Polemik Penolakan Pendirian Gereja: Sudahkah Indonesia Merdeka dalam Beragama?

Patrick Cundamani P
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
13 Desember 2022 19:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Patrick Cundamani P tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Gereja sebagai tempat beribadah umat Kristiani. Credit: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gereja sebagai tempat beribadah umat Kristiani. Credit: pexels.com
ADVERTISEMENT
Permasalahan terkait penolakan pendirian rumah ibadah kembali mencuat di muka publik khususnya jagat maya. Publik kembali dihadapkan kepada aksi intoleransi yang terjadi terhadap jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Maranatha Cilegon. Beberapa kelompok masyarakat bahkan perangkat Daerah Kota Cilegon secara gamblang menolak rencana pendirian gereja HKBP Maranatha yang berlokasi di Cikuasa, Kelurahan Gerem, Kecamatan Grogol, Kota Cilegon.
ADVERTISEMENT
Pada 7 September 2022, sejumlah masyarakat yang mengklaim diri sebagai Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pengacara Rakyat, Tokoh Masyarakat, dan Tokoh Agama melakukan aksi untuk menolak adanya pendirian gereja HKBP Maranatha Cilegon yang berlangsung di depan Kantor DPRD Kota Cilegon dan Kantor Walikota Cilegon. Aksi tersebut kemudian dibumbui dengan kegiatan tanda tangan petisi sebagai tanda partisipasi publik untuk menolak pembangunan gereja tersebut. Sedihnya lagi, jajaran perangkat Daerah Kota Cilegon seperti Wali Kota, Wakil Wali Kota dan Ketua DPRD Kota Cilegon ikut serta menandatangani petisi penolakan tersebut.
Aksi intolernasi tersebut didasarkan kepada Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK/1975, Tertanggal 20 Maret 1975. Surat keputusan tersebut konon mengatur mengenai penutupan gereja dan rumah ibadat bagi jemaat Kristen di daerah Kabupaten Serang yang sebenarnya telah diteken lebih dari empat dekade lalu. Lebih gilanya lagi, mereka mendesak Wali Kota dan Ketua DPRD Kota Cilegon untuk segera membuat pengaturan baru yang dapat memperkuat keberadaan SK tersebut agar dapat berlaku selamanya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, pihak panitia pembagunan gereja HKBP Maranatha Cilegon sebenarnya sudah menerima validasi oleh 112 jemaat dari keseluruhan 3.903 jiwa dan pihak gereja juga mengklaim telah mengantongi dukungan dari 70 warga yang ada di sekitar lingkungan lokasi pembangunan gereja. Namun, pihak gereja mengalami kendala dalam melakukan permohonan pengesahan dukungan oleh pihak kelurahan. Mereka tampaknya enggan untuk memberikan pengesahan tanpa memberikan alasan yang jelas. Tantangan tidak berhenti di situ, pihak gereja juga kesulitan meminta rekomendasi dari pihak Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Cilegon untuk mendirikan gereja tersebut.
Kebebasan beragama sejatinya merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang dimiliki setiap orang dan harus dipenuhi. Namun, penolakan terhadap pendirian gereja HKBP Maranatha di Cilegon tersebut justru mencederai hak kebebasan beragama dan menjalankan ibadah orang lain. Meskipun demikian, alih-alih memberikan perlindungan terhadap hak beragama dan menjalankan ibadah setiap masyarakatnya, perangkat Daerah Kota Cilegon malah dengan bangganya ikut menentang pendirian gereja tersebut.
ADVERTISEMENT
Padahal sejatinya, kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sudah dijamin oleh konstitusi. Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) secara tegas menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan beragama dan menjalankan ibadahnya sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Selain itu, mengenai prosedur pendirian rumah ibadat juga diatur di dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) No. 9 dan No. 8 Tahun 2006.
Tindakan intoleransi yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat di Cilegon sudah mencederai hak kebebasan beragama dan menjalankan ibadah jemaat HKBP Maranatha Cilegon. Mereka menolak pendirian gereja yang sejatinya merupakan kebutuhan spiritual pokok bagi jemaat HKBP Maranatha Cilegon dengan dalih ada SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK/1975. Padahal, apabila mengutip pernyataan dari Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB), Wawan Djunaedi menerangkan bahwa, “Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK1975 sudah tidak relevan lagi untuk dijadikan dasar penolakan pendirian gereja.”
ADVERTISEMENT
Mirisnya lagi, perangkat Daerah seperti Wali Kota, Wakil Wali Kota dan Ketua DPRD Kota Cilegon malah ikut serta dalam penandatanganan petisi penolakan terhadap pendirian gereja tersebut. Wali Kota Cilegon, Helldy Agustinus berdalih bahwa keikutsertaannya dalam penandatanganan petisi tersebut semata-mata hanya untuk memenuhi kemauan massa terutama golongan ulama yang ada pada aksi tersebut. Terlepas dari alasan apapun, tindakan yang dilakukan oleh Wali Kota Cilegon tidak dapat dibenarkan. Seharusnya, pejabat daerah membantu menengahi dan mencari jalan keluar terhadap permasalahan ini, bukan langsung ikut teken petisi penolakan.
Peristiwa intoleransi seperti ini bukan hanya sekali terjadi di Indonesia. Berkaca pada masa lalu, peristiwa seperti pelarangan kegiatan ibadat, penolakan pendirian rumah ibadat, bahkan pengerusakan dan penutupan rumah ibadat menjadi momok yang sering menghantui khususnya pada golongan minoritas. PBM No. 9 dan No. 8 Tahun 2006 kerap kali menjadi bantu sandungan yang mencederai hak kebebasan beragama warga negara. Peraturan yang sering menimbulkan masalah sudah sepatutnya ditinjau kembali. Jangan sampai kehadiran PBM No. 9 dan No. 8 Tahun 2006 malah menimbulkan celah diskriminasi.
ADVERTISEMENT
Jika peristiwa-peristiwa intoleransi terus terjadi, keberagaman bukan menjadi hal yang indah lagi. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika tidak lagi menjadi semangat persatuan di tengah keberagaman melainkan hanya frasa indah yang ditulis di secarik kertas. Kerukunan antar umat beragama hanya menjadi mimpi belaka.
Sudah saatnya Indonesia berbenah diri untuk menuntaskan berbagai masalah intoleransi seperti ini. Peristiwa intoleransi seperi yang terjadi di Cilegon ini tidak boleh terulang kembali. Polemik intoleransi ini sudah selayaknya dibicarakan dengan kepala dingin untuk dicari jalan keluarnya. Pemerintah selaku pemangku kekuasaan seharusnya menjadi fasilitator dan penengah dalam menyelesaikan problematika ini bukan malah ikut-ikutan memperkeruh suasana. Selain itu, penting sekali untuk kembali menghidupi semangat Bhineka Tunggal Ika di dalam kehidupan antar umat beragama, serta menumbuhkan semangat toleransi, saling menghargai dan memaklumi antar umat beragama yang dimulai dari diri masing-masing. Niscaya, kemerdekaan beragama dan menjalankan ibadah seperti yang tertulis pada Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 bukan hanya iming-iming semata melainkan dapat direalisasikan seutuhnya.
ADVERTISEMENT