Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Waspada, Penurunan Muka Tanah Pantura Jawa Kian Nyata
5 Maret 2025 15:12 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan (PATGTL) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Banjir yang melanda Jabodetabek dalam tiga hari terakhir telah berdampak pada banyak warga. Namun, tahukah Anda bahwa ada wilayah yang sudah terbiasa tergenang air rob secara permanen? Setiap hari, selama bertahun-tahun, air pasang laut menutupi pemukiman tanpa pernah surut sepenuhnya. Inilah yang terjadi di Dusun Semonet, Desa Semut, Kecamatan Wonokerto, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Pemandangan rumah yang terendam rob bukan lagi kejadian luar biasa, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan banjir akibat curah hujan tinggi, rob ini terjadi karena penurunan muka air tanah yang terus berlangsung.
ADVERTISEMENT
Bayangkan sebuah perahu yang perlahan-lahan bocor. Air mulai merembes masuk, namun para penumpangnya tetap sibuk beraktivitas seperti biasa, seolah tidak terjadi apa-apa. Gambaran inilah yang terjadi di Dusun Semonet dan beberapa wilayah lain di pesisir Pekalongan. Perlahan namun pasti, daratan tempat mereka berpijak semakin tenggelam dan mendekati laut—sebuah ancaman nyata yang semakin sulit dihindari.
Fenomena ini bukan sekadar ramalan atau teori konspirasi, tetapi kenyataan yang telah lama diperingatkan oleh para ahli geologi. Sejak tahun 1992, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah memantau gejala ini, dari pesisir utara Banten hingga pesisir utara Jawa Timur. Kajian awal terhadap wilayah DKI Jakarta mengindikasikan penurunan muka tanah di berbagai lokasi, seperti Pemukiman Baru Pluit, Pantai Indah Kapuk, Jalan Tol Soekarno–Hatta, Grogol, Jelambar, Penjaringan, Pademangan, Gunung Sahari, Semper, dan Gambir. Temuan ini mengonfirmasi bahwa penurunan muka tanah bukan hanya terjadi di Pekalongan, tetapi juga di berbagai kawasan pesisir lainnya.
ADVERTISEMENT
Lalu pada tahun tahun berikutnya dilakukan kajian penurunan muka tanah di kota-kota lainnya seperti Semarang, Pekalongan, Bandung, Demak, Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Bekasi dan Tangerang dengan membangun Stasiun Pengamatan Penurunan Permukaan Tanah (SPPPT) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Patok Pantau.
Saat ini, kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, Pekalongan, dan Surabaya kini tengah mengalami penurunan muka tanah yang kian mengkhawatirkan. Bahkan, berdasarkan data pemantauan patok dengan kedalaman 100 meter yang dilakukan Badan Geologi secara rutin, diketahui penurunan muka tanah di Pekalongan sejak Maret 2020 – Maret 2025 sebesar 27 cm atau sekitar 5,4 cm/tahun.
Lalu apa saja faktor penyebab penurunan muka tanah ? Berikut diantaranya yang Anda semua perlu tahu:
1. Konsolidasi alamiah: Daerah Pantura Jawa memiliki kondisi geologi yang terdiri dari endapan aluvial dan batuan sedimen yang rentan terhadap penurunan muka tanah. Konsolidasi alami pada tanah aluvial juga berkontribusi terhadap penurunan muka tanah.
ADVERTISEMENT
2. Ekstraksi air tanah yang berlebihan: Pengambilan air tanah yang berlebihan untuk keperluan industri, pertanian, dan rumah tangga menyebabkan penurunan muka tanah. Ketika air tanah diambil dalam jumlah besar, tanah kehilangan dukungan air dan mengalami penurunan.
3. Beban infrastruktur: Pembangunan infrastruktur seperti gedung, jalan, dan jembatan menambah beban pada tanah, yang dapat menyebabkan penurunan muka tanah, terutama di daerah dengan tanah yang kurang stabil.
4. Tektonik: Pergeseran lempeng tektonik dapat menyebabkan deformasi dan penurunan permukaan tanah dalam jangka panjang. Di daerah yang aktif secara tektonik, pergeseran ini dapat mempengaruhi stabilitas tanah. Penurunan muka tanah yang disebabkan oleh faktor tektonik cenderung lebih sporadis dan terkait dengan kejadian gempa bumi atau aktivitas tektonik lainnya.
ADVERTISEMENT
Kota-kota di Pantura saat ini sudah banyak yang terendam banjir permanen, tentu saja pada tahun-tahun kedepan akan semakin meluas areanya jika tidak segera dikendalikan. Semarang, yang dulunya dikenal dengan kota bersejarah, kini menghadapi ancaman kehilangan wilayah pesisir dengan hadirnya banjir permanen yang tidak pernah surut.
Selain itu, jika kita lihat Jakarta, Demak, Pekalongan, Kendal, Indramayu bahkan Bekasi yang sebagian wilayahnya juga terendam banjir permanen. Kondisi seperti ini sangat memprihatinkan, selain lingkungan yang tidak sehat, masyarakat terdampak harus merogoh kantong dalam-dalam untuk biaya menguruk tempat tinggalnya supaya tetap bisa dihuni.
Jika kita tidak segera bertindak, bukan tidak mungkin bahwa dalam beberapa dekade ke depan, rumah-rumah di pesisir Pantura hanya akan menjadi cerita dari generasi ke generasi, seperti Atlantis yang hilang di bawah air.
ADVERTISEMENT
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Mengatasi penurunan muka tanah di Pantura Jawa bukan hanya soal memulihkan yang terdampak, tetapi juga mencegah meluasnya area terdampak dengan langkah-langkah strategis. Banyak cara dapat dilakukan untuk menekan laju penurunan muka tanah diantaranya dengan mengendalikan ekstraksi air tanah dengan regulasi, normalisasi sungai, perbaikan sistem drainase, pemantauan penurunan muka tanah, rehabilitasi lahan, serta pembangunan tanggul laut.
Tak kalah penting, kesadaran masyarakat dan kebijakan dalam pengelolaan tata ruang di masa mendatang perlu diperhatikan. Dengan pendekatan terpadu ini, kita bisa memperlambat laju penurunan tanah, menjaga stabilitas wilayah pesisir, dan memastikan Pantura tetap menjadi tempat yang layak huni bagi generasi mendatang.
Kita tidak bisa hanya diam menunggu tanah ini benar-benar ambles. Jika Pantura terus dibiarkan seperti ini, maka kita bukan hanya kehilangan daratan, tetapi juga kehilangan sejarah, budaya, dan masa depan generasi mendatang. Sudah saatnya kita berhenti menambal perahu yang bocor dan mulai membangun perahu baru yang lebih kokoh.
ADVERTISEMENT
Penulis:
Risna Widyaningrum
Penyelidik Bumi Ahli Madya pada Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan (PATGTL), Badan Geologi – Kementerian ESDM