Ekokritik Sastra pada Naskah 'Kisah Perjuangan Suku Naga' Karya W. S. Rendra

Pelangi Citra Wafara
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
28 Oktober 2021 10:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pelangi Citra Wafara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pemandangan Alam. Sumber: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Pemandangan Alam. Sumber: pixabay.com
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan negara yang mempunyai ribuan pulau beserta keindahan alamnya yang sangat menakjubkan. Seperti yang kita ketahui, bahwa Indonesia kaya akan sumber alam yang berlimpah sehingga sudah tidak diragukan lagi mengapa pada jaman dahulu penjajah berlomba-lomba untuk menguasai Indonesia semata-mata untuk mengambil alih kekayaan alam yang ada pada negara seribu pulau ini. Di samping itu, dahulu kala pemerintah masih kurang memerhatikan kepeduliannya terhadap lingkungan hidup negara ini. Adanya hal tersebut, terjadilah sindiran maupun kritik untuk para pemerintah, terutama sindiran dan kritik melalui teks sastra.
ADVERTISEMENT
Teks sastra merupakan salah satu media yang tepat untuk menyuarakan konflik-konflik yang terjadi di dalam negara ini dan tentunya melalui sastrawan yang mempunyai keluhan atau kritik atas adanya konflik yang sedang hangat terjadi. W. S. Rendra pada naskah dramanya yang berjudul Kisah Perjuangan Suku Naga membahas salah satu kajian dalam teks sastra yang berbasis pada lingkungan hidup, yakni ekokritik (ekologi; lingkungan hidup).
Dapat diketahui bahwa sastra tumbuh dari lingkungan masyarakat dan lingkungan alam serta mempunyai fungsi sebagai suatu pandangan, media impresi, serta refleksi kenyataan hidup. Oleh karena itu, sastra sebagai peran utama di dalam perubahan nilai-nilai kemasyarakatan, kehidupan, dan kearifan lokal. Dengan adanya hal-hal tersebut, ekokritik di dalam karya sastra mempunyai tujuan untuk mengusut gagasan tentang lingkungan dan representasinya.
ADVERTISEMENT
W.S. Rendra, merupakan salah satu sastrawan yang mengekspresikan kritiknya lewat karyanya yang berbentuk naskah drama dengan judul Kisah Perjuangan Suku Naga. Pada naskah tersebut diceritakan bahwa kampung Suku Naga, tepatnya di Bukit Seloka hendak diubah menjadi kota pertambangan oleh Ratu Astinam dan anak buahnya. Selain itu, The Big Bos melalui perantara Mr. Joe juga hendak mengeruk tembaga dari kampung Suku Naga. Adanya konflik tersebut, rakyat Suku Naga beserta Kepala Suku Naga, yakni Abisavam sangat berupaya untuk mempertahankan adat, tanah, dan masa depan, serta peradaban Suku Naga. Ratu Astinam beserta Dewan Perwakilan Rakyat negara Astinam berlomba-lomba untuk meluluhkan rakyat Suku Naga dengan jurus “santun” dan dengan beribu alasan untuk merayu rakyat Suku Naga agar dapat menyukseskan program pembukaan pertambangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun, rakyat Suku Naga tidak dapat luluh begitu saja karena para rakyat tak semudah itu untuk merelakan Bukit Seloka menjadi kota tambang. Abisavam, selaku kepala suku bergerak untuk melakukan perlawanan dan perjuangan. Pertahanan militansi serta loyalitas rakyat Suku Naga terhadap leluhurnya membuat Ratu Astinam sangat geram, ia menganggap bahwa Suku Naga telah melakukan pembangkangan.
Sudut Pandang Rendra terhadap Naskah Kisah Perjuangan Suku Naga
Kisah Perjuangan Suku Naga merupakan sebuah gambaran kecil masyarakat Indonesia serta gambaran luas pemerintahan di Indonesia, kisah dari naskah tersebut juga sampai saat ini dapat dikatakan masih relevan. Rendra menciptakan karyanya ini lewat hasil pengamatan pribadinya ketika hidup bersama masyarakat desa. Dari pengamatan Rendra terdapat salah satu hal yang menguatkan bahwa pandangan modernitas pada kalangan masyarakat di desa masih sangat sempit, tidak jarang masyarakat di desa menjual tanahnya hanya untuk membeli sebuah kendaraan, hal inilah akibat dari pembangunan yang tak terencana.
ADVERTISEMENT
“Saya melihat drama ini masih relevan, karena kekuatan dari bentuk drama itu adalah amsal; amsal dari suku naga, penindasan, mesin industri, hubungan adikuasa dan negara berkembang, dan amsal dari negara totaliter,” ujar Rendra pada saat pengulangan pentas drama Kisah Perjuangan Suku Naga ini di tahun 1998. (sumber: https://dokumen.tips/documents/suku-naga.html). Rendra juga mengatakan bahwa segala kritik yang ada dalam naskah drama ini merupakan sebuah bentuk penegasan.
Naskah drama Kisah Perjuangan Suku Naga ini merupakan naskah yang mempunyai tema sangat berbeda. Karena naskah ini diangkat Rendra dari hasil pergumulannya dengan sebuah desa, yakni ia mengobservasi dan mewawancarai para petani, kepala desa, hingga anak-anak desa yang merantau ke kota. Sehingga naskah ini diciptakan Rendra di dalamnya terdapat sindiran-sindiran serta kritik yang luar biasa untuk para penguasa, karena pada saat itu adalah keadaan Orde Baru yang sedang panas-panasnya mereguk kekuasaan selama 10 tahun.
ADVERTISEMENT
Ekokritik pada Naskah Kisah Perjuangan Suku Naga
Ekokritik sastra diartikan sebagai studi tentang hubungan karya sastra dan lingkungan secara fisik. Kajian ekokritik ini merupakan kajian yang baru berkembang pada tahun 1990-an. (Glotfelty, 1996:109).
ADVERTISEMENT
Pada kutipan di atas, secara tersirat bahwa Rendra memberikan pandangannya mengenai perundang-undangan pengelolaan tanah di desa. Pandangan Rendra tersebut meyakini bahwa secara realistis penguasaan tanah di desa sangat tidak berdasarkan dari kebutuhan pekerjaan namun tentang siapa yang mempunyai modal terbesar, maka ia yang dapat menguasai tanah. Jika konflik tersebut dibiarkan, maka dapat terjadinya ekonomi di desa tidak akan stabil.
Gagasan Rendra pada kutipan di atas tentu saja dapat kita pahami dengan baik karena sudah bukan hal yang biasa bahwa orang kota seringkali memandang rendah orang-orang di desa yang memiliki pandangan bahwa orang desa jauh dari pergaulan, tidak produktif, dan susah untuk maju, padahal kenyataan yang sebenarnya adalah sebaliknya. Hal ini dapat digarisbawahi bahwa gagasan Rendra menyinggung tentang lingkungan hidup strategis di dalam segi pergaulan antar manusia.
ADVERTISEMENT
Melalui kutipan dialog di atas, Rendra menggambarkan keadaaan penyebab penghisapan ekonomi dari desa ke kota adalah bermula dari dijualnya tanah desa kepada orang kota. Jika hal tersebut terjadi maka orang desa bagaikan budak di tanah kelahirannya sendiri, sedangkan hak milik tanah tersebut telah dikuasai oleh orang kota dan tanah desa menjadi sumber kehidupan orang kota. Situasi ini dapat menyebabkan adanya ketimpangan sosial dan ekonomi serta terjadinya eksploitasi desa. Orang desa akan hidup sengsara karena sumber kehidupannya telah menjadi hak milik orang kota dan kebudayaan di desa pun menjadi hilang.
ADVERTISEMENT