Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kalimat Tauhid, Santri, dan Tumpulnya Kepekaan Kita
24 Oktober 2018 14:59 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Tasaro Gk Penulis Novel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apa iya sebagai bukti saya mencintai negeri ini lantas saya mesti membakar bendera yang saya yakini sebagai bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)?
ADVERTISEMENT
Seidentik apa bendera yang dibakar oknum dalam peringatan hari santri di Garut beberapa waktu lalu dengan bendera yang kerap disertakan dalam publikasi HTI, masih perlu pembuktian.
Namun, dalam artikel Dakwatuna.com, juru bicara HTI sebelum dibubarkan, M. Ismail Yusanto, memberi keterangan resmi bahwa HTI tidak mempunyai bendera. “Substansinya, La Ilaha illallah, inti ajaran Islam, bendera persatuan umat Islam di seluruh dunia,” kata Ismail.
Ia menegaskan bahwa yang dibakar dalam kasus di Garut tersebut adalah Ar-Roya, panji Rasulullah, bendera berwarna hitam yang bertuliskan kalimat Tauhid; kalimat yang mengesakan Allah.
Sebaliknya, Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas memastikan bahwa bendera yang dibakar dalam insiden di Garut adalah bendera HTI bukan bendera Tauhid. Meski sama-sama bertuliskan kalimat pengesaan Allah, bendera HTI memiliki ciri khas dalam tipografi atau khat-nya.
ADVERTISEMENT
“Dalam persidangan pun orang HTI sendiri menunjuk bahwa bendera itu (identik dengan bendera yang dibakar di Garut) bendera resmi HTI,” kata Gus Yaqut dalam konferensi pers dan ditayangkan Kompas TV.
Saya punya sejarah personal cukup panjang dengan HTI dan bisa memahami api perjuangan kawan-kawan di kelompok ini, meski tidak menyepakati sudut pandang dan narasi yang mereka kampanyekan.
Berbeda setajam apa pun tidak pernah membuat saya berpikir hendak membakar atribut yang melekat pada gerakan anak-anak muda penuh ilmu dan kepatuhan itu. Bahkan, setelah mereka dibubarkan sekalipun.
ADVERTISEMENT
Butuh energi ketidaksukaan yang luar biasa untuk membakar atribut yang identik dengan kelompok tertentu. Ketidaksukaan yang kemudian membuat seseorang bisa terpeleset pada perbuatan yang tidak sungguh-sungguh dia pahami. Ketidaksukaan atau justru ketidaktahuan dan ketidakpekaan.
Kasus ketidaktahuan sekaligus ketidakpekaan pernah melatari kehebohan penayangan karikatur ISIS di koran The Jakarta Post pada 2014 lalu. Karikatur yang konon juga tayang di berbagai media di Mesir dan Thailand.
Sebuah adegan kartun seorang anggota ISIS yang sedang mengeksekusi sekelompok orang. Lalu, sebuah bendera yang identik dengan ISIS bertuliskan kalimat Tauhid dilengkapi dengan gambar tengkorak di atasnya.
Kasus itu mengemuka. Membuat gejolak, sampai kemudian pemimpin redaksi The Jakarta Post, Meidyatama Suryodiningrat, menjadi tersangka penodaan agama.
ADVERTISEMENT
Sebagian orang mungkin berpendapat penayangan ilustrasi kritis itu sebagai suatu kesengajaan. Misi yang memang hendak dijalankan. Sebagian lain menilainya sebagai keteledoran, ketidaketisan. Sisanya menilai biasa saja.
Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) mengkritisi penetapan pimred sebagai tersangka dan menyatakan penayangan karikatur tersebut 'hanya' melanggar kode etik jurnalistik saja.
Belum lama ini, saya mempresentasikan sebuah buku bacaan anak tentang perjalanan hidup Nabi Muhammad saw, lalu editor kepala penerbit yang identik dengan kaum non-Islam di depan saya bertanya, “Tapi bukankah Nabi Muhammad tidak boleh divisualisasikan, Mas?”
“Ya,” jawab saya sambil menunjukkan kaligrafi bertuliskan nama Rasulullah saw. ”Ini sebagai gantinya.”
Pak kepala editor itu lanjut bertanya, ”Kalau tulisan ini apa artinya?”
Semoga Anda menemukan hubungan kedua hal di atas, meski sedikit. Kenyataannya, ada sebagian orang yang hidup di sekeliling Anda memang benar-benar tidak tahu apa yang Anda yakini, apa yang Anda imani, apa yang Anda tahu.
ADVERTISEMENT
Menjadi permasalahan kemudian ketika ketidatahuan itu memelesetkan seseorang dalam kesalahan. Hanya karena kurang bertanya, kurang membaca, kurang meriset.
Kejadian yang mirip-mirip, pada tingkatan yang lebih spesifik, terjadi bersamaan dengan pembubaran HTI oleh pemerintah. Ketika harian lokal, Radar Sukabumi (RS), memuat gambar 'epik' di halaman pertamanya, seekor burung yang mempresentasikan Garuda Pancasila, mencabik-cabik bendera Al-Liwa yang dianggap identik dengan HTI.
Ilustrasi itu menjadi polemik, lalu redaksi RS membuat permintaan maaf yang intinya menyebut tidak ada niat untuk melecehkan kalimat Tauhid sama sekali. Hal yang ingin disampaikan justru sebuah kritik kepada pemerintah, ketika negara berbuat arogan dengan membubarkan HTI.
Pada argumentasi ini pun sebenarnya Anda mungkin sedikit pening ketika diminta berpikir sama bahwa Garuda Pancasila yang merupakan lambang negara Indonesia selamanya disamakan dengan pemerintah yang sudah pasti selalu akan berganti; datang lalu pergi. Sebuah analogi yang tidak sempurna, bahkan cenderung memicu persoalan baru.
ADVERTISEMENT
Saya cukup percaya siapa pun yang menulis redaksi permintaan maaf itu orang-orang yang sangat saya kenal pada masa lalu.
Sebab, beberapa belas tahun lalu RS adalah bagian langsung dari Radar Bogor, almameter saya. Bahkan, halaman Sukabumi pernah cukup lama saya supervisi. Selama diberi tanggungjawab itu pun saya berkali-kali melakukan kesalahan.
Berita yang diulang, pengeditan tak standar, informasi sumir tapi tayang. Apa pun kesalahan yang berasal dari keteledoran namun bisa jadi oleh pembaca dianggap sebagai masalah serius bahkan tendensius. Usia saya waktu itu 21 atau 22 tahun. Redaktur ingusan yang amat mentah dalam pengetahuan dan kepekaan.
Saya hanya ingin menyampaikan, saya cukup mengenal para jurnalis di belakang layar di RS yang hampir seluruhnya Muslim dan tidak mungkin berniat melecehkan inti ajaran agama mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Maka saya cukup percaya, penayangan ilustrasi itu lebih dikarenakan ketidakpekaan. Ketidakpekaan yang memelesetkan pada sebuah kesalahan fatal. Bahkan, ketika Anda seorang Muslim, tidak lantas Anda akan sangat akrab dengan sejarah peradaban Islam dan apa-apa yang diwariskan.
Kepekaan Anda belum tentu terasah ketika memilih apa yang terlalu sensitif untuk disampaikan, sudut pandang apa yang lebih moderat, dan apa yang mesti Anda hindari. Bahkan, ketika Anda benar-benar mencintai agama ini dan mempraktikkan ibadah yang dicontohkan Sang Nabi.
Lalu bagaimana dengan kejadian di Garut?
Dalam konferensi pers yang turut ditayangkan Kompas TV, Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas mengakui pembakaran bendera hitam bertuliskan kalimat Tauhid itu dilakukan oleh oknum anggota Banser (Barisan Ansor Serbaguna Nahdlatul Ulama).
ADVERTISEMENT
Namun, Gus Yaqut menegaskan anggotanya tidak bermaksud membakar kalimat Tauhid karena dalam pemahaman si pembakar, ia sedang memusnahkan bendera HTI, organisasi yang sudah dibubarkan dan dilarang oleh pemerintah.
“GP Ansor sangat jelas arahannya. Bahkan, sebelum HTI dibubarkan pun, kami meminta kepada kader agar tidak bertindak sepihak. Ketika melihat bendera HTI tidak boleh sembarangan menurunkannya. Cukup foto, laporkan polisi, kawal kasus hukumnya,” begitu inti pernyataan Gus Yaqut.
Artinya, pembakaran bendera yang diyakini milik HTI oleh tiga kader Banser itu meleset dari prosedur organisasi. Masih kata Gus Yaqut, bendera yang identik dengan HTI itu dikibarkan oleh orang tidak dikenal yang kemudian disita oleh Banser. “Setelah benderanya disita, orang-orang itu dilepas. Sekarang polisi sedang melacaknya,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Jika Anda pernah berkeliling ke berbagai pesantren, termasuk yang bernapas NU (Nahdlatul Ulama), Anda akan menemui anak-anak sejak usia PAUD yang disantrikan, lepas subuh terkantuk-kantuk mengantre mandi di sungai, belajar kitab sepanjang hari, dan mengisi malam dengan mengaji.
Mereka ini, kepada guru hormatnya bukan main. Mendengar suara terompahnya saja langsung berdebar-debar. Takut salah bersikap. Bagi saya yang terbiasa bersekolah di lembaga sekuler, sikap semacam itu menakjubkan. Seperti masuk ke peradaban yang sudah hilang.
Dengan disiplin keilmuan yang sudah pasti didominasi kitab berbahasa Arab, saya rasa sangat tidak mungkin bagi seorang santri tidak bisa membaca kalimat Tauhid, meski ditulis dengan gaya kaligrafi rumit.
ADVERTISEMENT
Jika terhadap bunyi terompah para guru saja mereka begitu takzim, apakah Anda sampai berpikir mereka akan begitu kurang ajar melecehkan tulisan yang menjadi inti ajaran yang mereka pelajari sejak menjadi anak PAUD terkantuk-kantuk mengantre mandi di kali?
Bagi saya, itu tidak termakan akal.
Kita mungkin perlu bertanya lebih jauh, pelaku pembakaran ini apakah benar-benar seorang santri? Berapa usianya? Apakah dia cukup matang dalam berpikir dan memperkirakan akibat dari tindakannya?
Atau, jika benar dia seorang santri dan usianya pun bukan anak-anak lagi, bagi saya amat menarik untuk mengetahui, bagaimanakah dia memahami fenomena HTI? Apakah di benaknya begitu otomatis sebuah komunitas yang dilarang oleh pemerintah lalu layak dimusnahkan sampai ke simbol-simbolnya?
Apakah ketidaksamaan cara pandang baginya tidak cukup diutarakan dalam diskusi-diskusi yang lebih mencerdaskan?
ADVERTISEMENT
Bahkan jika setiap pertanyaan itu terjawab pun, saya tidak akan pernah menganggap perilaku kontroversial itu mewakili anak muda-anak muda NU secara keseluruhan. Baik dalam hal pengetahuan maupun kepekaan.
Justru karena saya tidak lahir dan besar dalam tradisi NU, maka saya merasa punya posisi cukup objektif untuk memandang. Bahwa, sebelum saya bergaul dengan para santri, mengenal para Lora, dan cendekiawan-cendekiawan muda NU lainnya, saya punya penilaian yang tak adil terhadap cara dakwah mereka.
Tentu saja, Anda akan memperoleh pencerahan ketika Anda ke luar dari zona nyaman. Perlahan-lahan ketidaktahuan saya terhadap cara dakwah NU berubah menjadi sebuah ketakjuban.
Di Pesantren Tambak Beras, Jombang, misalnya, saya berkaca-kaca mendengar para santri menyanyi Hubbul Wathon Minal Iman, yang amat mewakili perasaan saya perihal bagaimana meletakkan agama saya dalam bingkai Indonesia.
ADVERTISEMENT
Lagu penuh keimanan itu menginspirasi pendengarnya perihal para ulama masa lalu yang susah payah membuat formula terbaik untuk membumikan Islam dalam konteks Nusantara. Titik yang dimulai sejak 800 tahun sebelum Islam menjadi entitas yang mulai mapan.
Ada degup Tauhid sekaligus kebangsaan yang saya rasakan. Merasa bersyukur mengikat iman Islam dan menjadi seorang Indonesia, pada waktu bersamaan.
Lagu yang sama dinyanyikan gegap gempita sebelum terjadinya insiden pembakaran bendera di Garut. Dalam kerumunan massa, dalam entakan lagu cinta tanah air dan agama, maka hal-hal yang dianggap justru bersemangat sebaliknya, bisa jadi memicu reaksi yang tak terduga.
ADVERTISEMENT
Pada peristiwa ini, berkibarnya bendera yang dipahami sebagai lambang gerakan HTI, gerakan yang sudah divonis anti-NKRI.
Bahkan, mungkin kita tidak akan pernah tahu siapa yang membawa bendera itu. Apakah dia sungguh-sungguh berniat memprovokasi atau dia sendiri tidak mengerti betapa berisiko inisiatifnya disalahpahami?
Sebab, bunyi bendera itu adalah kalimat Tauhid yang sama-sama diimani oleh pembakarnya. Alangkah pedihnya jika kelak kita mengetahui, seseorang yang membawa bendera itu bersemangat sama dengan sang pembakarnya, lalu insiden menyedihkan itu terjadi kerena keterburu-buruan.
Maka, bagi saya, kejadian ini tetaplah memilukan. Ketidakpekaan yang amat disayangkan. Namun, saya tidak akan meletakkannya sebagai sebuah peristiwa yang menyerang agama saya, syahadat saya.
Anda akan terperangah ketika tahu betapa sepanjang sejarah manusia tidak sedikit kesalahpahaman, keterburu-buruan, mampu membelokkan pendulum peradaban, tak terkecuali dalam sejarah Islam.
ADVERTISEMENT