Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ikhwal Memilih Jadi Penulis
22 Februari 2024 21:51 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Waktu saya SD tahun 90 an, hiburan hanya ada TVRI hitam Putih dan Juga RRI. Biasanya setelah semester kedua diakhir tahun maka seluruh siswa di indonesia akan libur sebulan. TVRI biasanya menayangkan film anak-anak yang jauh-jauh hari sudah diiklankan dan menjadi pembicaraan kami tak putus-putusnya.
ADVERTISEMENT
Untunglah pada waktu itu bapak saya yang kebetulan kepala sekolah SD bisa membelikan TV hitam putih sehingga saya tidak harus menonton dari sekat-sekat dinding rumah tetangga. Waktu itu, siapa pun yang memiliki TV rumahnya akan dipadati menjelang Magrib sampai membludak di halaman bahkan banyak yang harus nonton kepala orang yang menonton.
Saya sendiri hanya suka menonton film anak-anak sehingga kalau tidak ada film anak-anak saya memilih mendengar radio siaran luar negeri yang berbahasa Indonesia. Saya sangat ingat penyiar radio Australia, Ebet Kadarusman yang selalu menyapa dari Melbourne Australia.
Beliau suka sekali menggambarkan suasana empat musim di sana. “ Halo saya Ebet Kadarusman menyapa Anda di tengah-tengah dinginnya musim salju.” Saya yang tinggal di kampung jadi bertanya-tanya rasanya tinggal di tengah salju. Atau kerapkali dia menggambarkan bunga-bunga mekar di musim semi.
ADVERTISEMENT
Kalau tidak mendengar radio, saya pasti membaca buku yang ratusan jumlahnya bantuan pemerintah untuk sekolah-sekolah di mana sekolah bapak saya juga mendapatkan bantuan karena letaknya jauh di kampung maka buku itu diinapkan dulu di rumah saya sampai libur selesai. Di situlah buku-buku itu saya baca sampai habis.
Ceritanya bagus-bagus beberapa saya masih ingat judulnya yaitu ” Anak itu bernama Sarju”, "Aku Rela, Yah," bahkan banyak juga buku-buku terjemahan seperti Lima Sekawan yang menjadi awal perkenalan saya dengan dunia anak-anak di luar Indonesia.
Saya sangat suka membaca Ensiklopedia. Saya kemudian bertanya kepada bapak saya, siapa itu Napoleon? Syukurlah beliau guru, jadi bisa menjelaskan. Dari Ensiklopedia itulah situ saya tahu peristiwa-peristiwa besar yang pernah terjadi di dunia.
ADVERTISEMENT
Saya mengagumi para penulis buku-buku yang saya baca. Sehingga kemudian saya bercita-cita jadi penulis. Cita-cita yang tidak lazim di kampung saya. Biasanya cita-cita teman-teman saya itu mau jadi Suharto atau Habibie. Saking mashurnya mereka sudah dianggap sebagai cita-cita bukan lagi orang.
Demikianlah sehingga saya mendapat satu momen di SMA saya nekad mengirimkan puisi saya ke Radio Jerman siaran Indonesia dengan tulisan tangan. Dua minggu kemudian dibalas dan dihadiahi perangko empat musim.
Betapa bangganya saya, saya berlari-lari ke dapur menunjukkan perangko itu kepada Bapak, Ibu, dan saudara-saudara saya. Tidak lupa kepada teman-teman dekat saya. Mereka juga sangat senang karena mereka tahu saya sangat suka menulis dan membaca walaupun hanya tulisan tangan karena yang punya mesin Tik hanya kelurahan yang tentu saja tidak boleh dipegang sembarang orang.
ADVERTISEMENT
Saat ini sudah bertahun-tahun saya menulis. Tulisan saya kini dibaca jutaan orang. Tidak banyak materi yang saya dapat dari menulis, karena menulis bukanlah profesi yang bisa diandalkan d inegeri ini. Untuk saya, saya perlu menuangkan kegelisahan kegelisahan saya, ide-ide saya juga reaksi saya atas fenomena yang terjadi di bangsa ini dan juga dunia itu adalah sebuah keharusan.
Banyak hal-hal yang menjadi keributan di kepala saya yang sungguh sayang jika hanya saya ketahui sendiri. Penulis bisa membuka cakrawala berpikir banyak orang. Meramu dan merangkai kata disertai riset adalah salah satu hal yang harus dilakukan penulis. Semua penulis adalah pembaca yang cermat.
Itulah sedikit cerita dan alasan mengapa saya menulis. Hingga saat ini tulisan saya sudah mencapai ratusan artikel di berbagai media masa nasional. Semua disebabkan karena saya suka menulis. Kalau saya menulis, tidak terasa waktu berlalu begitu cepat.
ADVERTISEMENT
Karena saya bekerja, maka saya tidak selalu bisa menulis. Pekerjaan saya mengharuskan saya banyak melatih banyak orang, sehingga hobi menulis saya sangat membantu saya. Saya jarang kehabisan kosa kata dan selalu nyambung dari topik ke topik. Saya bersyukur memiliki pekerjaan yang bisa menopang hidup saya sehingga saya menulis bukan untuk mencari makan, namun sebagai passion dan hobi.
Menembus meja redaksi koran-koran terkemuka itu memacu adrenalin. Editornya sangat cermat dan akan menolak begitu saja tulisan yang sudah dibuat susah payah. Sehingga ketika ada tulisan saya yang lolos, senangnya bukan main seperti pertama kali tulisan saya diterima, padahal tulisan yang dimuat sudah ratusan.
tulah anehnya seorang penulis, memiliki sisi-sisi yang hanya bisa dipahami para penulis juga apa pun genrenya. Mau penulis artikel, opini, jurnal akan selalu mendebarkan melihat tulisan kita tersaji di halaman-halaman media terkemuka. Bahkan di beberapa kesempatan tidak jarang ada yang langsung mengenali ketika saya menyebutkan nama. Namun, itu hanyalah intermezo.
ADVERTISEMENT
Hakikitnya menulis itu saudara kembar membaca. Membaca membuka cakrawala dunia hingga di era chat GPT ini. Hanya membaca bukulah yang bisa menuntaskan pengetahuan di mana ancaman-ancaman dan kebiasaan membaca informasi sepotong-sepotong tengah menyergap bangsa ini. Penulis beda, sebab jika hanya membaca sepotong atau separuh informasi maka tulisannya akan cenderung kurang kena cahaya matahari alias datar saja.
Itulah sedikit percikan permenungan mengapa saya memilih jadi penulis, profesi yang kurang bisa menghidupi untuk kebanyakan yang memilihnya. Namun demikian, saya selalu mencatumkan pekerjaan saya sebagai penulis, tidak lebih dan tidak kurang