Konten dari Pengguna

Nila Setitik Tak akan Rusak Susu Sebelanga

Tasaro Gk  Penulis Novel
Juru Cerita, penulis novel tetralogi Muhammad saw., pengajar jurnalistik, guru PAUD.
29 Agustus 2018 13:10 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tasaro Gk Penulis Novel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dulu pernah saya punya tetangga yang antik. Cara bertetangganya sungguh unik. Ketika dia membangun rumah, kami tidak tahu rencananya, tapi mendapat kejutan pada hari-H. Segunung pasir menutupi depan rumah kami, menguruk pot besar dan tanaman. Iya, bukan di depan rumahnya, tapi di depan teras kami. Berhari-hari begitu tanpa kata-kata.
ADVERTISEMENT
Lalu gunungan pasir itu dipagari pot-pot dengan tanaman berduri, balok kayu yang padanya mencuat paku-paku. Maksudnya sebagai tanda, barangkali. Agar orang-orang yang lewat lebih hati-hati. Hati-hati tidak melindas pasirnya, membuat butirannya tersebar ke mana-mana.
Mungkin dia lupa, kalau paku-paku itu, juga duri-duri tanaman ,bisa membahayakan ... kami. Anak-anak kami. Karena posisinya memang persis di hadapan teras rumah kami. Mungkin tidak membahayakan anak-anaknya. Tetapi, anak-anak kami juga anak manusia yang mestinya dipikirkan keselamatannya.
Sewaktu kemudian kami bertemu suatu waktu, dia bilang, “Itu tukangnya naruh di situ.”
Bukan. Bukan kalimat,”Punten, pasirnya mengganggu.” Bukan. Bukan usaha menawar hati, “Maaf nanti saya suruh tukangnya memindahkan.”
Berbulan-bulan, sampai proyek rumah selesai, sisa pasir masih menggunung di depan rumah kami. Artinya, pasokannya berkali-kali memakai tempat yang sama. Tidak dipindahkan ke mana-mana. Jadi, sisa bahan bangunan itu, ya, ada di hadapan teras kami. Bukan di depan rumah dia.
ADVERTISEMENT
Kami tak enak hati untuk menegur. Tidak sampai pikiran untuk bilang, “Kalau proyek sudah selesai dibereskan, dong. Lha kok, jadi saya yang repot?”
Saya diamkan saja. Sampai kemudian, teras mungil itu kami siapkan untuk kelas tambahan PAUD yang kami kelola. Gedung utamanya sudah tidak muat. Lalu saya melongok ke pinggir jalan, tempat anak-anak akan ke luar-masuk ke teras rumah kami. Masih ada gunungan pasir. Masih ada balok berpaku-paku. Masih melingkar pot-pot bertanaman berduri.
Akhirnya, demi anak-anak kami, bukan keluarga saya pribadi, saya meminta dengan bahasa terhalus yang saya bisa kepada sang tetangga. “Pak, punten, senin depan, anak-anak PAUD mulai sekolah di rumah kami. Mohon pasirnya bisa dipindahkan.” Bukan pasir saja, maksud saya. Tetapi juga pot-pot bertanaman duri, juga balok-balok kayu berpaku itu.
ADVERTISEMENT
Dipindah memang, dan anak-anak mulai bermain di rumah kami, setiap hari. Sepanjang tahun.
Mengapa saya memilih untuk berhati-hati kepada tetangga, karena agama saya menyuruh begitu. Nabi kami mengajari, kepada tetangga mesti berhati-hati. Jaga hartanya, jaga hatinya. Usaha menjadi salih itu tidak hanya spiritual tetapi mesti dengan sosial.
Di Perjanjian Lama pun ada ajaran menyayangi tetangga. Jadi saya kira, tidak hanya Islam, agama lain pun spesifik menyuruh kita begitu menjaga tetangga.
Lain waktu, perilaku tetangga ini semakin ajaib. Rumah bagusnya itu tidak punya tong sampah. Sedangkan kami, sejak awal punya tempat sampah sendiri. Bak sampah besar yang menampung banyak barang terbuang.
Iya, Anda bisa menebak. Tetangga ikut menggunakannya. Kadang satu keresek. Lebih sering berkeresek-keresek, berjejal di bak sampah kami, sampai tak ada ruang lagi. Cara memasukkannya kadang dengan cara baik, tidak jarang dengan melemparkannya dari pintu pagar mereka. Dari bapak sampai anak-anaknya.
ADVERTISEMENT
Tentu kami tahu. Tapi saya memilih untuk tidak bicara. Barangkali memang dengan begitu mereka merasakan manfaat bertetangga. Setidaknya, manfaat untuk menampung barang-barang mereka yang udah tidak berguna. Kemudian, dan lain-lain...dan lain lain.
Daftarnya panjang, tapi bukan itu poin pembicaraan.
Saya menahan diri, meminta istri saya pun menguatkan hati. Sebab, saya punya memori yang luar biasa dengan bapak ini. Suatu kali, pulang dari masjid, dia menghampiri saya. Dia mengoreksi cara cara saya menekuk punggung saat rukuk saat shalat.
“Ini mengingatkan saja. Rukuk yang dicontohkan Rasulullah itu, punggung harus rata. Kalau rukuknya tidak betul, tidak sah shalatnya.”
Jika ada gelas yang diletakkan di atasnya, tak akan jatuh ia saking ratanya. Iya, sejak kanak-kanak aturan fikih itu sering saya simak, beberapa kali saya baca. Tapi rupanya, mungkin, saya kurang serius mempraktikknya. Bapak tetangga ini, mengamati saya berkali-kali dan menyimpulkan memang saya tidak tahu ilmunya. Lalu merasa wajib mengingatkan saya.
ADVERTISEMENT
Anda bisa membayangkan perasaan saya? Anda tentu tidak berpikir alangkah mudahnya menerima kritik di depan muka Anda, terutama dari seseorang yang Anda tahu sisi-sisi tak idealnya. Saya pun sama. Itu tidak menyenangkan. Tetapi, saya mengucapkan terima kasih lalu berbincang biasa.
Sejak hari itu, setiap rukuk, setidaknya lima waktu sehari, pada 17 rakaan shalat wajib, saya benar-benar dalam kondisi sadar. Sadar bahwa rukuk saya harus sempurna. Rata seperti tembakan “bola” Jojo Christi sepanjang Asian Games Jakarta-Palembang. Rata kau!
Tidak pernah tidak, saya selalu ingat bapak tetangga itu saat mencontohkan rukuknya.
Itu adalah sebuah kebaikan. Sepahit apa pun saya menerimanya. Itu adalah sebelanga susu, yang tetap murni meski diaduk dengan setetes nila.
ADVERTISEMENT
Setidaknya bagi saya. Saya tidak akan mengatakan, memandang, menyimpulkan, kebaikan yang menyelamatkan, akan terhapus oleh keburukan yang melepaskannya hanya perlu kerendahan hati.
Maka, saya memilih menahan diri untuk urusan yang lain. Sebisa-bisanya.
Ini bukan pertama kali. Bukan orang pertama. Beberapa kali, setidaknya, saya mengalami ini. Menerima kebaikan yang menyelamatkan, dari seseorang yang sisi tak idealnya begitu kental. Kemudian, saya memilih untuk bertahan pada sisi baiknya. Melepaskan keburukan yang sebenarnya ada pada siapa saja.
Belum lama, sewaktu saya menulis tentang Neno Warisman, saya diberondong banyak pertanyaan. Baik di beranda medsos saya maupun jaringan pribadi. Salah satunya, seorang pembaca yang menantang pernyataan saya, bahwa Neno banyak sekali kebaikannya. Baginya, kerja kebaikan sebanyak apa pun, telah rubuh oleh apa yang ia lakukan kemudian. Lalu tertulislah pribahasa lama, yang ketika saya dewasa, saya memutuskan untuk tidak akan pernah menggunakannya.
ADVERTISEMENT
“Gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga.”
Betul, pembaca itu mengumpamakan apa yang dilakukan Neno Warisman terwakili oleh peribahasa itu. Peribahasa yang bagi saya memang menjadi realitas namun meski dikritisi.
Bahwa, alangkah mudah kita berhenti mencintai seseorang ketika kita menemukan setitik keburukan manusiawi padanya.
Mari tengok ke belakang. Ini hampir-hampir terjadi pada macam-macam orang, macam-macam profesi. Artis, ustad, politikus, motivator. Kita berapi-api mengelukannya lalu berhenti seketika sewaktu boroknya terbuka. Sesuatu yang kita anggap sebagai kenistaan. Belum tentu orang lain menyetujuinya.
Padahal, kita tahu betul, diajari betul, “Kemuliaan manusia itu ada hanya karena Allah masih menutupi aibnya. Jadi jangan sibuk membuka aib saudaramu.”
Ini posisi saya berdiri. Bahwa saya bisa saja tidak sepakat, tidak suka, tidak setuju, terhadap seseorang. Namun, ketika pikiran tenang, hati menjadi lebih adil, saya coba menyerap, memilah, apakah masih ada kebaikan padanya.
ADVERTISEMENT
Saya meyakini. Jika manusia ingin benar-benar menyeleksi pergaulannya dengan standar moral yang ia yakini, dia akan berhenti bersosialisasi. Bahkan... dengan dirinya sendiri.
Ya, Dunia. Jangankan kepada orang lain. Kepada diri sendiri pun saya sebenarnya sudah muak. Kadang jijik. Merasa menjadi manusia, kok, begini amat. Bebal kepada kebaikan. Menjadi bapak, kok, begini amat, tak menjadi contoh ideal untuk anak-anak. Menjadi suami, kok, begini amat; tak cakap menjadi imam yang mengarahkan. Jadi penulis, kok, begini amat, banyak bicara apa yang tidak dilakukannya.
Jadi, standar moral yang saya yakini bahkan oleh diri sendiri pun tidak terjalani. Oleh karenanya, barangkali sebaiknya saya berhenti mempercayai. Bahkan, dengan diri sendiri.
Tetapi, tentu Anda yang oleh hidup telah dibagi banyak asam garamnya memahami, rupanya bukan begini kehidupan mesti dijalani.
ADVERTISEMENT
Ternyata, tugas manusia itu bangun, jatuh, bangun, jatuh, bangun, dan berakhir dalam kebaikan.
Bahwa, Tuhan saja berkata, jika kita punya dosa seluas lautan lalu memohon ampunan, Ia akan menghapusnya. Datang lagi dengan dosa seluas semesta dan bertaubat tentangnya, Ia akan memeluk hamba-Nya.
Bahwa, seribu rakaat shalat setiap hari pun tidak akan menyebabkan insan masuk surga. Sebab, kunci nirvana adalah ridho Allah saja. Lalu di mana kita memperoleh ridho itu? Dari nama-nama-Nya, saya percaya.
Nama-nama yang hanya Ia Pemiliknya, namun manusia boleh belajar hidup dari nama-nama itu.
Sebab Allah Maha Penyayang, maka manusia hendaknya melebihkan rasa sayangnya dibanding rasa dendam. Sebab, Allah Maha Pengampun, semestinya manusia meluaskan maafnya menenggelamkan rasa kecewa.
ADVERTISEMENT
Lalu, apalah artinya dukungan pilpres seseorang? Tidak ada apa-apanya.
Seseorang sahabat bertanya retoris. “Hal yang saya tidak paham, mengapa Neno begitu bencinya kepada Pak Jokowi?”
Saya menjawabnya begini. “Mereka yang begitu benci kepada Jokowi itu punya alasan yang sama dengan mereka yang begitu cinta kepada Jokowi.”
Kadang benci dan cinta itu memang tanpa syarat. Cinta saja. Benci saja. Alasan yang lahir kemudian adalah narasi yang diusahakan. Agar hati berdamai dengan logika. Agar manusia tidak dibilang membabi buta. “Oh, saya mencintai karena begini. Oh, saya membenci karena begitu. Logis, dong.”
Hal yang coba saya katakan adalah, saya pribadi belajar untuk mencintai kebaikan. Itu mudah dituliskan, luar biasa susah dijalankan. Bahkan, kepada diri sendiri. Apalagi orang lain.
ADVERTISEMENT
Kepada setiap orang yang melintas pada hidup saya. Mereka yang memberi romantisme kemanusiaan maupun luka luar biasa, saya akan berusaha, sekuat tenaga, mengingat sisi baiknya. Agar orang lain pun mengingat saya dengan cara yang sama. Saya akan berenang dalam susu sebelanga dan menawar setitik nila yang berusaha merusaknya.