Maraknya Korupsi di Dunia Pendidikan, Runtuhnya Benteng Terakhir Penjaga Moral

Waode Nurmuhaemin
Doktor Manajemen Pendidikan , Penulis Artikel dan Buku Pendidikan
Konten dari Pengguna
16 Maret 2023 7:44 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Shutterstock Foto
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Shutterstock Foto
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hari-hari ini bangsa kita tengah dilanda tsunami korupsi. Penggalan lagu di atas adalah penggalan lagu wajib mahasiswa yang muak dengan kasus korupsi dan nepotisme orde baru.
Maka lihatlah hari ini, setelah 25 tahun reformasi. Kasus demi kasus mencuat membuat rakyat marah. Tidak berlebihan, dari 270 juta penduduk Indonesia setengahnya bahkan berpenghasilan menengah ke bawah.
Untuk mendapatkan uang sepuluh ribu rupiah, mereka berpeluh berjam-jam di bawah teriknya matahari. Kemudian masyarakat disuguhkan gaya hidup glamour para pejabat yang ditengarai berasal dari kas negara yang diambil dengan cara yang tidak benar. kemudian netizen pun rajin menelisik kekayaan tidak wajar para pejabat negara itu.
Kalau korupsi di lingkungan non pendidikan, masyarakat masih bisa menerima sebagai sebuah kecurangan yang terbiasa terjadi. Namun, korupsi dibidang pendidikan, sungguh berat. Ada keruntuhan moral di sana.
Rektor Universitas Udayana Bali I Nyoman Gde Antara berjalan meninggalkan ruangan usai diperiksa di Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali, Denpasar, Bali, Senin (13/3/2023). Foto: Fikri Yusuf/ANTARA FOTO
Pendidikan identik dengan yang namanya etika dan moral. Pendidikan tugas utamanya adalah memanusiakan manusia. Mendidik manusia agar bisa membedakan yang salah dan yang benar. Lembaga pendidikan adalah pabrik produk ilmu dan kawah candrimuka pembentukan karakter, disiplin mental, dan emosional anak bangsa.
ADVERTISEMENT
Kabar ditetapkannya rektor Universitas Udayana Bali oleh Kejati Bali menjadi tersangka umpama mengorek luka lama. Belum pulih ingatan masyarakat bagaimana rektor Lampung, digelandang KPK dihadapkan pada pada konferensi pers.
Guru besar tersebut memakai pakaian oranye dan dihadapkan sebagai pesakitan di depan media massa yang menjadi breaking news di mana-mana. Kita semua terenyuh ada nama lembaga pendidikan tinggi yang ikut jatuh bersama namanya sebagai tersangka , ada muruah pendidikan yang tergadrasi pada baju orennya yang dikenakannya dan ada luka yang tersemat di dada-dada pelaku pendidikan melihat borgol yang menggelangi tangan sang rektor.
Semua berharap jangan ada lagi borok moral terjadi di dunia pendidikan yang membuat luka bernanah dan menimbulkan bau busuk.
Ilustrasi korupsi. Foto: Shutter Stock
Ditembok-tembok kampus masyarakat berharap lembaga ini adalah penjaga gawang moral negeri ini ketika ankara dan kebobrokan merajalela.
ADVERTISEMENT
Menitipkan asa kepada para insan terdidik akan tampil sebagai apa yang digambarkan oleh Julian Benda, dalam bukunya "Pengkhianatan Kaum Intelektual" bahwa masyarakat intelektual di Kampus-kampus adalah mereka yang berfungsi sebagai agent of change dan berperan menggugat kesewenang-wenangan dan ketidakadilan bukanya menjadi pioneer dan bagian dari keculasan dan kecurangan.
Banyak yang kemudian bertanya, berapa gaji rektor sampai mereka harus ikutan menjadi koruptor? Secara finansial, tidak ada rektor yang hidup di bawah garis kemiskinan. Bahkan mereka hidup glamour kalau tidak dikatakan berkelimpahan.
Mobil-mobil dinas rektor sangat jarang yang memakai mobil sejuta umat. Mobil dinas mereka sangat nyaman kebanyakan fortuner dan sekelas fortuner. Sehingga tidak perlu melakukan tindakan-tindakan yang kurang etis bahkan tidak bermoral untuk hidup lebih nyaman lagi.
Ilustrasi penolakan. Foto: Shutter Stock
Dalam buku Psikology Of Money, cara seseorang memandang uang akan sangat menentukan bagaimana dia bersikap terhadap uang. Uang bukan sebagai alat tukar dan alat untuk jual beli namun lebih dari itu uang, tetapi bisa dijadikan sebagai alat pengontrol emosi.
ADVERTISEMENT
Cara pandang seseorang terhadap uang akan membuat dia mampu mengelola uang dan merasa tercukupi ketimbang yang menjadikan uang sebagai tujuan dan sesuatu yang diburu. Seseorang yang berpendidikan tentu saja dan seharusnya tidak akan melakukan korupsi. Moralnya akan mencegah melakukan hal itu.
Modus yang dipakai untuk melakukan korupsi dengan memanfaatkan penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri sekali lagi sama dengan modus rektor lampung. Tentu saja hal ini bisa membuka tabir di kampus-kampus lain yang melaksanakan jalur mandiri.
Jangan sampai masyarakat berasumsi liar bahwa kampus menjadi sarang korupsi sehingga perlu pembuktian bahwa hanya ada dua kampus yang melakukan tindakan tidak terpuji tersebut.
Ilustrasi dosen wanita. Foto: Shutter Stock
Namun demikian, saya masih percaya bahwa masih banyak akademisi-akademis jujur di kampus-kampus Indonesia. Banyak yang kemudian bertanya-tanya mengapa insan pendidikan pun harus terjerembab dalam perbuatan nista tersebut?
ADVERTISEMENT
Satu-satunya jawaban adalah lupa meletakkan Tuhan di depan mata. Tuhan hanya dianggap ambulans didatangi jika perlu saja. Kalau orang yang yakin bahwa hidupnya dalam pengamatan Tuhan, Allah maka mereka tidak akan berbuat curang.
Para pejabat saat ini, lebih takut terhadap perburuan netizen daripada pengawasan Allah atas hidup mereka. Padahal netizen punya keterbatasan waktu, tempat dan sarana.
Saya berani mengatakan satu-satunya alasan kenapa korupsi marak di mana-mana termasuk di lembaga pendidikan, karena sudah tidak ada Allah dalam diri mereka orang-orang terpelajar tersebut.
Kalau saja semua orang merasa diawasi oleh Tuhan-Tuhan mereka, maka tidak akan ada yang berani mengulurkan tangan untuk mengambil yang bukan haknya. Sudah saatnya gerakan kembali ke Tuhan digencarkan di mana-mana. Walaupun dijagai polisi 24 jam, mudah saja bagi manusia mencari cara dan modus untuk korupsi.
ADVERTISEMENT
Korupsi yang dilakukan oleh rektor Udayana kemarin, membuat lembaga pendidikan kembali disorot tajam. kalau bukan lembaga pendidikan, di mana lagi masyarakat berharap akan menemukan moral value of education?
Semoga ini yang terakhir. Tidak tega rasanya seorang Profesor Doktor digelendang di depan wartawan untuk dipertunjukan sebagai kriminal. Borgol yang merantai tangan mereka yang berpendidikan tinggi itu, seolah-olah tidak pantas ada di sana. Semoga kasus korupsi yang menimpa pendidikan tinggi kita berakhir di kasus ini.