Jurnalistik di Wabah Corona: Maunya Wibawa, Tapi Tercoreng Logika

Patricia Robin
Sosok yang tertarik dalam bidang Ilmu Komunikasi. Sejalan dengan pekerjaan sebagai pengajar di Universitas, dan sebagai mahasiswa Doktoral. Isu mengenai media dan kehidupan sosial selalu menjadi perhatian Patrice (begitu biasa ia disapa).
Konten dari Pengguna
3 Agustus 2020 21:57 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Patricia Robin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi jurnalisme. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi jurnalisme. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Hallo, warga dunia! Pernahkah terpikir menjadi senasib seirama? Pernahkah terpikir bahwa orang lain menjadi sebegitu menakutkan bila berada di dekat Anda? Atau.. Pernahkah terpikir bahwa penjara mandiri adalah perlindungan terbaik bagi diri? Bila jawaban Anda untuk itu semua adalah TIDAK, berarti memang Anda (dan saya), memang belum bisa menerima fakta bahwa Wabah Corona akan menjadi rekan hidup kita; setidaknya hingga vaksin ditemukan dan disebarkan bagi yang membutuhkan.
ADVERTISEMENT
Terlambat sudah bila kita mengangkat asal muasal Virus Corona sebagai pembahasan utama, karena kegelisahan bukan lagi di ranah itu. Ketakutan sudah tak lagi sama. Bahkan rasa penasaran perlahan-lahan sirna. Yang membingungkan kini adalah bagaimana kita semua dapat bertahan di tengah gempuran musuh tak terlihat yaitu si wabah, sembari menjaga kesehatan dan ke-normal-an berfikir karena banyaknya asupan informasi dari kanan dan kiri yang menyerang. Hal ini terjadi dalam level diri, interpersonal, hingga media yang nota bene memiliki kemampuan menyetir karena posisinya yang begitu dominan dan jeli melihat peluang.
Tak ada salahnya, kita mundur sejenak mengenai awal mula virus corona menjadi begitu popular bagi warga dunia. Awalnya biasa saja, seiring waktu, wabah ini menjadi menggegerkan hingga sang negara Adikuasa dibuat pusing tujuh keliling. Covid-19 (Corona Virus Disease) merupakan penyakit menular disebabkan corona virus yang baru ditemukan dan sebelumnya tidak dikenal sebelum terjadi wabah di Tiongkok, pada Desember 2019. Berbeda orang, berbeda pula wujud virus ini. Gejala umum yang paling sering terjadi adalah demam, rasa lelah, dan batuk kering hingga rasa nyeri dan sakit, hidung tersumbat, pilek, sakit tenggorokan atau diare yang dialami secara ringan dan bertahap; bahkan bisa juga menyerang tanpa gejala sama sekali. 80% pasien yang terinfeksi dapat pulih tanpa perawatan khusus, tetapi hal ini berbeda dampak bagi mereka yang lansia dan sebelumnya sudah memiliki penyakit bawaan sebelumnya (https://www.who.int/indonesia/news/novel-coronavirus/qa-for-public).
ADVERTISEMENT
Antusiasme mendapat fakta seperti di atas mulai sepi peminat. Jurus utama jurnalistik dalam memaparkan 5W (What, Who, When, Where, Why) & 1H (How) ditendang dari jajaran kepentingan wartawan berganti kebutuhan audiens akan kabar terbaru demi menyokong eksistensi. Audiens cenderung saling menyombongkan diri akan kekayaan informasi, tak peduli darimana informasi berasal, tak peduli juga bagaimana isi sebenarnya, keutamaan adalah bisa vokal dan terkesan tahu ketika membahas si virus corona. Miris bagi “si profesi” ini karena akhirnya seakan tak lagi dibutuhkan. Fakta dan data yang disajikan tak lagi mampu berujar banyak, hanya sekadar susunan kata yang terkalahkan oleh kemauan mendapat bahan perbincangan. “Si Profesi” yang dimaksud tidak lain adalah jurnalis yang kian terluka karena tak lagi jumawa.
ADVERTISEMENT
Penulis mengajak melihat kenyataan teranyar yaitu pemberitaan mengenai Covid-19. Apa yang tersaji dari media ke tengah masyarakat tak lebih dari paparan mengenai jumlah ODP, PDP, Positif, dan korban jiwa (dan berbagai istilah baru yang melingkupinya kini). Berputar-putar pengangkatan mengenai kurva, grafik dan angka bukan dimaksudkan mendorong pada pemulihan dan meningkatkan ketenangan masyarakat; sebaliknya, menyodorkan ketakutan. Akibatnya, bukan lagi rasa ingin tahu audiens yang terusik, melainkan kejenuhan yang muncul. Rakyat yang tak lagi pasif pun bertanya-tanya, apakah jurnalis sudah kehilangan taji dalam mencari angle berita dan hanya mampu turut arus saja?
Siapa yang layak dipersalahkan? Siapa pula yang patut bertanggung jawab? 2 kata dalam pandangan penulis yang pantas mendapat gelar “Perebut Eksistensi Jurnalis” adalah BIG DATA. Ya! Big data menggambarkan era ketersediaan data terekam secara digital dan berlimpah dengan kandungan setiap segi kehidupan manusia (ketika menjadi makhluk individu, ataupun makhluk sosial). Big Data digunakan kalangan industri atau praktisi demi meningkatkan strategi bisnis dan inovasi dengan mendobrak tradisi lama ilmu sosial dengan kemampuannya memproses, menganalisa, dan menyimpan dengan volume serta tingkat vitalitas tinggi, cepat, dan efektif. Big data mengizinkan data kini seakan tidak pernah cukup dan dengan mudahnya bisa dicari, digandakan, digunakan, dibagikan, bahkan diperjualbelikan dalam cara dan imbalan yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Big data yang digunakan sebagai sumber data, mengeruk juga kebutuhan akan pencari berita (Lupton, 2015:17).
ADVERTISEMENT
Big data mengubah bagaimana manusia menjalani hidup, bekerja, dan berfikir. Hal ini membantu menunjang karier, meningkatkan kepuasan dalam kehidupan, membentuk pengharapan, standarisasi kesenangan, hingga faktor penentu kesehatan. Tetapi yang tidak boleh dilupakan, big data lebih dari sekadar gabungan dari keberadaan teknologi, perangkat keras, dan segala hal yang menyangkut fisik semata (Hargittai, 2015:65).
Di sinilah kelemahan manusia dengan ego yang begitu tinggi mengambil peran. Berbicara harus seakan akademis dan berdasarkan data, sementara manusia era kini tak (mau) sadar bahwa ia sudah berada dalam kungkungan penjara buatan. Manusia kini merasa kaya akan informasi, tetapi tak mengakui bahwa kekayaan itu adalah semu. Hal yang ia ketahui tak lebih dari bentukan pengulangan pembukaan diri ketika berselancar di dunia maya. Merasa tahu, padahal hanya dipaksa tunduk pada hasil algoritma. Sisi humanis itu sirna, berganti kebergantungan pada “kata data” semata.
ADVERTISEMENT
Sehebat-hebatnya kemampuan bertahan manusia di tengah gempuran data, pasti akan menemui titik lemah dan jenuh. Hal ini yang terjadi dari kacamata penulis ketika membaca gerak gerik jurnalis. Mereka tidak lagi mengedepankan hati nurani layaknya ke-ideal-an elemen jurnalisme, tetapi lebih terlena memaparkan yang sedap dipandang mata - walau kadang tidak nyata. Unsur bombastis menjadi lebih sexy ketimbang esensi verifikasi. Grafik indah dan menawan adalah tujuan, sementara isi di dalamnya hanya kosong dan ingin mengundang pengiklan dengan pengutamaan unsur visual.
Manusia kehilangan “ke-manusia-an-nya”, dan (tidak) semua Jurnalis kehilangan “ke-tajam-an-nya”. Siapa yang masih bisa berjalan dalam kaidah jurnalistik? Menjawab pertanyaan ini, mudah kita katakan bahwa seharusnya suhu jurnalistik yaitu media cetak dan media elektronik mengambil peran. Tetapi kenyataannya? Justru mereka sekarang menyembah jurnalis online yang begitu lincah mengambil peran. Para suhu Jurnalis seakan tak lagi peduli dengan keberadaan isi karena bila tidak beradaptasi, akan terus mundur hingga kehilangan peminat. Diri mereka yang dahulu diagungkan karena kemampuan menyampaikan fakta, kini kalah karena keberadaan teknologi menjadikan semua terstandarisasi. Isi adalah ke-sekian, kemampuan multimedia dan interaktifitas terpenting.
ADVERTISEMENT
Jurnalistik bukan lagi ilmu kebenaran dan keindahan, melainkan hanya isapan jempol yang mampu melayani rasa ingin tahu. Dengan mudah, aktor dominan yaitu media massa dan pemerintah mengambil posisi sebagai garda terdepan, menuntun pembaca dan penikmat dalam kepentingannya mengeruk pundi harta. Penulis mengajak menyelami kejatuhan jurnalistik dalam kacamata filsuf Italia yang meregang nyawa dalam penjara. Ia bernama Antonio Gramsci, yang memperkenalkan konsep bahwa kesenjangan dan pergolakan bukan hanya terjadi dalam sebuah siklus politik ekonomi semata, melainkan menyesap dalam pembentukan hegemoni budaya.
Tiga fase yang menyusun hingga terjadinya hegemoni memang tidak mudah dan seragam. Bila Gramsci menyesuaikannya pada fase politik, ekonomi, dan sosial, izinkan penulis mengajak melihat dari kacamata media massa yang memiliki kepelikan, ketakutan, dan kegelisahan seragam selama pandemi. Musuh yang dihadapi bukanlah penjajah dengan senjata, tetapi sama-sama bisa meregang nyawa. Ketika dikatakan “Kesehatan adalah harta paling berharga”, hal ini memang benar adanya, hingga membuat para pencari berita kehilangan daya dan gaya dalam menyampaikan fakta. Fase korporasi karena merasa senasib seirama meliput Corona menjadi begitu dominan. Hal ini tidak berlangsung lama karena muncul fase kesadaran untuk bahu membahu mengedepankan komprehensif dan proporsionalitas berita (walau semu).
ADVERTISEMENT
Keyakinan diri dari pemilik media massa untuk bersatu menumbuhkan ide dan semangat baru bahwa masyarakat harus teredukasi dari rahim informasi yang sama. Celah ini dilihat oleh pemerintah untuk menghembuskan napas berupa data yang hanya bersumber dari satu pintu utama. Hegemoni budaya pun terjadi sebanyak minimal dua sisi, yaitu pemerintah dan media massa kepada jurnalis dan audiensnya. Masing-masing merasa bahwa ideologinyalah yang terpenting untuk diketahui dan diikuti oleh pihak lain, maka butuh strategi bertahap dan halus demi perwujudan itu semua.
Pemerintah mengambil peran besar dalam penyetiran berita dengan memberikan informasi sepihak dan mengkritik media yang dianggap berseberangan. Hal yang dilakukan bukan menggunakan gaya keras atau coercion yang berwujud pada dominasi dan pemaksaan (layaknya yang dilakukan oleh kepolisian, Tentara, Pengadilan dan elemen hukum lainnya); melainkan melalui gaya lunak atau concent yang berwujud hegemoni budaya melalui persuasi hingga membuat pihak terhegemoni merasa muncul kesadaran sendiri padahal hanya kesadaran palsu semata.
ADVERTISEMENT
Hegemoni ditandai dengan adanya struktur yang menindas dan mengontrol, walau tidak kasar. Media massa “ditindas” oleh dominasi pemerintah, karena bila tidak mengikuti arahan negara, risiko pembredelan seakan di depan mata. Penyajian berita sesuai fakta tetapi berseberangan dengan Undang-Undang pun mendatangkan petaka. Kebingungan yang menjadi-jadi membentuk mental takut dalam perjalanan kerja jurnalis yang benar-benar terjun ke lapangan. Dalam benak jurnalis muncul kebingungan dan keraguan besar, “Kepada siapa harus memihak?”. Negara atau media massa atau rakyat? Menjadi begitu banyak “tuhan” yang harus dipuaskan. Kewajiban utama memaparkan kebenaran, diiringi loyalitas utuh pada warga negara, tidak berjalan mesra dengan kenyataan. Idealisme hakiki jurnalis ditakutkan menjadi jalan membuat perut kelaparan karena tak lagi ada pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana jurnalis yang notabene harus bertindak? Apakah tetap menjadi anjing pengawas pemerintah? Atau justru sekadar menjadi anjing “penjaga kesejahteraan” pemerintah? Kehilangan ranah dan pecinta, jurnalis pun berduka. Warga yang selama ini dijadikan tujuan utama, akhirnya berbelok arah menyukai platform lain. Jurnalis yang tak mau berjalan sendiri, turut mengikuti dengan mencari berita bukan lagi hasil karya alami melainkan mencari yang viral dan sensasional sehingga bisa mendatangkan banyak mata melihat. Fase yang ber-paradoks setelahnya adalah media sosial dianggap mampu menggantikan peran jurnalis karena cepat dan lebih personal, walau kadang berita hanya abal-abal. Si jurnalispun terjerat oleh godaan media sosial dengan hanya meng-capture atau menggunakan informasi dari sana (tanpa sumber yang jelas). Corona bukan hanya mengikis kepercayaan diri jurnalis, tetapi harga diri terlindas tersakiti.
ADVERTISEMENT
===============
Patricia Robin
Adalah pengajar di universitas swasta, saat ini giat merengkuh mimpi jenjang tinggi bidang Ilmu Komunikasi. Hobbynya membaca dan menulis layaknya jurnalis walau hanya 4 tahun bermain di jalur media massa sebelum pindah ke ranah akademis. Bertemu orang baru dan eksplorasi adalah kesenangan hakiki Patrice (begitu biasa disapa), diajak berkuliner ria juga membuat hatinya bahagia.