Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Ini Beberapa Hambatan Mencapai Keadilan Sosial di Indonesia
CISDI adalah sebuah think tank independen yang berfokus pada perbaikan sistem pelayanan kesehatan untuk pencapaian SDGs Goal 3. Salah satu programnya, Pencerah Nusantara adalah gerakan pemuda yang bertujuan untuk memperkuat layanan kesehatan primer di daerah terpencil di Indonesia. Dikelola oleh CISD
27 Februari 2020 18:57 WIB
Tulisan dari CISDI Center for Indonesia Strategic Development Initiatives tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Keadilan sosial bukanlah tema yang asing didengar. Meski begitu, untuk mewujudkan keadilan sosial pemerintah perlu mengedepankan beberapa prinsip, kelayakan, kesamaan akses, partisipasi, dan hak. Dikarenakan kehadiran prinsip-prinsip ini, keadilan sosial disepakati sebagai konsep keadilan antara individu dengan masyarakat yang didasari oleh kesetaraan dan kesamaan kesempatan.
ADVERTISEMENT
Sebagai sebuah komitmen kebangsaan yang dikerjakan dalam jangka panjang, keadilan sosial jelas tidak bisa diwujudkan dalam waktu singkat. Oleh karena itu pada hari ini, kami merangkum beberapa masalah yang menghambat pencapaian keadilan sosial di Indonesia, terutama dalam bidang kesehatan dan pembangunan.
Ketimpangan yang Tinggi
Ketimpangan adalah konsep sosial dan ekonomi ketika muncul ketidaksamaan akses untuk memanfaatkan sumber daya, dikarenakan permasalahan status sosial, ekonomi, dan budaya. Hambatan untuk mengakses kehidupan yang layak dan tidak adanya kesempatan dalam suatu kelas sosial tertentu menjadi akar masalah utama ketimpangan.
Berdasarkan rasio gini yang diterbitkan oleh BPS per September 2019, ketimpangan Indonesia mengecil menjadi 0,38 dari 0,384 pada September 2018. Dalam setahun pemerintah berarti hanya mampu menekan ketimpangan sebesar 0.04 poin.
ADVERTISEMENT
Meskipun mengalami tren yang positif, upaya untuk terus mempersempit jurang ketimpangan sangat diperlukan. Itu karena ketimpangan menjadi indikator kuat adanya ketidakadilan dalam mencapai hak-hak dasar, seperti kesehatan, pendidikan, dan juga pekerjaan.
Seksisme dan Diskriminasi Perempuan
Di Indonesia, praktik budaya yang melanggengkan seksisme dan diskriminasi terhadap perempuan masih sering ditemukan. Indonesia hingga hari ini masih menjadi negara dengan kasus perkawinan anak tertinggi kedua di ASEAN. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan pada 2018, dari 627 juta penduduk Indonesia, pernikahan perempuan berusia kurang dari 16 tahun mencapai 1,8 persen dan persentase anak yang menikah di bawah usia 15 tahun mencapai 0,6 persen.
Perkawinan anak berpotensi memutus akses perempuan ke pendidikan, ekonomi, kualitas hidup yang lebih baik, bahkan kebebasan berpendapat. Perkawinan anak jelas tidak berpihak pada perempuan dan memupuk asumsi bahwa perempuan hanya berguna ketika dinikahkan.
ADVERTISEMENT
Sama seperti perkawinan anak, di Indonesia praktik sunat perempuan juga kerap terjadi. Praktik ini berkembang secara turun temurun karena alasan adat dan kebiasaan dan tidak memiliki landasan media. Sebab itu, hingga hari ini Indonesia masih menjadi negara ketiga dengan prevalensi sunat perempuan tertinggi ketiga di dunia di bawah Gambia dan Mauritania.
Praktik seksisme dan diskriminasi terhadap perempuan merupakan persoalan serius karena keberadaannya didasarkan pada prasangka terhadap perempuan. Pemerintah perlu secara tegas menghilangkan praktik-praktik ini untuk mewujudkan keadilan sosial bagi kelompok perempuan.
Ketidakmerataan Akses Kesehatan
Sistem kesehatan nasional berupaya mengakomodasi BPJS Kesehatan untuk mencapai Cakupan Kesehatan Semesta, namun hal itu belum cukup. Riset Risnakes tahun 2017 menyebutkan bahwa terjadi peningkatan signifikan tenaga kesehatan dalam rentang waktu 2011-2017 dengan rasio dokter berbanding puskesmas sebesar 2,08. Artinya, setidaknya terdapat dua dokter di satu puskesmas. Namun demikian, riset yang sama menunjukkan masih terdapat 748 puskesmas (7,7%) tanpa tenaga dokter.
ADVERTISEMENT
Riset tersebut menyiratkan, semakin terpencil suatu daerah, seperti di Papua, Maluku, atau Nusa Tenggara Timur, semakin sedikit pula jumlah dokter dan tenaga kesehatan yang bisa ditemui. Konsekuensi dari minimnya tenaga kesehatan adalah waktu berobat yang panjang dan pelayanan kesehatan yang tidak maksimal.
Padahal, kondisi pasien yang sakit seharusnya bisa diatasi sebaik mungkin di pelayanan kesehatan dasar, seperti puskesmas. Tidak meratanya akses ke pelayanan kesehatan yang baik berimbas pada produktivitas warga negara dan secara tidak langsung menghambat pencapaian keadilan sosial.
Baca artikel selengkapnya di sini!
Live Update