Ancaman Serius di Balik Penghapusan Skripsi dan Publish Jurnal

Waode Nurmuhaemin
Doktor Manajemen Pendidikan , Penulis Artikel dan Buku Pendidikan
Konten dari Pengguna
22 September 2023 18:29 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi skripsi. Foto: Aewphoto/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi skripsi. Foto: Aewphoto/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saya pernah membaca disertasi Albert Einstein yang di-publish oleh ETH Zurich pada tahun 1906, berjudul “Eine Neue Bestimmung der Moleküldimensionen” (A New Determination of Molecular Dimensions). Semua itu masih bisa diakses pada laman resmi ETH Zurich kampus sang ilmuwan jenius memperoleh gelar doktornya.
ADVERTISEMENT
Demikian juga dengan skripsi Sir Isaac Newton yang ditulisnya tahun 1669-1701, meskipun hanya catatan-catatan manuskrip. Termasuk juga materi-materi perkuliahanya di kampus itu ketika dia menjadi dosen—yang semuanya masih tersimpan rapi dan sudah digitalasisi di Cambridge University.
Bahkan tokoh-tokoh para peraih nobel dari yang pertama hingga yang terakhir karya-karya mereka di dunia akademik, baik itu skripsi, tesis, maupun disertasi masih tersimpan rapi di kampus masing-masing yang masih bisa kita baca secara lengkap hingga hari ini.
Karya-karya itu membuat kita terbawa ke suasana zaman di mana orang-orang hebat tersebut menentukan corak dan warna zaman yang mereka hidup di masa itu sehingga dicatat dengan tinta emas dalam sejarah.
Begitu juga dengan jurnal-jurnal yang mereka tulis yang sebagian besar adalah menyumbangkan penemuan-penemuan yang menjadi dasar kemajuan teknologi saat ini.
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu dalam episode 26 Merdeka Belajar, Mendikbud Ristek Nadiem Makarim mengatakan, standar nasional pendidikan tinggi bertransformasi menjadi lebih sederhana. Penyederhanaan terjadi pada sejumlah poin, yakni lingkup standar, standar kompetensi lulusan, dan standar proses pembelajaran dan penilaian.
Mas Menteri juga mengatakan bahwa perguruan tinggi boleh untuk tidak mewajibkan mahasiswanya untuk tidak lagi mengerjakan skripsi sebagai syarat kelulusan yang boleh saja digantikan dengan model lain. Terlebih untuk kampus yang sudah menerapkan program Merdeka Belajar yaitu projek based learning.
Negara-negara maju memang tidak selalu mewajibkan skripsi sebagai syarat kelulusan. Namun untuk tesis dan disertasi masih wajib. Bahkan juga publish di jurnal internasional untuk mahasiswa S2 dan S3.
Contoh saja Malaysia, negara yang kampusnya duduk di peringkat ke-65 dunia versi QS World University Rankings tahun 2024 itu sistem pendidikan tingginya sama seperti negara Eropa.
ADVERTISEMENT
Untuk tingkat sarjana dan master, mereka memiliki tiga sistem kuliah yaitu course work only atau kuliah saja, thesis only atau hanya tesis tanpa kuliah, dan campuran antara kuliah dan tesis. Jadi masih ada kewajiban menulis skripsi atau tesis walaupun tidak untuk semua mahasiswa.
Ilustrasi skripsi. Foto: Aewphoto/Shutterstock
Untuk tingkat doktoral hanya ada model disertasi saja tanpa kuliah, namun di beberapa prodi akan mensyaratkan hadir dan lulus di mata kuliah tertentu tanpa SKS atau kredit. Misalnya saja mata kuliah Statistik Lanjutan.
Di Amerika dan kebanyakan negara lain, mahasiswa master dan doktor S3 wajib kuliah, mengerjakan tesis dan disertasi, serta melakukan publish di jurnal internasional.
Sementara itu, kebijakan penghapusan skripsi di Indonesia tentu saja akan menimbulkan banyak dampak secara akademik. Yang pertama adalah akan semakin menurunkan minat baca di kalangan mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Menurut Unesco, hanya satu dari 1000 orang Indonesia yang gemar membaca buku. Survei yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand peringkat ke-59 dan di atas Bostwana peringkat ke-61).
Hasil test PISA skor literasi anak Indonesia pun hanya mampu duduk di peringkat 10 terbawah sejak tahun 2000 tes PISA pertama dilaksanakan sampai tahun 2018.
Konon, kabarnya seorang anggota dewan mengkonfirmasi bahwa beliau sudah melihat hasil tes PISA Indonesia tahun 2022 lalu, dan hasilnya belum juga membaik. Ini menunjukkan bahwa minat baca pelajar kita sangat rendah.
Penutupan toko-toko buku juga makin mengindikasikan bahwa belum ada perbaikan signifikan dalam minat baca. Meskipun ada buku digital, namun saya tidak terlalu yakin seseorang bisa menuntaskan sampai selesai satu buku digital karena saat ini koran-koran online menyajikan artikel itu paling banyak 800 kata.
ADVERTISEMENT
Hal ini bukan tanpa sebab. Tentu saja media-media online juga sudah riset tentang kemampuan bertahan membaca masyarakat Indonesia di media digital yang hanya di kisaran jumlah kata tersebut.
Itu pun banyak yang tidak tuntas membaca, hanya membaca judulnya dan kemudian menarik kesimpulan sendiri. Sehingga boro-boro bisa meningkatkan skill membaca, yang ada malahan menciptakan para pembaca-pembaca instan yang tidak paham apa subtansi artikel yang dibaca.
Adanya kewajiban mengerjakan skripsi, akan memaksa mahasiswa-mahasiswa S1 mengunjungi perpustakaan. Belum lagi di proses tersebut dosen pembimbing akan menuntut keakuratan data. Pun dalam penulisan, daya nalar dan daya kritis juga diuji.
Ilustrasi menulis skripsi. Foto: justplay1412/Shutterstock
Sehingga para mahasiswa S1 walaupun tidak mendalam, namun mereka akan paham model riset itu seperti apa dan berlatih membangun argumentasi dan teori berbasis data.
ADVERTISEMENT
Saat ini, mahasiswa hidup di dunia digital yang cenderung membuat daya kritis mereka untuk menjadi berkurang. Dengan kewajiban menulis skripsi, itu memaksa mereka untuk membaca buku dengan tuntas sehingga mereka bisa melihat masalah dari sudut pandang yang lebih luas.
Juga mengharuskan mereka untuk kemudian mengakses jurnal-jurnal yang up to date yang berhubungan dengan penelitian skripsi sebagai tugas akhir mereka.
Faktor kedua, dengan kewajiban selama ini publish di jurnal internasional bereputasi bagi mahasiswa S2 dan S3, nalar kritis dan kemampuan mendapatkan teori baru diuji.
Juga para mahasiswa itu, akan terbiasa mengakses jurnal-jurnal bereputasi sehingga mereka bisa belajar untuk menulis dengan skill ilmiah yang tinggi. Mereka juga dipaksa untuk memahami manuskrip berbahasa Inggris. Dan kemudian mem-publish karya mereka di sana.
ADVERTISEMENT
Bahkan publikasi mahasiswa master dan doktor inilah salah satunya yang mengangkat jumlah publikasi ilmiah kampus-kampus di Indonesia belakangan ini secara kuantitas jadi yang tertinggi di ASEAN, bahkan mengalahkan Singapura dan Malaysia. Sebagian ditopang oleh publikasi karya ilmiah mahasiswa S2 dan S3 pada jurnal-jurnal internasional bereputasi.
Penghapusan skripsi serta penghapusan kewajiban publish di jurnal internasioanal bagi mahasiswa S2 dan S3 adalah langkah mundur yang patut untuk dikaji ulang. Mahasiswa S1 tanpa menulis skripsi akan membuat mereka terjun bebas dari pengalaman memahami dunia riset dari dini.
Untuk mahasiswa S2 dan S3 publish di jurnal internasional, bisa saja kehilangan momen, kehilangan perjalanan batin yang secara filosofi mengapa melanjutkan ke jenjang master: untuk mengkaji teori.
ADVERTISEMENT
Sebab itulah tujuan dari kuliah master, kemampuan mengkaji teori yang relevan dengan bidang yang diambil. Sedangkan untuk mahasiswa doktoral, philosphy doctor-nya bahkan terancam lewat dan tidak bisa merasuk ke dalam diri mereka.
Mereka adalah strata tertinggi di dunia akademis yaitu menemukan teori. Teori apa yang akan tercipta tanpa membaca, menulis, dan riset serta publish di jurnal ilmiah bereputasi?
Ilustrasi toko buku. Foto: Shutterstock
Bisa saja mereka pada akhir perkuliahan hanya akan mendapatkan gelar tanpa menciptakan satu teori pun. Lalu, di mana istimewanya jika para empu-empu mahasiswa tingkat tertinggi dalam dunia perkuliahan tidak bisa mem-publish penemuan mereka dan hanya jadi konsumsi pribadi serta sedikit mahasiswa yang mengambil tema yang sama?
Kalau di publish di jurnal internasional bereputasi, seluruh dunia akan membaca penemuan mahasiswa doktoral tersebut yang otomatis akan mengangkat nama Indonesia di pentas internasional.
ADVERTISEMENT
Jika tidak di-publish di jurnal internasional bereptuasi, bahkan tidak ada nama mereka satu pun di manuskrip internasional yang tersimpan rapi dalam digitalisasi jurnal-jurnal bereputasi dunia. Peradaban dibangun di atas teori-teori hebat dan penemuan-penemuan hebat para mahasiswa tingkat tinggi ini.
Banyak peradaban besar, bahkan hadiah-hadiah nobel mengalir dari hasil penelitian para doktor yang kemudian dijadikan disertasi dan di-publish di jurnal-jurnal ilmiah bereputasi, meskipun belum ada dari Indonesia.
Menghapus kewajiban publish di jurnal ilmiah dengan alasan bahwa publish jurnal memperlambat waktu studi itu terkesan memanjakan mahasiswa. Mengapa mahasiswa negara lain bisa publish di jurnal internasional bereputasi?
Kalau memang kualitas tulisan mereka tinggi tentu saja akan dimuat di jurnal bereputasi. Alasan bahwa untuk mengeyahkan jurnal predator, setiap waktu list jurnal predator diperbaharui sehingga sangat jarang harusnya mahasiswa terjerat jurnal predator.
ADVERTISEMENT
Di negara yang apa saja bisa diakali ini, penghapusan skripsi bagi S1 dan kewajiban publish di jurnal ilmiah bereputasi bagi S2 dan S3 hanya akan menambah karut-marut dan centang perenangnya wajah pendidikan tinggi.
Entah apa yang akan dibaca generasi-generasi muda di masa yang akan datang ketika seorang pemimpin hebat bahkan buah pikirannya tidak tersimpan di perpustakaan kampus-kampus mereka, tidak juga menorehkan teori-teori dan hasil riset di jurnal-jurnal internasioanal. Entah berapa banyak pilar-pilar peradaban yang berpotensi hilang dengan kebijakan ini.