.
ADVERTISEMENT
Saya bicara perihal materi tulisannya, bukan kemampuan penulisnya. Konteksnya jika Nanik memang betul-betul menuliskan setiap kalimat bersandar pada kesaksian Ratna dan tidak menambah-nambahkan atau mengurang-nguranginya.
Dengan kata lain, dari sudut pandang fiksi, cerita Ratna berlogika lemah. Amat mudah untuk tidak memercayainya. Sama seperti ketika Anda menonton sinetron-sinetron bertema berebut warisan. Anda tidak percaya sama sekali.
Artinya, jika Anda, kok, tetap buru-buru percaya, lalu ikut-ikutan menyebarkannya, Anda perlu lebih banyak membaca novel konspirasi. Ah, bahkan novel-novel romantis pun tetap butuh logika cerita yang kuat, tidak banyak cacat.
Orang bijak bilang, ketika seseorang berbohong, dia akan terus berbohong untuk membuat kebohongannya tampak sempurna. Sebab, kebohongan juga membutuhkan logika cerita.
ADVERTISEMENT
Menulis fiksi begitu juga. Anda sejak awal sadar sedang menulis sesuatu yang fiktif. Sejak kalimat pertama, Anda sedang mengarang cerita. Maka kalimat-kalimat berikutnya Anda akan terus-menerus menambal lubang-lubang cerita sampai cerita itu berakhir.
Anda susah-payah harus meyakinkan pembaca betapa logisnya cerita Anda. Kalau perlu, pajang label “diangkat dari kisah nyata”. Tidak boleh ada lubang yang tak tertambal. Sebab, itu akan merubuhkan cerita keseluruhan.
Karenanya, Anda akan membutuhkan diksi yang sempurna. Pilihan kata yang memuluskan misi Anda. Misi untuk menambal lubang-lubang cerita. Saya akan mengulang beberapa bagian cerita yang disusun Nanik bersandar pada cerita Ratna. Saya akan menunjukkan lubangnya, dan bagaimana seharusnya menambal lubang itu, jika saya jadi Ratna.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, saya memperlakukan cerita Ratna sebagai manuskrip fiksi. Jadi, sejak awal kita sepakat, kita sedang belajar menulis cerpen atau novel. Saya tidak sedang memberi tips bagaimana menyusun kebohongan.
“Mbak Ratna sebetulnya agak curiga saat tiba-tiba dihentikan agak jauh dari keramaian. Nah, saat dua temannya yang dari luar negeri turun dan berjalan menuju Bandara, Mbak Ratna ditarik ke tempat gelap dan dihajar habis oleh tiga orang dan diinjak perutnya,” kata Nanik S. Deyang dikutip portal berita pada Selasa, 2 Oktober 2018 pukul 18.39 WIB dalam artikel berjudul Kronologi Penganiayaan Ratna Sarumpaet versi Wakil Ketua Timses Prabowo-Sandi.
Nanik yang dijadikan sebagai narasumber dalam berita itu sebelumnya menyebut bahwa Ratna ada di Bandung untuk menghadiri sebuah konferensi dengan beberapa perwakilan negara asing di sebuah hotel. Usai konferensi dia dan dua peserta konferensi dari luar negeri, naik taksi menuju bandara. Entah mau pulang ke negaranya atau bagaimana.
ADVERTISEMENT
Itu rumit sekali.
Jika saya jadi Ratna, saya akan memilih sebuah alasan yang lebih sederhana. Misalnya, tokoh saya sedang di Bandung untuk belanja ke Pasar Baru. Tidak usah melibatkan WNA segala. Alasan itu jauh lebih umum dan lebih susah dilacak. Sedangkan konferensi berlevel internasional sudah pasti terdokumentasi dengan sangat ketat oleh pihak penyelenggara dan kepolisian. Lha wong, demo 10 orang juga tanpa surat izin kepolisian menjadi ilegal.
Kecuali, konferensi itu sifatnya diam-diam. Tapi percayalah, ide itu malah akan mendatangkan banyak masalah. Memunculkan lubang-lubang cerita yang lebih banyak.
Alasan mengapa Ratna secara jelas menyebut acara konferensi internasional tentu dia sendiri yang mengerti. Kalau saya yang punya cerita itu, saya akan menuliskannya ketika saya merasa perlu meyakinkan pembaca bahwa tokoh saya cukup sibuk dan punya portofolio keren.
ADVERTISEMENT
“Mbak Ratna sebetulnya agak curiga saat tiba-tiba dihentikan agak jauh dari keramaian.”
Bagi yang sudah familiar dengani Bandara Husain akan hafal dari mana taksi masuk ke area bandara. Bandara ini adalah bandara publik dan militer yang akses masuknya mesti melalui gerbang Pos TNI Angkatan Udara. Jarak dari gerbang ke bandara kurang atau lebih dari 300 meter. Jika ditempuh dengan berjalan kaki sekitar tiga puluh menit.
Kesaksian Nanik tidak menerangkan “agak jauh dari keramaian” itu persisnya sebelum atau sesudah gerbang pos ini. Pastinya, jalan masuk setelah pos memang cukup lengang. Kanan kiri terdapat fasilitas sekolah; SMP Angkasa, IPTN yang terkenal, dan fasilitas lain yang setema dengan angkatan udara.
“Nah, saat dua temannya yang dari luar negeri turun dan berjalan menuju bandara.”
ADVERTISEMENT
Pada kalimat ini, saya kian menemukan banyak lubang cerita yang tidak berusaha ditambal oleh Ratna. Saya lebih menduga, setting lokasi “agak jauh dari keramaian” itu di luar gerbang pos TNI karena area setelahnya adalah jalur yang menurut saya steril dari tindak kejahatan sebagaimana wilayah militer lainnya. (Saya belum menemukan, atau mungkin malah melewatkan informasi pernah terjadi tindak kriminal di rute 300 meter itu).
Kita juga tidak diberitahu siapa “menghentikan” taksi yang mereka tumpangi. Apakah tiga orang laki-laki yang kemudian diceritakan memukuli Ratna? Atau, sopir taksi itu sendiri? Hal yang pasti, setelah taksi berhenti, dua kawan WNA Ratna kemudian turun dan berjalan menuju bandara. Mereka tidak mengajak Ratna. Tidak mengendus bahaya. Kalau saya yang menulis cerita, kedua karakter WNA itu curiga ketika taksi yang mereka tumpangi dihentikan tiga laki-laki asing. Keduanya lalu lapor ke pos TNI, bukannya lanjut jalan kaki 300 meter menuju bandara seolah tidak ada apa-apa.
ADVERTISEMENT
“Mbak Ratna ditarik ke tempat gelap dan dihajar habis oleh tiga orang dan diinjak perutnya.”
Saya benar-benar memikirkan di mana sopir taksi yang mengantar Ratna ketika adegan ini terjadi? Dia termasuk komplotan tiga orang yang menghajarnya habis-habisan atau bukan?
Kalau saya jadi Ratna, saya akan menulis, sopir itu mestinya bukan bagian dari komplotan itu. Sebab, susah juga membangun logika ceritanya. Bagaimana bisa, sopir taksi itu tahu di mana mesti menjemput Ratna lalu mencelakainya?
Maka, Pak Sopir ini harus jadi pahlawan. Dia mestinya berusaha menolong Ratna tapi kalah jumlah. Dia harus benjol-benjol sedikit.
“Setelah dipukuli, Ratna dilempar ke pinggir jalan, sehingga bagian samping kepalanya robek. Dengan sisa tenaga, Ratna mencari kendaraan menuju rumah sakit di Cimahi serta menelepon temannya seorang dokter bedah agar langsung ditangani.”
ADVERTISEMENT
Saya semakin puyeng membaca paragraf ini. Kalau saya letakkan lokasi peristiwa itu di luar gerbang Pos TNI, itu jalan raya besar, ramai. Harusnya saya buat agak jauh lagi dari sana. Tapi kalau terlalu jauh, kasihan dua WNA tadi jalan ke bandara bisa berkilo-kilo meter. Belum lagi soal “menelepon temannya seorang dokter bedah”.
Lagi-lagi kalau saya yang mengarang cerita, saya akan menghindari detail ini. Tapi, jika saya tetap menuliskannya, paling penekanan yang hendak saya sampaikan kepada pembaca, tokoh saya keren dan punya teman-teman superkeren. Dia butuh apa saja langsung mendapatkannya. Bahkan, seorang dokter bedah ketika dia membutuhkannya.
“Mbak Ratna masing sedikit sadar saat kemudian dibopong oleh sopir taksi dan dimasukkan ke dalam taksi. Oleh sopir taksi Mbak Ratna diturunkan di pinggir jalan di daerah Cimahi.”
ADVERTISEMENT
Nah, Pak Sopir muncul lagi. Jadi cerita versi saya tadi lebih masuk akal. Pak Sopir taksi harus berusaha membela Ratna hanya malah ikut dikeroyok. Begitu tiga orang itu pergi, dia lalu membopong Ratna masuk ke taksi. Dia sungguh-sungguh ingin menolong Ratna.
“Oleh sopir taksi Mbak Ratna diturunkan di pinggir jalan di daerah Cimahi.”
Kalau saya yang punya cerita, setelah Pak Sopir susah payah membopong Ratna masuk ke taksi, setidaknya dia harus mengantarnya ke rumah sakit. Menitipkannya ke petugas UGD. Menurunkannya di pinggir jalan di daerah Cimahi itu cacat logikanya. Setengah-setengah kepahlawanannya. Kok, tega sekali ini Pak Sopir, meninggalkan ibu-ibu sepuh penuh luka di pinggir jalan di kota asing. Cimahi tak berapa jauh dari Bandara Husain. Rumah sakit Cimahi juga amat mudah diakses. Mestinya Pak Sopir bisa berbuat lebih dari sekadar “menurunkannya di pinggir jalan”.
ADVERTISEMENT
Nanik memang mengatakan, “Kejadiannya sangat cepat sehingga sulit mengingat bagaimana urutan kejadiannya.“
Kalimat itu seolah-olah menjadi tambal besar untuk menutup semua lubang cerita dalam sekali tempel. Itu benar-benar bisa terjadi di dunia nyata. Namun, justru di dunia fiksi, Anda lebih sering mesti membangun logika cerita yang lebih kuat. Pembaca tidak suka Anda curangi begitu saja.
Nah, kan. Hanya beberapa paragraf saja, Anda menemukan begitu banyak alasan untuk mempertanyakan diksi cerita tadi, bukan? Semakin Anda membaca, semakin banyak lubang lainnya. Detail-detail yang ramai pula dibahas di medsos.
Artinya, sebelum isu ini meledak begitu hebat, dua –tiga hari ini, sebenarnya bisa saja dihindari jika kita cukup punya kesadaran literasi. Jika kita cukup teliti menyidik diksi.
ADVERTISEMENT
Kecuali, memang takdirnya memang mesti begini. Bagus juga supaya kita semakin peduli pentingnya kepekaan literasi.