Konten dari Pengguna

Ada Apa dengan UKT?

Waode Nurmuhaemin
Doktor Manajemen Pendidikan , Penulis Artikel dan Buku Pendidikan
1 Juli 2023 8:36 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Shutterstock Foto
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Shutterstock Foto
ADVERTISEMENT
Bulan Juli adalah bulan ajaran baru untuk dunia pendidikan di Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, akhir-akhir ini, muncul berita-berita yang kurang sedap tentang mahalnyaUang Kuliah Tunggal (UKT) di beberapa kampus negeri bergengsi.
ADVERTISEMENT
Bahkan BEM suatu universitas di kampus bonafid melakukan demo di depan rektorat. Kita semua tentu saja prihatin dengan kondisi ini. Sejatinya setiap kampus negeri di Indonesia sudah menerapkan UKT berkeadilan yang dirasa cocok dengan penghasilan keluarga mahasiswa-mahasiswa yang terdaftar.
Bahkan untuk yang tidak mampu, ada beasiswa Bidikmisi atau KIP kuliah yang bukan saja menggratiskan SPP namun juga malahan memberikan uang bulanan untuk tempat tinggal dan biaya sehari-hari—dengan catatan bahwa mahasiswa adalah pemegang kartu keluarga harapan.
Kalaupun sang mahasiswa misalnya keberatan dengan UKT yang dikenakan kampus bisa melampirkan bukti-bukti dan mengajukan keberatan. Pihak kampus yang dituding menerapkan UKT mahal pun menjawab bahwa mereka tidak mungkin menerapkan bayaran Rp 500 ribu satu semester terhadap mahasiswa yang ke kampus naik Pajero Sport.
ADVERTISEMENT
Kisruh UKT memang selalu menimbulkan kegaduhan di setiap Juli. Ada beberapa mahasiswa yang mengeklaim mengundurkan diri akibat tidak mampu menjangkau UKT yang ditentukan.
Sebenarnya semua kampus sudah memiliki mekanisme meringankan biaya kuliah mahasiswa seperti yang saya sebutkan di atas. Bahkan di UI ada juga program kerja di lingkungan kampus untuk mahasiswa yang betul-betul membutuhkan tambahan uang saku agar kuliahnya tidak terputus.
Ilustrasi Transaksi atau Uang Rupiah. Foto: Shutterstock
Namun, entah mengapa ada saja mahasiswa yang harus jadi korban mahalnya biaya UKT kampus-kampus negeri. Mungkin saja terjadi perbedaan persepsi antara kampus dan pihak mahasiswa mengenai batasan kaya dan miskin.
Ada mahasiswa yang mengatakan bahwa keluarganya memang berpenghasilan Rp 30 juta satu bulan. Namun, banyak juga adik dan kakaknya yang kuliah serta masih harus membayar cicilan ini dan itu sehingga UKT yang diterapkan terasa berat untuk dia dan keluarganya.
ADVERTISEMENT
Kesalahan memang tidak semua ada di pihak kampus karena keringanan UKT mengikuti jumlah pendapatan orang tua. Kalau demikian, apakah UKT masalah rasa? Merasa miskin dan kaya? Sehingga untuk yang orang tua yang penghasilannya puluhan juta rupiah, hal itu termasuk sangat tinggi untuk ukuran Indonesia, masih juga keberatan dengan UKT.
Bayangkan standar BPS menetapkan di atas Rp 17 ribu pengeluaran sehari bukan termasuk orang miskin. Artinya keluarga yang berpenghasilan setidaknya Rp 510 ribu sebulan termasuk orang mampu, maka yang berpenghasilan Rp 30 juta atau di atas itu sebulan adalah orang-orang yang sangat-sangat mampu. Sehingga kampus wajar-wajar saja menetapkan UKT tinggi semisal Rp 15 juta satu semester.
Semua aspek-aspek itu harus ditimbang baik-baik oleh pihak-pihak kampus negeri di negara ini sebagai kampus pemerintah. Kita tentu saja merasa sedih jika ada anak yang tidak bisa melanjutkan kuliah karena persoalan UKT yang ternyata kalau dilihat secara kemampuan orang tua juga tidak miskin-miskin amat, namun karena standar hidup mereka yang tinggi sehingga ada hal-hal yang tidak bisa diganggu gugat untuk memprioritaskan UKT.
ADVERTISEMENT
Namun, kalau anak-anak yang betul-betul miskin yang orang tuanya pendapatan di bawah Rp 510 ribu sebulan seperti standar BPS tidak bisa kuliah karena tidak bisa membayar UKT dll, maka hal ini adalah tragedi. Karena miskin itu sendiri adalah tragedi terbesar dalam hidup manusia.
Ilustrasi Transaksi atau Uang Rupiah. Foto: Shutterstock
Orang miskin kerap dipandang remeh, dilecehkan, tidak mendapat keadilan, terjerat utang, bahkan makan pun susah. Sehingga kalau anak-anak orang miskin yang tidak bisa kuliah, kita "memang patut" untuk merasa pilu.
Sehingga yang penghasilan orang tuanya tinggi dan kemudian mereka mahasiswa-mahasiswa itu, mengundurkan diri karena tidak mampu bayar sebaiknya pihak kampus untuk segera terjun langsung melihat kehidupan mereka. Sehingga ribut-ribut UKT tidak berlarut-larut dan kemudahan-kemudahan yang diberikan pihak kampus juga tidak salah sasaran.
ADVERTISEMENT
Jangan ada penerima beasiswa Bidikmisi atau KIP kuliah yang entah dengan cara apa malahan diterima anak-anak mampu dan yang betul-betul miskin berurai air mata meratapi nasib yang entah harus mengadu kepada siapa.
Saya kira kalau tim verifikator kampus betul-betul turun memeriksa ke rumah-rumah mahasiswa yang keberatan itu. Tidak akan ada masalah-masalah UKT demikian juga para mahasiswa. Kalau ke kampus saja masih bisa ber-Pajero ria dan sekelasnya jangan meminta untuk diberikan UKT murah. Sadarilah subsidi silang itu untuk membantu mereka yang betul-betul miskin.
Zaman teknologi saat ini, sangat canggih sehingga melacak gaya hidup sebuah keluarga tidak lagi terlalu susah, semoga tahun-tahun depan masalah UKT tidak lagi muncul sebagai masalah laten yang tidak terpecahkan dari tahun ke tahun.
ADVERTISEMENT