Absurditas Orang-Orang 4.0

Waode Nurmuhaemin
Doktor Manajemen Pendidikan , Penulis Artikel dan Buku Pendidikan
Konten dari Pengguna
12 Mei 2023 9:58 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Shutterstock Foto
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Shutterstock Foto
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Para ahli zaman dahulu, kerap meramal bagaimana orang-orang di masa depan? Terutama manusia abad 20, meramalkan manusia abad 21.
ADVERTISEMENT
Abad 21 memang mencengangkan. Dengan ditemukannya internet maka dunia pun hanya dalam lipatan. Tidak ada batas, hampir tidak ada privasi. Manusia hidup dalam dua dunia, nyata dan maya. Keduanya semakin berkebalikan dan terkadang sudah tidak lagi bisa membedakan mana dunia nyata dan mana yang maya.
Dunia nyata kita kerap dikacaukan dengan kehidupan di dunia maya. Manusia semakin lelah dengan pola hidup absurd. Kalau dulu, kita akan menemui banyak orang di restoran, namun saat ini terkesan sepi. Pola memesan makanan dengan cara order lewat online mengambil alih wajah perilaku makan kita.
Kita semakin jarang berjumpa dengan siapa saja. Hanya orang-orang yang memang harus kita jumpai ada di sekitar kita. Selebihnya orang-orang yang dulu lingkaran kita menjadi potongan-potongan memori yang semakin hilang.
ADVERTISEMENT
Tuntutan hidup juga luar biasa mengambil waktu kita. Pulang ke rumah sudah magrib dan tiba-tiba isya. Lalu kita harus istirahat agar tidak tumbang di besok harinya.
Ilustrasi pekerja yang berkaitan di sektor ekonomi digital. Foto: Getty Images
PHK di mana-mana. Mau tidak mau membuat kita harus bekerja dengan performa meyakinkan. Bahkan saat ini, dosen pun sudah bisa digantikan oleh kecerdasan buatan.
Di tengah-tengah fenomena itu, harga-harga melambung dan mencekik, ekonomi karut-marut. Hanya sedikit masyarakat yang bisa hidup santai.
Dari 276 juta masyarakat Indonesia, konon hanya 134 ribu yang betul-betul kaya dengan kekayaan Rp 10 miliar. Yang lainnya harus memerah keringat, bahkan jadi sapi perah industri, pabrik , perusahaan, korporat agar sekadar bisa hidup layak.
Kita semakin tidak memiliki waktu sehingga perlulah kiranya kita untuk memfungsikan orang-orang di sekitaran kita sebagai komponen yang hanya melengkapi hidup kita. Hidup ini sudahlah teramat berat jika kita menaruh “ hati dan perasaan” dalam berkomunikasi dengan siapa saja.
ADVERTISEMENT
Dipusingkan hal-hal kecil, sudah bukan zamannya lagi. Kita hidup di 4.0. Persaingan dan sikut-menyikut di semua lini adalah kenyataan. Semua harus terukur. Mengedepankan perasaan adalah malapetaka untuk kita karena tidak semua orang akan bersikap seperti yang kamu mau dan juga akan melakukan timbal balik seperti yang kamu pikirkan.
Sejumlah penumpang keluar dari gerbong kereta rel listrik (KRL) Commuterline Jabodetabek di Stasiun KA Manggarai, Jakarta, Senin (24/4/2023). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
Saya sudah bisa membedakan mana yang harus diperhatikan dan mana yang harus diabaikan. Jika tidak, maka energimu untuk bekerja dan aktivitas lain habis terkuras.
Mengertilah, semua orang adalah individu yang terhubung dengan kita hanya untuk waktu yang temporer. Kita tidak bisa melihat dunia dari sudat pandang kita. Yang bisa kita lakukan, tidak teperdaya dengan hal-hal yang tidak kelihatan yang berpotensi menguras emosi, waktu dan pikiran.
ADVERTISEMENT
Cukup direnungkan saja dan diambil hikmah, ketika kita jatuh , susah, yang ada hanya diri kita bukan? Sehingga pikran-pikiran purba bahwa akan ada orang yang juga memikirkan posisi dan masalahmu hanya akan membuang-buang waktu untuk solusi yang sebenarnya bisa kamu dapatkan sendiri.
Dengan demikian, perlunya kesadaran diri bahwa kita hidup di era 4.0 di mana salah sedikit dalam pekerjaan kita bisa dipecat dengan segera. Sehingga tidak ada lagi kegiatan-kegiatan unfaedah yang kita pupuk dan lestarikan.
Tidak ada pekerjaan yang aman saat ini, semua dalam intaian PHK. Apalagi kita bukan merupakan bagian masyarakat kaya yang hanya satu persen. Bukan pilihan yang bijak untuk terseret-seret arus perasaan. Sudah kuno dan kampungan.
ilustrasi PHK. Foto: Shutterstock
Saat ini di 4.0, per sekitaran kita hanyalah pelengkap bukan tujuan. Dengan memasang mindset begitu kita akan kebal dengan hal-hal yang kurang berguna untuk dunia dan lebih-lebih untuk akhirat kita.
ADVERTISEMENT
Jangan gampang tertipu kamuflase-kamuflase yang akan merugikan hidup kita. Sebab hidup orang bukan tanggung jawab kita dan hidup kita tanggung jawab kita sendiri. Jika ini kita terapkan, maka all is well. Hal ini bukan sebagai sikap anti sosial, bersosial-lah tanpa berlebihan dan membuat hidupmu di jurang kehancuran.
Seperti yang saya katakan di awal, semua manusia punya sudut pandang masing-masing. Memahami bisa, namun memaksa diri untuk mengikuti tidak perlu. Kita dan semua orang adalah individu yang berbeda.
Tolak sekeras-kerasnya hal-hal negatif yang hanya menghancurkan karier dan juga hidupmu atas nama apapun. Apalagi zaman sekarang membedakan yang ori dan palsu sangatlah susah. Jangan taruh segala rasa di hati, cukup dilihat. Maka hidupmu aman, tenteram, dan damai.
ADVERTISEMENT