Konten dari Pengguna

Fenomena Prompt Writer dan Kesiapan Pendidikan Kita di Era ChatGPT

Waode Nurmuhaemin
Doktor Manajemen Pendidikan , Penulis Artikel dan Buku Pendidikan
2 Juli 2023 17:22 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Shutterstock Foto
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Shutterstock Foto
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini media sosial kembali dihebohkan dengan munculnya satu pekerjaan baru yang bergaji fantastis. Pekerjaan tersebut ditaksir membayar dengan bayaran sampai Rp 4 miliar setahun.
ADVERTISEMENT
Nama pekerjaan baru tersebut adalah prompt writer atau instruktur ChatGPT. Profesi ini yang bertanggung jawab untuk menjadi instruktur atau memberikan arahan kepada ChatGPT untuk menuliskan suatu artikel sesuai yang diinginkan klien.
Bahkan perusahaan besar sekelas Huawei sudah membuka lowongan pekerjaan untuk mencari prompt writer. Tentu saja hal ini menjadi kabar gembira di tengah-tengah maraknya pekerjaan-pekerjaan formal yang berguguran karena diambil alih kecerdasan buatan.
Sebagaimana yang kita semua ketahui bersama, ChatGPT bisa menghasilkan tulisan apa saja yang diminta hanya dalam hitungan menit. Sehingga perusahaan-perusahaan mulai menggunakan kecerdasan buatan ini untuk keperluan mereka.
Namun, diibaratkan jika tulisan dari ChatGPT ini seumpama tulisan anak magang, masih jauh dari kata berkualitas dan tetap membutuhkan manusia untuk menghasilkan teks yang bermutu.
ADVERTISEMENT
Ketika saya membuka situs penyedia prompt writer yaitu Prompt Talent, ada satu lowongan yang ditawarkan dengan gaji di kisaran 90.000 dolar sampai 150.000 dolar selama setahun. Tentu saja hal ini menggiurkan. Situs ini berfungsi sebagai sarana untuk menawarkan pekerjaan perusahaan-perusahaan skala dunia yang membutuhkan prompt writer.
Ilustrasi ChatGPT. Foto: CHUAN CHUAN/Shutterstock
Bisa jadi ini adalah model pelatihan baru yang digunakan langsung dalam dunia industri. Di mana pengembang ChatGPT tidak perlu lagi melatih ChatGPT bertahun-tahun di suatu tempat khusus namun belajar melalui tindakan yaitu learning by doing sehingga secara brilian pengembang ChatGPT tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk itu, namun dibayar oleh perusahaan yang menyewa instruktur atau prompt writer ini.
Dan, ChatGPT yang memang polanya dilatih bertahun-tahun untuk mendapatkan keahlian dan informasi dengan cara yang sama dipakai di banyak tempat tanpa mereka harus repot-repot menyewa instruktur berkeahlian tinggi.
ADVERTISEMENT
Kita sudah mafhum bahwa yang terpilih menjadi prompt writer adalah mereka-mereka yang sangat fasih dalam bidang menulis, Bahasa Inggris, sintaksis, dan juga linguistik sehingga ChatGPT akan semakin pintar ketika dilatih setiap saat oleh penulis-penulis jenius.
Bisa jadi suatu saat ketika sudah bisa mengikuti gaya instruktur yang mendiktekan perintah yang membutuhkan skill tinggi ChatGPT akan bisa melakukannya dan bertransformasi menjadi mesin kecerdasan buatan yang tidak lagi membutuhkan prompt writer ketika sudah terbiasa dilatih bertahun-tahun.
Kita harus mengakui kecerdasan para pengembang ChatGPT dalam melihat situasi. Merekrut orang-orang terbaik, pintar untuk dijadikan isntruktur-instruktur mesin-mesin kecerdasan buatan mereka tanpa keluar dana sepersen pun.
Munculnya pekerjaan baru untuk menjadi instruktur ChatGPT ini, seakan melibas semua kekhawatiran yang mendalam bahwa kecerdasan buatan ini akan menggeser posisi manusia.
Ilustrasi ChatGPT. Foto: Iryna Imago/Shutterstock
Mesin-mesin itu tetap membutuhkan manusia untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh mereka yang mungkin saja tujuannya dalam jangka waktu panjang ChatGPT akan kemudian bisa membaca sekaligus mengadopsi model-model instruksi yang diberikan oleh manusia.
ADVERTISEMENT
Melihat fenomena ini, tentu saja dunia pendidikan kembali ditantang untuk bisa mengajarkan kepada siswa keterampilan menulis dan juga berpikir kritis.
Mungkin sudah saatnya di ampus-kampus Indonesia diberi mata kuliah pilihan menulis kreatif seperti kampus-kampus di Eropa dan Amerika. Sudah terbukti, ChatGPT kecerdasan buatan yang dipuja-puja tetap harus diarahkan oleh manusia agar bisa berfungsi dan berkinerja maksimal.
Berdasarkan fakta di atas, tidak mustahil, dalam waktu dekat kampus-kampus luar negeri akan membuka jurusan prompt writer. Sebab memang perusahaan-perusahaan sudah beralih memanfaatkan kecerdasan buatan demi efisiensi di perusahaan mereka. Sehingga dunia pendidikan memang ditantang untuk beradaptasi dengan model-model pekerjaan abad 21 yang tidak diprediksi bentuk dan waktu kemunculannya.
Kampus-kampus dituntut untuk menyediakan tenaga kerja yang link and match dengan perusahaan. Fenomena prompt writer yang lagi naik daun di luar negeri ini, membutuhkan skill menulis yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Untuk bisa menulis dengan baik, maka sedari dini siswa ditanamkan kecintaan untuk membaca karena kunci menulis adalah kegemaran membaca yang di mana ada banyak skill yang didapat dari hobi itu.
Ilustrasi Mengetik di Laptop Foto: Thinkstock
Yang juga harus menjadi perhatian adalah, semakin pentingnya untuk mengajarkan bahasa inggris dari sekolah dasar. Entah ide buruk siapa, beberapa tahun belakangan bahasa Inggris di SD dihapus.
Secara teori, umur-umur siswa SD adalah umur-umur yang paling bagus dan usia-usia emas untuk mengingat dan mempelajari bahasa baru dibanding dengan orang dewasa yang sudah harus banyak memikirkan urusan-urusan lain.
Masyarakat Indonesia adalah salah satu masyarakat yang memiliki kemampuan bahasa Inggris yang agak rendah dibandingkan beberapa negara ASEAN lain. Padahal saat ini, bahasa Inggris menjadi bahasa yang harus dikuasai jika ingin menjadi negara maju.
ADVERTISEMENT
Munculnya pekerjaan baru prompt writer sekali lagi memperlihatkan fenomena pendidikan abad 21 yang dikatakan Yuval Noah Hariri, tidak bisa diramalkan hanya bisa diikuti dengan mau beradaptasi. Mampukah pendidikan Indonesia beradaptasi dan bahkan berlari sejajar dengan pekerjaan-pekerjaan yang baru? Semoga.