Menggadang The Voice Bergoyang

Tasaro Gk  Penulis Novel
Juru Cerita, penulis novel tetralogi Muhammad saw., pengajar jurnalistik, guru PAUD.
Konten dari Pengguna
4 November 2018 10:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tasaro Gk Penulis Novel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Duduknya Anggun sebagai salah seorang pelatih di kursi panas The Voice Indonesia membuat saya, dan mungkin banyak penonton TV yang lain, ikut menghitung mundur tayang perdana program pencarian bakat musik itu 1 November lalu.
ADVERTISEMENT
Diberitakan Kumparan.com penyanyi Indonesia yang kini telah menetap di Prancis itu berkomitmen menjadi pelatih di The Voice Indonesia meski tetap akan tampil sebagai juri di Asia's Got Talent.
"Serunya kenapa ya? Ya, dapat teman juri yang yang kayak gini. Kayak aku sama si Armand, dari dulu sudah bareng. Sama Mbak Titi juga aku emang nge-fans. Cuma Vidi dan Nino aja ya, buat aku yang anak baru," ungkap Anggun saat ditemui saat konferensi pers The Voice Indonesia di MNC Tower, Kebon Jeruk, Jakarta Barat dikutip kumparan.com.
Tetapi dengan ekpektasi yang berlimpah, saya merasa gegap gempita yang saya harapkan akan meletup pada episode pertama tidak terjadi. Selain persoalan editing yang tak menempatkan prolog apa pun pada pembukaan acara, saya merasa kimia antara para juri masih belum seseru yang saya bayangkan.
ADVERTISEMENT
Setidaknya, ketika dibandingkan dengan saling saut antara Armand Maulana, Glenn Fredly, dan Giring Nidji pada musim perdana pada 2013 lalu, babak “audisi buta” merebut pilihan para kontestan antara Anggun, Titi DJ, Arman Maulana, dan duo Vidi Aldiano & Anindyo Baskoro masih perlu diusahakan. Duo Vidi dan Nino entah bagaimana, menurut saya, menyodorkan gaya milenial yang belum terlalu berhasil.
Mungkin, Titi Dj dan Armand cukup tampil lepas dan seru dengan gayanya sendiri-sendiri. Tetapi, saya tetap merasa gaya pethakilan Armand yang segar jadi gayung yang belum bersambut. Ricuhnya adegan setiap Armand berebut kontestan dengan Giring dan Glenn pada musim perdana, tidak tampak di musim ini. Sebab, Anggun memainkan peran divanya dengan sempurna. Agak mirip-mirip dengan posisi Sherina pada formasi awal para pelatih, namun ya, lebih bernyawa. Tidak jaim hanya terasa belum sepenuhnya panas.
ADVERTISEMENT
Untungnya Titi DJ yang sudah sangat berpengalaman menjadi juri ajang pencarian bakat sejak Indonesian Idol memosisikan dirinya dengan baik. Meski berstempel diva Indonesia, dia cukup berbagi peran dengan Anggun sehingga karakter yang dimainkan tidak bertubrukan. Titi yang keibuan, jenaka, berkostum heboh, punya garis karakter yang berbeda dengan Anggun.
Mungkin duo Vidi & Nuno juga tidak buruk. Mereka berusaha sangat keras untuk mengimbangi para pelatih lainnya, hanya memang saya merasa kombinasi juri saja yang belum ketemu formula saling mengisi dengan sempurna.
Bagi pemirsa yang mengikuti benar berbagai jenis ajang pencarian bakat tentu maklum, The Voice adalah pertunjukan paling panas di Amerika. “Perseteruan” Adam Levine dan Blake Shelton selama 15 musim tayang terutama di babak audisi buta melegenda. Itu mengapa, meski dua kursi pelatih yang lain terus menerus berubah-ubah , Adam dan Blake tidak tergantikan.
ADVERTISEMENT
Diadaptasi dari ajang The Voice of Hollad, dari semua waralaba-nya, The Voice versi Amerika yang paling dikenal dunia. Sayang di Indonesia, kehadirannya pada tahun 2013 terhitung tak terlalu berhasil menggantikan masa kejayaan Akademi Fantasi dan Indonesian Idol. Dua ajang pencarian bakat ini pernah begitu jaya memaku jutaan penonton di depan TV, namun daya tariknya terus memudar meski berbagai pembaharuan dilakukan.
Sedangkan The Voice Indonesia boleh dibilang belum pernah benar-benar “mekar” sejak musim pertama tayang. Musim ketiga ini, The Voice hadir di GTV setelah sebelumnya tayang di Indosiar dan RCTI secara berurutan. Para pelatih yang terdiri dari figur-figur musik papan atas Tanah Air tetap tak berpengaruh terlalu besar terhadap antusiasme publik. Kaka Slank, Agnez Mo, Ari Lasso dan Judika pernah menjadi pelatih pada musim-musim sebelumnya. Tetap saja secara rating, popularitas acara, dan kesuksesan para pemenangnya terhitung lirih gaungnya.
ADVERTISEMENT
Kita masih mendapati Fatin, Rini Wulandari, Judika, Ihsan, Firza, setidaknya, di dunia hiburan Tanah Air. Mereka adalah para jebolan Indonesian Idol dan X Factor. Namun, publik mungkin sayup sampai menyimak karya musik Billy Simpson dan Mario G Klau. Keduanya adalah pemenang The Voice Indonesia dua musim perdana.
Setelah kelahiran kembali Indonesian Idol yang tak segegap gempita musim-musim sebelumnya dan hilangnya X Factor yang pernah begitu fenomenal, datangnya The Voice 2018 tentu menjanjikan sesuatu yang baru. Sayang, bagi saya, itu belum tampak menjanjikan pada episode perdananya. Terutama dalam hal “ceng-cengan” para pelatihnya. Ditambah gaya Omesh yang terlalu jenaka dan kursi para pelatih yang pelan benar berputarnya.
Sejak menonton The Voice versi Amerika dan takjub dengan keberhasilan mereka menggusur American Idol dari hati penonton TV, saya cukup yakin hal yang sama bisa berlaku di Indonesia. Sebab, sistem kompetisi The Voice benar-benar baru dan menarik. Berbeda dengan ajang serupa ketika para juri hanya bertugas menyeleksi dan menilai penampilan peserta, The Voice melibatkan para pelatih untuk benar-benar melahirkan penyanyi baru. Memilih mereka dengan rasa hormat, melatihnya nada demi nada, lalu menampilkannya di depan pemirsa. Keintiman ini memang mirip-mirip yang tampak di X Factor. Bedanya, The Voice memberi kesempatan para peserta untuk menentukan sendiri siapa pelatihnya. Terasa lebih personal dan hangat.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu. Ada satu hal dari The Voice versi Amerika yang menurut saya sangat-sangat pas diadaptasi di Indonesia dan punya peluang meningkatkan kesuksesan acara itu dengan sangat mencolok.
Sentuhan yang saya maksud adalah Blake Shelton. Superstar musik country itu menjadi aksen yang mencolok di The Voice. Bahkan, meski American Idol memasang Keith Urban dan Luke Bryan yang juga berlatar belakang country, namun kehadiran Blake Shelton di The Voice jauh lebih menonjol. Dengan sistem kompetisi yang intim antara pelatih dan peserta, unsur country di The Voice pun jauh lebih kental dan menentukan dibanding di American Idol. Bahkan, meskipun American Idol melahirkan beberapa juara beraliran country, salah satunya Carrie Underwood.
ADVERTISEMENT
Country adalah genre musik khas Amerika yang berproses hingga mapan selama hampir seratus tahun. Istilah country dipakai sejak tahun 1940-an, mengangkat derajat genre yang sebelumnya disebut hilbilly itu. Publik dunia mungkin tak semua akrab dengan country namun siapa tak kenal Elvis Presley? Sebelum dikenal sebagai raja rock n roll, Elvis adalah penyanyi country. “Musikku hanyalah musik country yang melompat-lompat,” kata Elvis seperti dikutip Wikipedia.
Sebagian besar penyuka musik dunia tahu lagu Whitney Houston “I Will Always Love You” tapi sedikit di antaranya yang tahu, versi orisinal lagu ini berirama country dan dinyanyikan Dolly Porton. Perempuan penyanyi paling sukses di Amerika saat ini Taylor Swift pun rupanya bergenre asli country. Musiknya para cowboy.
ADVERTISEMENT
Lalu apa relevansinya dengan Indonesia? Seperti kata Project Pop, “Dangdut is the music of my country”. Maka, padanan paling relevan musik country bagi penikmat musik Amerika adalah dangdut bagi publik Indonesia. Siapa yang hendak berdebat betapa dominannya musik dangdut dalam industri musik tanah air? Seperti country yang bertranformasi dari jenis musik yang dianggap kampungan, dangdut pun belakangan semakin mahal.
Country benar-benar mengingatkan Anda terhadap dangdut. Bukan hanya karakternya yang merakyat, model lirik lagunya pun mirip. Sama-sama mengeksplorasi suasana sehari-hari. Apa yang dialami setiap orang sejak bangun tidur hingga tidur lagi. Dari sisi teknis pun mirip-mirip. Maksud saya, para penyanyi country, meski kemudian bernyanyi dengan berbabagai aliran musik, tetap terendus akar musiknya oleh karena warna suara si penyanyinya.
ADVERTISEMENT
Penyanyi country laki-laki bersuara sengau-sengau semacam penyanyi dangdut pria yang membuat semua lagu jadi berwarna Melayu. Sedangkan penyanyi perempuan punya cengkok khas yang tipis lembut yang mengingatkan Anda kepada ujung nada Ebiet G. Ade. Lembut dan tipis. Anda bisa mengecek “How Do I Live” Thrisa Yearwood yang sempat masyur sezaman dengan “My Heart Will Go On”nya Celline Dion.
Ike Nurjanah saya kira menjadi duta dangdut paling sering yang menelusup di berbagai genre lagu. Bermusik pop, caranya bernyanyi yang tetap bercengkok membuat siapa pun tahu dia penyanyi dangdut. Seperti mendengarkan “you’re still the one” Shania Twain yang ngepop tapi tetap country. Juga lagu-lagunya yang lain seperti “From This Moment” atau “You’ve Got Away”.
ADVERTISEMENT
Dangdut adalah genre musik paling luwes yang mampu kawin dengan jenis musik apa pun. Dalam ulasan musik www.kumparan.com, disebutkan bahwa Rhoma Irama adalah representasi ideal untuk membahas dangdut dengan sentuhan rock alias rockdut. Sebagai contoh, pada lagu 'Bujangan', Rhoma memasukkan petikan gitar berdistorsi di dalam lagunya.
"Rhoma memasukkan unsur rock termasuk pada gitar elektriknya di mana kepala gitarnya Rhoma itu hilang. Itu adalah karakter dari gitar rock," jelas pengamat musik, Bens Leo.
Tidak hanya rok, aliran R&B pun mewarnai dangdut lewat lagu-lagu Erie Suzan. Paling kontemporer sudah pasti dua pedangdut perempuan ini membuat geger masyarakat Indonesia. Mereka adalah Via Vallen yang terkenal lewat lagu 'Sayang' dan Nella Kharisma dengan lagu 'Jaran Goyang'.
ADVERTISEMENT
Single 'Sayang' telah ditonton oleh 138 juta pasang mata dan 'Jaran Goyang' yang mencapai 148 juta penonton. Gabungan penonton keduanya lebih banyak dibanding jumlah penduduk Indonesia. Hal yang identik di antara keduanya adalah sentuhan hip hop pada lagu dangdutnya. Dua-duanya nge-rap pada lagu masing-masing. Begitu luwesnya dangdut.
Maka, semestinya, The Voice Indonesia punya kesempatan selebar-lebarnya untuk membuat gebrakan dengan merubuhkan dinding genre dalam kompetisi ajang pencarian bakat, mencampurkan para pelatih dan peserta dandut dengan genre yang lain.
Anda pasti tahu layar televisi setiap hari dikuasai DA Asia di Indosiar yang menawarkan musik dangdut modern dan berkelas. Ajang ini sangat berhasil mempromosikan dangdut ke berbagai negara Asia Tenggara. Sehingga kontestan dari Thailand, Malaysia, Brunei, Singapura, hingga Timor Leste ikut bercengkok dan bergoyang bersama.
ADVERTISEMENT
Semua tayangan jam utama mesti berhadapan dengan DA Asia yang berdurasi lima jam, setiap hari. Selain para pesertanya yang memang berbakat gila-gilaan, kehadiran para komentator dan host adalah daya tarik utama acara ini. Pendapat pribadi saya, bahkan pendahulu kompetisi dangdut yakni Kontes Dangdut Indonesia (KDI), yang baru-baru ini lahir kembali, masih tak mampu berhadapan langsung dengan program dangdut andalan Indosiar ini.
The Voice Indonesia yang “hanya” hadir satu minggu sekali, mesti berhadapan dengan DA Asia yang sudah mapan dan menarik begitu banyak penonton dan pemasang iklan. Seandainya saja The Voice Indonesia berani mencontoh apa yang dilakukan The Voice versi Amerika, saya cukup yakin hasilnya akan lebih mengejutkan.
Bayangkan jika di jajaran para pelatih, duduk Nassar Sunkar. Dia penyanyi dangdut pria yang punya musikalitas prima menghajar semua genre musik. Ditambah karakter panggungnya yang jenaka, saya membayangkan babak audisi buta The Voice Indonesia akan jaauuh lebih heboh dan semarak. Nassar akan memberi tontontan segar setiap berebut kontestan dengan Anggun, Armand, maupun Titi DJ.
ADVERTISEMENT
Anda juga bisa berhitung, potensi penonton baru yang akan berpindah ke The Voice. Tentu saja para pecinta dangdut. Itu pasar yang sangat menjanjikan. Dari sisi budaya musik pun, pendekatan ini akan semakin menguatkan dangdut sebagai bagian langsung dari musik Indonesia tanpa sekat dengan genre musik lainnya. Sejajar, seperti country yang oleh Nashville diangkat hingga sepapan derajatnya dengan jenis musik lainnya.