Konten dari Pengguna

Sinkhole : Sinyal Alam Saat Tata Ruang Tak Seimbang

Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan (PATGTL)
Unit eselon 2 di bawah Badan Geologi Kementerian ESDM yang bertanggung jawab mengelola air tanah serta tata lingkungan dalam lingkup geologi
3 Februari 2025 16:50 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan (PATGTL) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sinkhole : Sinyal Alam Saat Tata Ruang Tak Seimbang
zoom-in-whitePerbesar
Jepang kembali diguncang oleh fenomena alam yang mengingatkan betapa rapuhnya keseimbangan tata ruang dengan lingkungan. Pada 28 Januari 2025, sebuah truk terperosok ke dalam lubang raksasa (sinkhole) yang tiba-tiba muncul di tengah jalan utama Prefektur Saitama. Lubang ini, yang awalnya hanya satu sinkhole kecil, kini terus melebar hingga mencapai diameter 20 meter setelah menyatu dengan sinkhole lain di area tersebut.
ADVERTISEMENT
Dampak dari bencana ini tidak hanya mengganggu lalu lintas atau infrastruktur, tetapi juga memengaruhi kehidupan lebih dari 1,2 juta penduduk di 12 kota sekitar Saitama. Pemerintah setempat bahkan mengeluarkan imbauan untuk membatasi aktivitas mandi dan mencuci pakaian guna menghemat penggunaan air tanah. Kekhawatiran Pemerintah bukan tanpa alasan, penggunaan air tanah yang berlebihan dapat memperparah kondisi tanah di sekitar sinkhole, mempercepat longsor, dan memperluas lubang yang telah ada.
Fenomena ini seharusnya menjadi peringatan serius bagi kita semua. Sinkhole bukan sekadar fenomena alam yang terjadi begitu saja. Ada faktor manusia yang turut berkontribusi, seperti eksploitasi air tanah secara berlebihan, perencanaan tata kota yang kurang memperhitungkan kondisi geologi, serta perubahan iklim yang mengubah pola hidrologi tanah. Ketika keseimbangan alam terganggu, bencana semacam ini hanya tinggal menunggu waktu untuk kembali terjadi.
ADVERTISEMENT
Kejadian di Saitama bukan yang pertama, dan bisa jadi bukan yang terakhir, jika kita tidak belajar dari sejarah. Kota-kota modern mungkin terus berkembang dengan gedung-gedung megah dan jalanan yang ramai, tetapi tanpa kesadaran akan dampak ekologis, kita hanya sedang menggali lubang bagi diri sendiri, baik secara harfiah maupun metaforis. Sayangnya, apa yang terjadi di Jepang bukanlah kasus yang terisolasi.
Fenomena sinkhole juga terjadi di berbagai belahan dunia lain, termasuk di Indonesia, dengan penyebab yang beragam. Sinkhole, atau lubang runtuhan, dapat terbentuk melalui dua mekanisme utama: solution sinkhole dan collapse sinkhole. Solution sinkhole berkembang secara perlahan akibat proses pelarutan batu kapur oleh air yang bersifat asam, yang dalam jangka waktu panjang menciptakan rongga bawah tanah yang semakin besar. Sementara itu, collapse sinkhole terjadi secara tiba-tiba ketika atap rongga bawah tanah tidak lagi mampu menahan beban di atasnya, sehingga runtuh dan membentuk lubang besar di permukaan tanah.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, fenomena sinkhole kerap ditemukan di wilayah dengan karakteristik geologi berupa batuan karbonat, seperti kawasan karst di Gunung Kidul, Pacitan, dan Maros. Aktivitas manusia, seperti eksploitasi air tanah yang berlebihan, juga dapat mempercepat terbentuknya sinkhole dengan memperlemah struktur bawah tanah. Dampaknya bisa bervariasi, mulai dari kerusakan infrastruktur hingga ancaman bagi keselamatan penduduk di sekitarnya.
Di awal tahun ini, tepatnya pada 6 Januari 2025, sebuah sinkhole dengan diameter sekitar 4 meter dan kedalaman 4 meter muncul di wilayah Kwangen Kidul, Pacarejo, Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunung Kidul. Fenomena ini bukan hal baru bagi warga setempat, mengingat daerah tersebut memang sering tergenang air yang akhirnya menyebabkan tanah ambles.
Pada tahun 2017, amblesan serupa juga terjadi di Desa Semenu dengan diameter sekitar 6 meter dan kedalaman 3 meter, lokasinya tidak jauh dari amblesan terbaru. Ini menunjukkan bahwa pola kejadian semacam ini bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari masalah yang lebih besar, bagaimana kita mengelola sumber daya alam dan memahami risiko geologi di sekitar kita. Di Semanu, sinkhole disebabkan oleh air hujan yang menggenangi dolina (lekukan tertutup di permukaan akibat pelarutan batuan kapur), kemudian menyusup ke rongga bawah tanah, membawa serta lapisan tanah di atasnya.
ADVERTISEMENT
Gunung Kidul merupakan salah satu wilayah dengan intensitas sinkhole tinggi di Indonesia. Kawasan ini termasuk dalam bentang alam Karst Gunungsewu yang terbentuk dari proses pelarutan batu kapur selama ribuan tahun, membentang dari Bantul, Gunung Kidul, Wonogiri, hingga Pacitan. Meskipun menawarkan panorama alam yang memukau, seperti gua-gua dengan stalaktit dan stalagmit, kawasan ini menyimpan risiko besar berupa amblesan tanah. “Karst itu seperti keju Swiss raksasa—indah, berongga, dan kadang bisa runtuh tanpa peringatan“.
Selain di Semanu, kejadian serupa terjadi di Desa Blembeng, Kebumen, pada tahun 2023, ketika sebuah telaga mengering akibat retakan yang membuka jalur air ke sistem drainase bawah tanah. Fenomena serupa juga terjadi di Blitar (2023), saat Sungai Kaliasat Tenggong mengering akibat runtuhnya gua bawah tanah yang menopang aliran air. Selain merusak ekosistem setempat, kejadian ini mengganggu akses air untuk irigasi.
ADVERTISEMENT
Sinkhole tidak hanya menghantui Indonesia, tetapi juga terjadi di negara lain. Di Florida, AS, pada tahun 2013, sinkhole besar dengan diameter lebih dari 30 meter tiba-tiba muncul di tengah kota Clermont. Di Guangxi, Tiongkok (2018), amblesan tanah dengan diameter 15 meter terjadi di wilayah perkotaan, merusak jalan raya dan beberapa bangunan akibat aktivitas penggalian bawah tanah. Di Malaysia (2022), ladang padi di Perlis ambles setelah hujan deras, diduga akibat aktivitas erosi bawah tanah yang dipercepat oleh curah hujan tinggi.
Kejadian amblesan tanah juga terjadi di wilayah Pathum Thani, Thailand pada 2023, merusak infrastruktur jalan. Amblesan ini disebabkan oleh penurunan muka air tanah dan pelarutan batuan karbonat. Terakhir, Di wilayah Bohol, Filipina (2023) yang memiliki bentang alam Karst, sinkhole dengan diameter 10 meter muncul di kawasan permukiman, mengancam rumah warga. Penyebabnya adalah aktivitas manusia yang mempercepat pelarutan batuan karbonat di bawah tanah.
ADVERTISEMENT
Mencegah “Lubang Raksasa” Mengintai
Sinkhole atau lubang runtuhan bisa menjadi ancaman serius, terutama di kawasan Karst. Untuk mengatasinya, langkah mitigasi adalah kunci. Pengelolaan air tanah yang bijak, pemantauan struktur bawah tanah dengan teknologi seperti georadar, serta desain infrastruktur yang adaptif menjadi strategi utama. Selain itu, edukasi masyarakat sangat penting agar pemanfaatan kawasan, khususnya wilayah Karst, lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Pembangunan infrastruktur di Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) sebaiknya dihindari karena bisa memperparah risiko amblesan. Namun, jika pembangunan tidak dapat dihindari karena kebutuhan strategis nasional, harus ada kajian mendalam terlebih dahulu. Studi geologi detail, analisis hidrogeologi Karst, serta evaluasi risiko bencana menjadi syarat utama sebelum proyek dilaksanakan.
Pemantauan lingkungan juga harus dilakukan secara berkelanjutan. Salah satu langkah penting adalah mengontrol pengambilan air tanah agar rongga bawah tanah tidak mengering, yang bisa memicu runtuhan. Selain itu, desain infrastruktur harus disesuaikan dengan karakteristik tanah Karst, termasuk sistem drainase yang memperhitungkan aliran bawah tanah serta struktur bangunan yang tahan terhadap amblesan. Teknologi canggih seperti georadar dapat digunakan untuk terus memantau perubahan struktur tanah, sehingga potensi bahaya bisa dideteksi lebih awal.
ADVERTISEMENT
Tak hanya upaya teknis, kesadaran masyarakat juga berperan besar dalam mitigasi sinkhole. Tanda-tanda seperti retakan tanah yang tiba-tiba muncul, pohon atau tiang listrik yang mulai miring, genangan air di lokasi yang tak biasa, hingga suara retakan dari dalam tanah harus segera dikenali dan dilaporkan. Menjaga keseimbangan alam juga menjadi kunci utama: jangan memompa air tanah secara berlebihan, hindari membuang sampah atau limbah ke dalam gua, serta batasi pembangunan di area rawan.
Alam adalah guru terbaik yang mengajarkan keseimbangan. Karst yang rapuh mengingatkan kita bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi. Jika kita memperlakukan bumi dengan bijak, ia akan memberi kehidupan yang berkelanjutan. Namun, jika kita mengabaikan tanda-tanda alam, bencana bisa datang tanpa peringatan. Mitigasi sinkhole bukan hanya soal teknologi dan peraturan, tetapi juga tentang kesadaran untuk hidup selaras dengan alam.
ADVERTISEMENT
Penulis: Tantan Hidayat, dkk
Koordinator Tim Geologi Tata Lingkungan, Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan, Badan Geologi Kementerian ESDM