Cinta Tanpa Syarat buat Capres Kita

Tasaro Gk  Penulis Novel
Juru Cerita, penulis novel tetralogi Muhammad saw., pengajar jurnalistik, guru PAUD.
Konten dari Pengguna
9 Desember 2018 15:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tasaro Gk Penulis Novel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi surat cinta (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi surat cinta (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Alangkah terlalu sering kita mendengar jargon ‘cinta tanpa syarat’ dalam kisah romansa dan cerita muda-mudi yang melelehkan air mata. Lebih sering kita gagal menemukan pembuktiannya.
ADVERTISEMENT
Cinta tanpa syarat, dalam relasi dua anak manusia, sempurna dalam puisi dan prosa tapi hampir-hampir tak mungkin dicarikan eksistensinya dalam kehidupan nyata. Anda mencintai kekasih anda tanpa syarat, tetapi tak rela jika dia mendua.
Anda mencintai seseorang tanpa syarat tapi kecewa jika tak mendapatkan cintanya. Lebih menyedihkan ketika ‘cinta tanpa syarat’ itu tak berlaku ketika ekonomi keluarga memburuk, sewaktu segala kebutuhan terasa mahal, mimpi membumbung tinggi.
Jadi, masih relevankah cinta tanpa syarat itu? Sebab, rasa-rasanya, cinta akan selalu mempunyai syarat.
Sembari hampir putus asa, kita akan mengatakan, cinta tanpa syarat hanya ada pada relasi Tuhan dan ciptaan-Nya, Nabi dengan umatnya, ditambah orang tua kepada anaknya. Jenis relasi ketiga belakangan mulai memunculkan banyak anomali.
ADVERTISEMENT
Namun, ada relasi yang sangat menarik, bagi saya, sejak beberapa tahun ini membuat pembuktian yang mengagumkan bahwa cinta tanpa syarat itu ada dalam kehidupan nyata. Cinta pemilih kepada calon presiden (capres).
Saya sudah sampai pada sebuah simpulan bahwa rasionalitas hanyalah pintu masuk bagi setiap pemilih pemimpin negeri ini. Sebab, setelahnya, cinta tanpa syarat mengambil alih semua alasan untuk menentukan pilihan.
Siapa pun Presidennya, tetap saja kita cari makan sendiri-sendiri. Memangnya presiden akan menjamin kehidupan pemilihnya? Kalau kita pilih apa iya dia akan ingat kita? Ngapain mati-matian membela?” komentar seorang kawan lama yang beda pilihan dengan saya.
Dia tampak seperti sedang menjaga perasaan saya dengan meninggalkan komentar semacam itu di status media sosial saya. Tak beberapa lama, dia misuh-misuh di akunnya sendiri. Mencaci-maki dengan arah ke capres yang berbeda dengan pilihannya.
ADVERTISEMENT
Kebanyakan dari kita akan mengatakan itu. Terutama ketika kita hendak menghindari perselisihan dengan seorang kawan. “Toh, bukan Presiden yang memberi makan kita.”
Jokowi (kiri) dan Prabowo (kanan) bergandengan usai menandatangani deklarasi kampanye damai Pemilu 2019 di Monas, Jakarta, Minggu (23/9/2018). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi (kiri) dan Prabowo (kanan) bergandengan usai menandatangani deklarasi kampanye damai Pemilu 2019 di Monas, Jakarta, Minggu (23/9/2018). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Tidak perlu berbicara dalam bingkai politik ekonomi yang lebih luas. Kenyataannya, setiap kejadian politik berpengaruh kepada kehidupan setiap warga negara. Namun, kali ini mari berandai-andai dalam logika yang lebih sederhana.
Bagaimana jika presiden memang ‘memberi makan’ kita?
Itu benar-benar terjadi ,bukan? Siapa pun yang berada dalam lingkaran dekat capres yang kemudian menang hampir bisa dipastikan akan mendapatkan imbalan. Apa pun bentuknya. Bisa jabatan, pengaruh, pekerjaan. Jadi, sangat wajar jika mereka rela memberikan cintanya kepada Sang Capres.
Lalu, cintanya tak bergaransi jika hal-hal yang menjadi persyaratan tak terpenuhi. Artinya, jika pertimbangan memilih presiden adalah dia memberi makan Anda atau tidak, maka urusan ‘makan’ tadi adalah syarat kesetiaan.
ADVERTISEMENT
Pengelola sebuah sekolah di lingkungan saya secara halus memengaruhi para wali murid agar cenderung ke salah satu capres. Bukan kebetulan jika capres itu tampaknya tidak akan saya pilih.
Namun, ikhlas hati saya katakan bahwa saya sangat menghargai pengelola sekolah tadi. Dalam beberapa obrolan, saya hanya mendengarkan. Tidak mendebatnya sama sekali.
Saya juga mengelola sekolah. Oleh karenanya, saya mengerti sungguh-sungguh bahwa mengelola institusi pendidikan tidak bisa membuat Anda kaya raya ketika Anda adalah seorang idealis. Bapak pengelola sekolah yang saya bahas ini seorang idealis. Idealis dalam konteks pendidikan; filosofi mendidik, metode mendidik, praktik mendidik.
“Kalau capres kita menang, sawah di belakang sekolah itu akan dihibahkan ke yayasan. Kita bisa manfaatkan untuk memperluas sekolah,” kata pak pengelola.
ADVERTISEMENT
Pak pengelola mengatakan kepada saya, sawah itu punya salah seorang calon legislatif (caleg) dari partai yang sama dengan salah satu capres. Dia tidak menjelaskan, jika capres yang dia rekomendasikan menang, sedangkan calegnya kalah, apakah janji hibah sawah itu masih berlaku.
Sudah campur aduk memang. Sebab, pak pengelola ini punya alasan yang lebih idealis ketika ia menyatakan dukungan kepada salah satu capres. Alasan itu yang selalu diulang-ulang dalam pertemuan denga orang tua murid, kajian-kajian, dan pertemuan informal lainnya.
Orang tua murid mau tak mau menyimak, meski saya rasa tidak berarti langsung memengaruhi preferensi politik mereka. Namun, saya rasakan benar, keluarga pengelola sekolah itu memang punya semangat idealisme yang sangat bulat. Artinya, hal berkaitan janji hibah sawah itu, menurut saya, hanya bonus semata.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, saya tidak tahu juga, apakah jika yang menjanjikan hibah sawah adalah capres yang satunya, ia otomatis akan menolaknya.
Namun, kalau pun dia menerima, kok, saya tetap bisa memahaminya. Maksud saya, mengelola sekolah itu tidak bisa idealis dari segala aspek jika memang ingin melakukan lompatan-lompatan.
Selalu ada yang dikorbankan. Bisa orang tua murid, ketika mereka harus membayar biaya pendidikan yang mahal bukan main. Bisa muridnya sendiri, ketika mereka mesti menempuh metode pendidikan yang terlalu berat demi mengejar kualitas yang ditargetkan, atau itu tadi, masuknya kepentingan politik ke ranah pendidikan.
Terkecuali seperti PAUD yang kami kelola dan sampai sekarang, ya, begitu-begitu saja. Bebas dari intervensi mana pun tapi berkembang dengan lambat.
ADVERTISEMENT
Hal yang coba saya sampaikan adalah mereka yang diberi ‘makan’ dalam konteks berbeda-beda, belakangan memang jauh lebih luas cakupannya, dan tidak selalu berhubungan langsung dengan capres yang sedang diperjuangkan. Mungkin karena pemilu serempak yang membuat pilihan terhadap capres dan caleg menjadi lebih identik.
Namun, jumlah mereka yang ‘diberi makan’ amat sedikit jika dibandingkan seluruh pemilih dalam pemilihan presiden. Barangkali, tidak ada satu persennya. Maka itu, kira-kira 99 persen pemilih dalam kontes pilpres memberikan suaranya, kepercayaannya, cintanya, bukan karena urusan ‘makan’ tapi oleh karena cinta yang sesungguhnya. Cinta tanpa syarat.
Ketika ini terjadi, rasionalitas hanya mendapatkan sedikit ruang dalam pikiran. Entitas yang ada hanya cinta. Oleh karenanya, jika Anda mencoba meyakinkan kawan Anda yang sudah jatuh cinta untuk berpaling dari cintanya, itu tidak akan membawa Anda ke mana-mana.
ADVERTISEMENT
Ketika seorang capres belepotan Bahasa Inggrisnya, itu alasan bagi mereka yang tidak memilihnya untuk mengejek dia. Namun, bagi pencintanya, itu biasa saja. Sebab, kata mereka, presiden dicintai karena kesungguhannya bekerja, bukan kefasihan Bahasa Inggrisnya.
Sewaktu seorang capres beberapa kali terpeleset saat berbicara, para pecinta akan memberikan pemakluman bahwa latar belakangnya yang tegas dan tak mengenal basa-basi menjadi penyebabnya. Itu tidak ada hubungannya dengan kecerdasan dan kompetensinya dalam memimpin.
Cinta akan selalu memberi pemakluman. Cinta tanpa syarat itu sungguh-sungguh ada, tampaknya.
Mau sekuat apa pun badai informasi yang merugikan capres yang anda dukung, Anda akan selalu menemukan jalan ke luar untuk melihatnya sebagai hal yang positif. Jika fakta yang dibeberkan melunturkan nilai sang capres pada ranah intelektualitas anda, maka anda akan mulai mempertanyakan validitas fakta itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Anda bukan kehilangan nalar kritis, melainkan sekadar menemukan logika baru untuk membela cinta anda. Cinta tanpa syarat.
Anda tidak perlu mendapatkan balasan dari cinta yang anda berikan. Anda hanya ingin mengantar capres yang anda cintai untuk sampai ke puncak kekuasaan. Anda bahagia saja melihatnya memenangkan pertarungan. Cinta tanpa syarat.
Anda sanggup mengorbankan apa saja demi cinta yang anda bela. Tali pertemanan yang melegenda, silaturahim keluarga yang kuat, kesamaan DNA yang tak bisa ditolak. Anda siap kehilangan itu semua asal cinta yang anda bela menemukan kehormatannya. Cinta tanpa syarat.
Anda siap menciptakan narasi apa pun ke dalam konteks cinta anda, dari cerita pewayangan hingga kisah keagamaan untuk menyalakan semangat perjuangan dan menomorduakan dampak-dampaknya. Sebab, setiap perjuangan membutuhkan pengorbanan. Cinta tanpa syarat.
ADVERTISEMENT
Tantangan berikutnya yang mesti kita jawab adalah benarkah setiap kita sanggup melakukan itu semua sungguh-sungguh oleh karena cinta?
Jangan-jangan alasannya justru sebaliknya, kita memperjuangkan ini semua karena benci.
Jangan-jangan, kita tidak sungguh-sungguh cinta kepada capres pilihan kita tetapi sungguh-sungguh benci terhadap capres yang tidak akan kita pilih. Alasan kita menentukan pilihan bukan karena kita yakin keunggulan capres yang kita perjuangkan melainkan oleh sebab ketidaksukaan kita terhadap capres yang kita hindari. Kita tidak tahu betul apakah alasan kita membenci. Mungkin, kita bahkan tidak merasa perlu punya argumentasi untuk membenci.
Sebab, kita sedang membenci tanpa syarat.