Konten dari Pengguna

Dendam Bukan Rindu yang Harus Dibayar Tuntas

Waode Nurmuhaemin
Doktor Manajemen Pendidikan , Penulis Artikel dan Buku Pendidikan
5 Februari 2023 8:10 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Shutterstock Photo
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Shutterstock Photo
ADVERTISEMENT
Dini hari kemarin, grup ASN tempat saya kerja digegerkan dengan vidio permintaan tolong yang diposting oleh teman kantor saya. Rumah dan mobilnya dibakar orang tidak dikenal. Dia minta tolong digrup untuk dipanggilkan pemadam.
ADVERTISEMENT
Api menyala-nyala dengan hebat melenyapkan mobil dan rumahnya dalam waktu singkat. Teman saya kemudian dengan terisak-isak mengisahkan bagaimana mereka menyelamatkan diri dari pintu belakang dan mencium bau bensin diseluruh bagian rumah. Dendam kerapkali memicu kejadian-kejadian tragis. Polisi pun turun tangan.
Entah mengapa banyak orang yang susah memaafkan. Memaafkan orang lain dan diri sendiri. Tidak banyak yang menyadari, bahwa memelihara dendam adalah bentuk penyiksaan diri tingkat dewa.
Ibarat kata kamu sendiri yang minum racun dan berharap orang lain yang mati. Perilaku dendam sudah lama ada, sejak pembunuhan Qabil terhadap Habil dendam makin beranak pinak dengan segala modelnya.
Ilustrasi perempuan marah-marah. Foto: Rachata Teyparsit/Shutterstock
Membalas dendam memang terlihat sebagai bentuk keadilan yang ditegakkan satu pihak kepada pihak yang lain. Sayangnya, dendam biasanya berbalut ketidaklogisan.
ADVERTISEMENT
Ada orang yang dendam dalam waktu singkat dan ada yang dendam berlama-lama bahkan sampai mati sebegitu membaranya dendam, sampai ada pepatah yang mengatakan "Tidak ada maaf bagimu, tinggal menunggu pembalasan si buta dari gua hantu".
Memaafkan itu, bukan untuk kepentingan orang lain, tapi lebih ke arah kesehatan mental kita. Disinyalir, banyak penyakit yang timbul akibat pikiran. Dendam dipicu oleh keinginan agar orang lain merasakan derita yang kita rasakan.
Dalam hidup ini, siapa sih yang tidak pernah dikecewakan orang? Siapa yang tidak pernah dibuat marah oleh orang? Mengapa kita tidak menyiapkan hati yang kuat atas perilaku orang? Yang namanya manusia, tentu saja lahir dengan seribu satu karakter.
Ilustrasi kelompok. Foto: Redhumv / Getty Images
Ada delapan miliar manusia di bumi saat ini. Tentu saja mereka memiliki delapan miliar karakter. Kita jangan memandang orang lain sebagai penyebab luka dalam hidup kita, bukankah kita juga luka bagi orang lain?
ADVERTISEMENT
Sebenarnya gampang-gampang saja agar tidak terjadi gesekan yang serius dengan orang lain. Yang pertama, jangan terlalu dekat dengan siapa pun, sebab yang paling tau tentang kita adalah orang dekat.
Itulah mengapa pengkhianat selalu orang dekat. Mereka mengetahui sisi-sisi terlemah kita dan pada akhirnya dengan mudahnya menikam kita. Yang kedua, pahami karakter orang. Ini yang susah, sebab sudah hukum alam, pada pertemuan-pertemuan awal orang hanya akan memperlihatkan kebaikan dan kesantunan.
Ketiga pahami nada bicara seseorang. Kalau sudah ketus, jarang membalas chat, kalaupun membalas terpaksa sebaiknya tidak usah sok-sok arab. Manusia itu dilengkapi insting. Kita harus mempercayai insting kita, bukan perasaan kita.
Ilustrasi stalking ketika patah hati. Foto: Shutterstock
Jauhi orang yang menjauhi kita, bukan malahan mencari-cari tau, stalking medsosnya. Untuk apa? Cueklah sebagaimana orang tersebut mencueki kita. Sehingga tidak perlu ada pembenaran-pembenaran atas perilaku-perilaku barbar kita ke orang lain.
ADVERTISEMENT
Yang paling penting adalah menyesuaikan pikiran dan fakta. Ini yang paling penting. Melihat pakai mata, bukan hati sebab pikiranmu tidak sama dengan pikiran orang pahami itu.
Pikiran itu permainan ranah psikologi kita. Cari kegiatan-kegiatan positif. Kalau orang sudah tidak mau komunikasi sama kita, yah sudah diterima saja.
Apa ruginya? Memang awal-awal kamu akan sedikit merasa aneh, kok tiba-tiba orang yang selama ini komunikasi intens dengan kamu bisa mengabaikan semua pesanmu, bahkan memblokirmu. Tidak usah gelisah, ngapain? Urusan penting menggunung kamu sibuk mikirin hal-hal yang bukan skala prioritas.
Ilustrasi teman pria. Foto: Shutterstock
Penelitian menunjukkan, bahwa dendam timbul akibat tidak terima dengan perlakuan orang lain. Semuanya kemudian menumpuk dalam pikiran dan dibumbui oleh peristiwa-peristiwa tidak enak yang berlangsung lama dan berulang.
ADVERTISEMENT
Semua karena tidak bisa menerima bahwa manusia itu unik dan egois. Terimalah itu. Kita yang dituntut untuk melihat dan menyikapi sesuatu dengan tepat.
Seperti yang saya katakan di atas, pandai-pandailah membaca orang dan lingkungan. Kalau ada indikasi-indikasi lingkungan dan orang-orang memperlihatkan gejala-gejala yang tidak sehat buat batas untuk tidak terlibat intens di lingkaran itu.
Tidak semua yang terlihat adalah apa yang tergambar, jangan berharap banyak sama siapa pun sebab ekspektasilah yang menghancurkan hati orang.
Ilustrasi minta maaf. Foto: SrideeStudio/Shutterstock
Membalas perbuatan orang lain kepada kita sekilas mungkin akan membuat kita puas, namun sebaiknya kita segera menyadari bahwa dendam itu bukan rindu yang harus dibayar tuntas.
Maafkan dan lupakan, menjadi hakim atas perbuatan orang terhadap kita tidak perlu berlama-lama. Sebab hidup harus terus berjalan, cicilan harus dilunasi.
ADVERTISEMENT
Menderita karena perilaku orang bukan saja bodoh tapi juga tidak pantas. Lepaskan batu-batu dendam yang ada di bahu kita di jalan-jalan yang kita lewati sehingga hidup yang kita jalani juga ringan.
Memaafkan itu mengikuti garis langit, garis vertikal yang berhubungan dengan Allah tuhan semesta alam bukan garis horizontal yang berhubungan dengan manusia.