Mengumpat: Alasan di Balik Ketidaksopanan

Peggy Kakisina
SEO Writer
Konten dari Pengguna
15 Februari 2021 12:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Peggy Kakisina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
@etiennegirardet via Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
@etiennegirardet via Unsplash
ADVERTISEMENT
Bahasa melambangkan budaya suatu bangsa. Sebagai alat komunikasi, bahasa mengandung kekuatan yang dapat mempengaruhi pendengarnya. Seperti yang kita ketahui, tidak semua kosa kata suatu bahasa tergolong sopan. Beberapa juga mengandung makna yang dinilai tabu dan menghina bagi sebagian orang, contohnya umpatan.
ADVERTISEMENT

Fenomena mengumpat

Sering kali saat berada di tempat umum, kita mendapati beberapa orang yang bercakap-cakap dan kemudian mengumpat. Fenomena ini menunjukkan bahwa, terlepas dari maknanya yang dianggap kasar, umpatan telah digunakan dalam interaksi sehari-hari kita. Selain itu, saat menonton film atau bermain game, kita mungkin juga pernah melihat tokoh yang mengumpat karena kesal. Hal ini dapat diartikan bahwa mengumpat, yang awalnya dilihat sebagai tindakan tak pantas, sedikit demi sedikit kehilangan statusnya sebagai perbuatan tidak sopan dan berubah menjadi budaya, bagian dari kehidupan sosial.
Tanpa kita sadari, mengumpat ditandai dengan tindakan dan perasaan yang kuat, konteks sosial antara penutur dan pendengar, serta formalitas dan situasi saat mengumpat. Beberapa di antara kita mungkin memiliki gaya mengumpat yang berbeda. Perbadaan ini dipengaruhi oleh pengetahuan pribadi, yang terbentuk dari pengalaman, kondisi psikologis, and budaya dimana kita dibesarkan.
ADVERTISEMENT

Motif mengumpat

Dalam bukunya yang berjudul Fult språk. Svordomar, dialekter och annat ont, Lars-Gunnar Andersson memberi sedikit pencerahan mengenai alasan kita mengumpat. Menurutnya, mengumpat didasari oleh tiga motif, yakni motif psikologis (psychological motives), motif sosial (social motives), dan motif linguistik (linguistic motives).
1. Motif psikologis
@dre0316 via Unsplash
Dalam motif psikologis, mengumpat digunakan sebagai cara kita untuk mengekspresikan perasaan dan mengurangi stres. Perasaan emosional yang dimaksud adalah perasaan non empatik, marah, frustasi, kaget, sedih, dan gembira. Perasaan ini juga mempengaruhi frekuensi kita dalam mengumpat. Sebagai contoh, jika kita semakin marah, kita akan semakin sering mengumpat.
2. Motif sosial
@imchang via Unsplash
Berdasarkan konteks sosial, umpatan memiliki fungsi yang berbeda. Dengan begitu, dalam motif sosial, mengumpat berfungsi untuk menghibur, menghina, dan mengejutkan. Selain itu, tindakan tidak sopan ini juga dapat menggambarkan keakraban atau pertemanan, memperkuat identitas grup, serta menunjukkan jarak sosial atau solidaritas kita.
ADVERTISEMENT
3. Motif linguistik
@priscilladupreez via Unsplash
Pada motif linguistik, mengumpat tidak berfungsi untuk mengekspresikan perasaan, melainkan muncul semata-mata sebagai unsur kebahasaan. Lewat motif ini, mengumpat menjadi cara kita untuk menekankan maksud atau pesan yang ingin kita sampaikan dan secara umum menunjukkan gaya percakapan sehari-hari kita.
Itulah tiga motif mengumpat yang perlu kita ketahui. Meskipun mengumpat telah menjadi bagian dari budaya, kita perlu bijaksana dalam menentukan pilihan kata yang tepat saat berinteraksi. Jangan sampai perubahan status mengumpat menjadikan kita mulai terbiasa dengan keberadaannya dalam kehidupan sehari-hari.