Pidato Presiden untuk Peringatan Indonesia Merdeka (Yang Sedang) 'Dijajah' Wabah

Patricia Robin
Sosok yang tertarik dalam bidang Ilmu Komunikasi. Sejalan dengan pekerjaan sebagai pengajar di Universitas, dan sebagai mahasiswa Doktoral. Isu mengenai media dan kehidupan sosial selalu menjadi perhatian Patrice (begitu biasa ia disapa).
Konten dari Pengguna
15 Agustus 2020 14:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Patricia Robin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bendera Indonesia. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bendera Indonesia. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Anda dan saya berada dalam satu dimensi, yaitu dimensi relasi. Tapi sadarkah bahwa Anda dan saya sama-sama berada dalam sebuah dimensi kekuasaan? Ya! Filsuf Prancis Michael Foucault tak tanggung-tanggung merunut bahwa dimana ada relasi, di situ ada kekuasaan. Selama terdata sebagai Warga Negara, sebenarnya kita adalah bagian dari mekanisme kekuasaan. Lantas, apakah kita juga masuk dalam pemikiran Presiden Joko Widodo dalam Pidato Kenegaraan HUT Ke-75 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia?
ADVERTISEMENT
Sejak melebarkan sayapnya sebagai politisi, Jokowi memang sudah mengunci citra diri sebagai sosok yang begitu ke-kini-an, lincah, gesit, mudah beradaptasi, dan dekat dengan rakyat (blusukan, pakaian santai, kemeja lengan gulung dan pencitraan apik lainnya). Ciri khas itu tidak ia tinggalkan bahkan ketika sudah menjabat sebagai Pemimpin Negara ke-2 kalinya. Dalam Pidato Kenegaraan, secara rapi dan teratur, beliau menggunakan kata yang merangkul rakyat. Ungkapan “Kita” lebih sering terdengar pada pidato kenegaraan ini, ketimbang kata “Saya” yang ia lontarkan ketika perdana menyampaikan Indonesia Darurat Corona pada 31 Maret 2020. Masih lekat dalam ingatan ketika awal mula istilah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menjadi jargon yang dikenal, hingga akhirnya berganti menjadi new normal era. Hal ini menjadi titik nadir Presiden Jokowi mendapat serangan kanan kiri atas bawah atas kepemimpinannya yang sempat dibilang lamban dan pada awalnya menganggap bahwa Virus Corona hanya candaan dan rakyat kebal terhadapnya.
ADVERTISEMENT
Pada Pidato Kenegaraan di 14 Agustus 2020, Presiden Jokowi mempersuasi rakyat bersama-sama dari mulai menyiapkan rumah sakit, alat kesehatan, evakuasi WNI dari Tiongkok dan berbagai ajakan yang menunjukkan nuansa populisme. Jokowi bersama rekan terdahulunya, BTP, memang terkenal lugas pada awal karier, tetapi trend tersebut agak menurun menjadi ajang ber-retorika saja. Berbagai istilah yang ke-kini-an karena terkait komputer dan teknologi, ia lontarkan dengan asumsi sudah menjadi pengetahuan umum semua rakyatnya. Hang? Restart? Rebooting? Setting? Sesaat terpikir, apakah ini pertanda bahwa pemerintah lupa bahwa masih ada rakyat yang teriak-teriak meminta internet masuk desa? Apakah lantas literasi digital dianggap sudah nyata, bukan hanya di Ibukota?
Pembenahan diri terus digadang harus terjadi, terutama strategi besar di bidang ekonomi, hukum, pemerintahan, sosial, kebudayaan, kesehatan dan pendidikan. Ada yang hilang di sini. Apakah lantas pelaku politik dan wakil rakyat tak perlu berpolitik lagi? Tak mudah kita lupakan bahwa politik adalah mengenai bertahan hidup. Pemerintah kini memegang kendali, dan tak mungkin mau melepaskan kendali itu walau krisis sudah usai. Jangan sampai ada golongan yang lupa, bahwa sebelum, selama dan sesudah pandemi, kesatu-paduan adalah harga mati, bukan hanya mengenyangkan perut sendiri.
ADVERTISEMENT
Pak Jokowi lekat dengan kemauannya akan hal sederhana (simple) dan tidak merepotkan. Berbagai kesulitan birokrasi ia pangkas dan jadikan bermuara di satu pintu saja. Hal ini yang ia tekankan dalam Pidato Kenegaraan, terutama ketika melupakan prosedur panjang menjadi smart short cut. Sesuatu yang sudah digalakkan oleh Jokowi terkait perampingan memang menjadi kelebihannya sejak awal Pemerintahan Periode Pertama. Hal ini juga mewujudkan keinginan untuk tampil dan berkembang. One Man Show.
Pidato dengan api menyala karena Indonesia diserang wabah menjadi semakin berwarna dengan keberadaan pernyataan bagaimana Pemerintah tidak main-main dengan korupsi. Belum hilang dari ingatan ketika mahasiswa turun ke jalan menyuarakan keinginan mendapat perhatian untuk didengar. Lantas, ketika Pak Presiden menyentuh kata demokrasi yang menjamin kebebasan, apakah benar demikian adanya? (Pemerintah) Indonesia belum bisa menerima demokrasi sebagai harga mati. Mereka yang turun ke jalan dianggap pembangkang dan oposisi, ditambah kenyataan bahwa media sosial dan berbagai platform kebebasan lainnya sudah di depan mata. Kebebasan berpendapat adalah fakta baru yang wajib diterima. Mengusung pada hal tersebut, kadang ke-"baper"-an Pemerintah menjadi-jadi menjadi saling tuding sana sini.
ADVERTISEMENT
Konsep Kekuasaan Foucault bekerja dengan nyata, yaitu ketika pemerintah dan peran-perannya sebagai kelas sosial yang berkuasa dan tata laksana kapitalisme atau lembaga biasa tersebar di masyarakat dan mempengaruhi kehidupan manusia setiap hari. Menjadi “lucu” ketika Pak Jokowi mengajak rakyat “membajak momentum krisis demi lompatan kemajuan”. Mari kita mundur untuk melihat arti kata “Momentum”. Kata ini lekat dengan “kesempatan” atau lebih real dalam dunia fisika adalah membicarakan hal yang ditunggu-tunggu. Apakah lantas dengan ini di-amini bersama bahwa Indonesia menunggu dan menantikan krisis? Kosa kata yang dianggap “keren” belum tentu menjadi wujud keinginan nyata. Mengacu lagi pada kata “Momentum” yang lekat dengan kesukaran menghentikan laju. Apakah lantas Indonesia tidak siap dan mampu mengentaskan ini semua?
ADVERTISEMENT
Dear Pemerintah, rakyat selalu setia menunggu akan perubahan dan perkembangan, tapi tolong bukan berarti kami siap menanggung beban. Bila boleh berkata, jangan “PHP” kami. Jangan gantung kami. Rakyat memang kadang banyak mau dan minta, tapi boleh, kan, kami mendapat hak dari para wakil yang sudah kami berikan amanat?
----------------------------------------------------------------------
Patricia Robin
Adalah pengajar di universitas swasta, saat ini giat merengkuh mimpi jenjang tinggi bidang Ilmu Komunikasi. Hobbynya membaca dan menulis layaknya jurnalis walau hanya 4 tahun bermain di jalur media massa sebelum pindah ke ranah akademis. Bertemu orang baru dan eksplorasi adalah kesenangan hakiki Patrice (begitu biasa disapa), diajak berkuliner ria juga membuat hatinya bahagia.