Konten dari Pengguna

Menelaah Kemenangan Sementara Dari Prabowo-Gibran

Oktavianus Daluamang Payong
Pengajar di STPM Santa Ursula
15 Februari 2024 12:55 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Oktavianus Daluamang Payong tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Deklarasi Kemenangan Probowo-Gibran. Sumber : kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Foto Deklarasi Kemenangan Probowo-Gibran. Sumber : kumparan.com
ADVERTISEMENT
Peristiwa politik besar di negeri ini telah tuntas digelar kemarin, Rabu (14/2/2024), yaitu pemilu serentak presiden dan legislatif. Berdasarkan hitung cepat dari hampir semua lembaga survei, sudah hampir dipastikan bahwa Indonesia akan memiliki presiden-wakil presiden ”baru” untuk lima tahun ke depan (2024-2029): Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka (Kompas.Id/15/02/2024).
ADVERTISEMENT
Hampir semua lembaga survey dalam hasil quick count menujukan bahwa pasangan Prabowo-Gibran mengungguli kedua pasangan calon lainnya. Dari hasil hitung cepat tersebut secara sementara bisa dipastikan bahwa pasangan nomor urut 2 bisa menang dalam satu putaran. Hasil ini memang belum pasti sembari menanti real count dari KPU.
Berdasarkan pemilu presiden beberapa tahun lalu bisa dipastikan bahwa hasil quick count tidak jauh berbeda dengan hasil real count dari KPU. Dan sudah bisa dipastikan bahwa Prabowo-Gibran akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden baru bagi Indonesia.
Namun ada hal menarik yang mau ditelaah di sini. Banyak kalangan, terutama kelas menengah terdidik yang banyak bersuara di media sosial, kecewa atas hasil ini. Mereka, pada umumnya, menghendaki perubahan, bukan kelanjutan. Kemenangan Prabowo jelas menandai kemenangan aspirasi kelanjutan atas perubahan. Jika kita ikuti percakapan di media sosial, terutama di platform X/Twitter, kekecewaan ini amat sangat terasa.
ADVERTISEMENT
Bagaimana memahami kemenangan Prabowo-Gibran ? tulisan ini mencoba mengulas beberapa dinamika politik yang terjadi belakangan ini. Kemenangan sementara ini sudah dipastikan berasal dari suara sah masyarakat selain itu belum ada gejolak terlihat yang berkaitan dengan penolakan atau protes terhadap hasil hitung cepat ini.
Fenomena menangnya Prabowo ini adalah sebuah ”teks terbuka” yang bisa dipahami secara berbeda-beda. Setiap orang punya cara pandang yang berbeda. Dari para pendukung sudah pasti merayakan kemenangan dan dari pihak yang sementara saat ini diungguli masih menanti menanti kejelasan perhitungan real dari KPU. Atau dengan kata lain "yang menang merayakan dan yang kalah menjelaskan".
Jika ditelaah secara mendalam ada tiga kubu politik dalam pertarungan pilpres tahun ini: kubu perubahan, kelanjutan, dan melawan kecurangan. Di dalam kampanye pun sedikit nampak kubu ini dalam pertarungan merebut kursi RI satu. Dengan demikian, Anies Baswedan mewakili aspirasi perubahan, Prabowo Subianto kelanjutan, dan Ganjar Pranowo melawan kecurangan (Ulil Abshar,2024)
ADVERTISEMENT
Kemenangan sementara Prabowo-Gibran yang lumayan meyakinkan satu putaran ini menunjukan bahwa masih ada keinginan dari masyarakat untuk pembangunan Indonesia masih ala Jokowi. Sejalan dengan kubu kelanjutan program yang digaungkan oleh pasangan calon nomor 2 tersebut.
Kemenangan ini jelas ternodai oleh begitu banyaknya pelanggaran etik dan aturan sebagaimana direkam dalam film Dirty Vote yang menghebohkan itu. Pelanggaran-pelanggaran itu memang benar ada, tetapi tidak bisa menyangkal fakta bahwa rakyat, dengan suara yang begitu besar, tetap menginginkan jalan pembangunan ala Jokowi. Suka atau tak suka ini adalah hasil yang ditentukan oleh masyarakat itu sendiri.
Kemunduran Demokrasi
Ada sedikit kemunduran demokrasi yang dialami oleh bangsa saat ini. Kalangan terdidik yang umumnya menghendaki perubahan itu sudah terbiasa dengan narasi ”kemunduran demokrasi” (macam-macam sebutannya: democratic backsliding, democratic declince, democratic stagnation). Tanda-tanda kemunduran itu memang kita lihat di mana-mana sejak Jokowi menjadi presiden.
Ilustrasi masyarakat yang telah memberikan suaranya dalam pemilu. Sumber : kumparan.com
Puncaknya, tentu saja, adalah akal-akalan melalui ”intervensi” dalam Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengubah syarat minimal umur kandidat presiden/wakil presiden yang akhirnya memungkinkan Gibran Rakabuming Raka maju sebagai cawapres.
ADVERTISEMENT
Dengan kemenangan Prabowo ini, apakah narasi kemunduran demokrasi itu nyata-nyata menjadi keprihatinan rakyat luas, atau, sebaliknya, hanya keprihatinan kalangan kelas menengah terdidik saja?
Bentuk kemunduran ini belum menjadi perhatian akar rumput. Masyarakat terkesan terlena dengan keadaan bangsa. Masyarakat masih ingin menikmati keberlanjutan program Jokowi. Bentuk perlawanan terhadap kemunduran demokrasi ini hanya ditunjukan oleh kaum akademisi dan orang yang memiliki keperihatinan khusus akan negara.
Ada semacam pemikiran yang menunjukan bahwa kemunduran dari demokrasi itu bukan hal yang urgen. Terjadi pembiaran yang begitu signifikan. Hal ini harus menjadi kesadaran bersama agar marwah demokrasi segera pulih.
Ini kemudian berarti bahwa kemenangan Prabowo-Gibran bukan bagian dari demokrasi. Kemenangan ini dilahirkan dari demokrasi tetapi demokrasi yang mungkin agak cacat karena ada pelanggaran etik di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Dengan segala kemunduran yang kita lihat tanda-tandanya selama ini, demokrasi di Indonesia tidak bisa dibunuh. Kekuatan demokrasi tidak hanya dinilai dari keberpihakan oligarkis yang ingin menguasai jabatan melainkan dari adanya kekuatan masyarakat sipil dalam mengawal jalannya negara; sistem pemerintahan presidensiil yang di dalamnya ada pembatasan kekuasaan presiden dan masyarakat tetap diberi kebebasan dalam berdemokrasi.
Pada akhirnya terpilihnya Prabowo-Gibran merupakan kemenangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka masyarakat memiliki peran untuk mendukung kebrlanjutan bernegara dengan tetap mengawal jalannya pemerintahan yang baik. Karena sejatinya kedaulatan penuh negara itu berada di tangan masyarakat.