Konten dari Pengguna

Dekolonialisasi Sains

Waode Nurmuhaemin
Doktor Manajemen Pendidikan , Penulis Artikel dan Buku Pendidikan
19 Februari 2023 14:58 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Shutterstock Foto
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Shutterstock Foto
ADVERTISEMENT
Sejarah Kerajaan Muna, kampung saya tersimpan rapi di Universitas Leiden Belanda. Juga banyak sejarah dan benda sejarah kerajaan Indonesia tersimpan di sana. Sudah sejak lama, dunia barat memang menjadi pusat ilmu pengetahuan. Mengikuti kolonialisasi yang mereka lakukan.
ADVERTISEMENT
Ilmuwan-ilmuwan mereka juga turut mempelajari dan meneliti wilayah-wilayah kolonialisme tersebut. Tidak heran teori dan segala tentang sains didominasi oleh ilmuwan-ilmuwan Barat. Mereka lah yang mengeluarkan teori maupun penemuan-penemuan tentang sains.
Indonesia dengan jumlah penduduk yang 170 juta lebih lebih adalah ekosistem besar yang bisa dijadikan penelitian antropologi modern, jika antropologi lama dikuasai oleh ilmuwan-ilmuwan Barat. Akan banyak teori yang bisa muncul melalui fenomena-fenomena masyarakat yang ada sehingga secara perlahan-lahan Indonesia bisa melepaskan diri dari ketergantungan sains barat.
Dekolonisasi sains adalah ajakan keluar dari dominasi produksi pengetahuan yang berkiblat pada negara kolonial—lebih khususnya dunia Barat (eurosentrisme)—agar muncul lebih banyak ruang ilmiah bagi akademisi di penjuru dunia lain.
Dekolonisasi sains bukan berarti menolak Barat secara mutlak, akan tetapi bagaimana melihat dan menggunakan ilmu sehingga setara dengan ilmuwan barat. Dekolonisasi sains juga diperlukan agar masyarakat diluar barat tidak hanya menjadi objek pengetahuan dan penyelidikan. Banyak kemudian pandangan rasis akibat dekolonisasi sains ini yang mengakibatkan seolah-olah masyarakat diluar barat adalah tidak cerdas dan tertinggal.
ADVERTISEMENT
Khusus pendidikan, kita masih menjadi bulan-bulanan negara barat akibat nilai PISA kita yang masih merangkak di sepuluh terbawah sejak 22 tahun terakhir. Bahkan salah seorang profesor Harvad dengan berani mengatakan bahwa pendidikan kita tertinggal 128 tahun dibanding negara-negara barat.
Hanya karena tes yang diselenggarakan sehari dan dibuat oleh OECD yaitu negera-negara yang tergabung dalam uni Eropa yang tidak mengikuti perkembangan pendidikan Indonesia. Meskipun mau tidak mau pendidikan kita harus tertatih-tatih mengikuti saran-saran lembaga itu karena secara sistem kita sudah masuk di era pasar bebas sehingga kita mesti mengikuti mekanisme dunia.
Ilmuwan-ilmuwan Indonesia, sudah saatnya kembali mengeluarkan teori-teori kelas dunia seperti yang sudah dicontohkan Habibie. Mantan presiden RI itu, bahkan dikenal sebagai "Mr Crack" karena teorinya yang karena ia berhasil memperkenalkan cara menghitung perambatan retak secara acak atau crack propagation on random pada pesawat terbang. Teori ini kemudian menjadi solusi atas permasalahan yang ditimbulkan dari retaknya bagian sayap dan badan pesawat akibat guncangan selama lepas landas dan mendarat.
ADVERTISEMENT
Di zaman digital yang canggih ini, mengakses sumber informasi seumpama buku-buku dan jurnal bermutu sudah tidak lagi sesusah zaman dahulu kala. Bahkan kita bisa membaca manuskrip kuno sepanjang ada versi digitalnya tanpa meninggalkan kamar kita. Sehingga kita bisa memiliki basis ilmu yang memadai dalam bidang kita masing-masing.
Fenomena di bidang pengetahuan terus terjadi, kita bisa menghasilkan teori-teori baru berbasis penelitian tanpa perlu terlalu menoleh ke Barat dan merasa inferior di hadapan ilmuwan Barat. Yang diperlukan adalah ke dalam berpikir dan orisinalitas.
Contoh kecil, M Junus. Peraih nobel ekonomi dari Bangladesh ini menemukan model Gramen Bank dari fenomena masyarakat Bangladesh yang tidak bisa mengakses perbankan. Model itu tidak ada di dunia barat yang jarang mengalami kemiskinan ekstrem berjemaah. Kearifan lokal yang dipakai M. Junus membuatnya menyejahterakan puluhan juta orang di negaranya bahkan sudah diadopsi oleh negara-negara berkembang lain.
ADVERTISEMENT
Kemandirian sains tanpa terlalu terpukau akan dunia Barat diperlukan untuk perkembangan pengetahuan ke depan. Ilmuwan-ilmuwan Indonesia bisa mengeksplorasi keanekaragaman hayati Indonesia, keragaman masyarakat, budaya dan bahkan kekayaan alam dan juga bencana-bencana alam yang banyak terjadi semuanya bisa menghasilkan ilmu pengetahuan yang berkembang dengan warna ke-Indonesia-an sendiri.
Untuk pendidikan dan PISA yang membuat peringkat sistem pendidikan Indonesia babak belur di tingkat dunia, adalah sudah saatnya kembali ke akar. Terbukti kurikulum-kurikulum yang mengadopsi pola-pola barat gagal diterapkan di Indonesia.
Buatlah kurikulum original yang sarat masalah-masalah riil dengan solusi ke-Indonesia-an. Sehingga penerapannya di lapangan tidak gagap dan menemui kebuntuan.
Saran saya hanya satu, perbaiki dan sama ratakan semua infrastruktur sekolah di Jawa dan luar Jawa termasuk juga pemerataan distribusi guru yang bermutu diseluruh wilayah Indonesia. Jangan ada sekolah yang tidak memiliki guru atau hanya satu guru.
ADVERTISEMENT
Jika semua sekolah fasilitasnya bagus, gurunya cukup dan mutunya sama, saya yakin pendidikan kita akan mengejar ketertinggalan dengan negara-negara maju dalam waktu singkat.