Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Masalah Fundamental Pendidikan Indonesia
2 Oktober 2023 17:56 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dari tahun ke tahun, kualitas pendidikan Indonesia masih terus mendapat sorotan. Meskipun kalau saya pribadi melihat sudah banyak terobosan yang dilakukan pemerintah. Namun, ada dua masalah mendasar yang masih menjadi masalah akut dalam pendidikan yang harus segera mendapatkan skala prioritas untuk peningkatan kualitas pendidikan jangka panjang dan merata di seluruh Indonesia.
ADVERTISEMENT
Yang pertama adalah infrastruktur sekolah. Seperti yang kita ketahui bersama infrastruktur sekolah yang bagus akan meningkatkan mutu pembelajaran. Berdasarkan hasil tes PISA di tahun 2018, kemampuan membaca siswa-siswa di Jakarta dan Jogja sama dengan siswa-siswa di Malaysia dan Brunei Darussalam. Hal ini tentu saja bukan merupakan suatu kebetulan. Jakarta dan Jogja keduanya berada di Jawa dan fasilitas sekolah di kedua Provinsi tersebut kebanyakan sudah sangat bagus dibanding dengan sekolah-sekolah di luar Jawa.
Saya pernah membaca salah satu artikel mantan Menteri Pendidikan Fuad Hasan yang mengatakan bahwa mau sebagus apa pun kurikulumnya kalau fasilitas sekolah belum memadai maka kurikulum itu mungkin akan kurang optimal. Kalau dikaitkan dengan penggunaan kurikulum Merdeka saat ini, pernyataan itu bisa jadi benar.
ADVERTISEMENT
Kurikulum Merdeka sangat digitalisasi. Bahkan untuk itu, sebagai sumber belajar mandiri, guru-guru dibautkan satu platform khusus yaitu Merdeka mengajar. Yang bisa diakses kapan saja dan di mana saja, selama ada internet tentunya.
Data Kemdikbud Ristek justru menampilkan ironi dan paradoks di tengah-tengah masifnya penggunaan teknologi dalam pembelajaran, bahwa data tahun 2020 masih ada 42.159 ribu sekolah yang belum memiliki akses internet. Bagaimana dengan jumlah sekolah yang belum teraliri listrik? Data Kemendikbud Ristek tahun 2020 menyatakan bahwa masih ada 8.522 sekolah yang belum teraliri listrik. Bagaimana mungkin guru dan siswa di area-area tersebut bisa mengakses internet dengan kondisi seperti itu?
Yang tidak kalah mencengangkan, ruang-ruang belajar makin banyak yang rusak meskipun kategori ringan dan sedang. Tahun 2021/2022 data BPS menggambarkan bahwa 60 persen SD rusak ringan atau sedang, sedangkan SMP 50,56 dan SMA 45,03. Tentu saja kita semua masih ingat betapa banyaknya kasus kelas yang ambruk di tengah-tengah proses belajar mengajar. Bagaimana mungkin siswa bisa belajar dengan bahagia di tengah-tengah kelas yang rusak?
ADVERTISEMENT
Seperti konsep kurikulum Merdeka yang bertujuan membuat siswa bahagia di sekolah. Jika mau seperti negara maju, jangan hanya kurikulumnya yang diadopsi tapi juga infrastrukturnya harus sama dengan negara maju. Dengan adanya pembelajaran berdiferensiasi pada kurikulum Merdeka, yang mana guru harus mengajar dengan mempertimbangkan kemampuan masing-masing siswa, apakah ideal belajar satu kelas dengan jumlah siswa sampai 35 orang?
Itu dari segi infrastruktur mari menoleh ke masalah fundamental kedua. Mutu guru. OECD sebagai penyelenggara PISA yang mengukur baik dan buruknya standar sistem pendidikan di dunia, dalam setiap laporannya tentang kemajuan pendidikan Indonesia selalu menekankan pada peningkatan kualitas guru.
Bagaimana kualitas guru-guru di Indonesia? Apakah sudah merata? Ada 217.283 Sekolah negeri di Indonesia di semua jenjang. Bagaimana persebaran guru? Bukan rahasia lagi, banyak guru yang tidak mau ditempatkan di luar Jawa, apalagi di tempat-tempat terpencil. Sehingga yang mengisi sekolah-sekolah negeri di pelosok adalah guru-guru honorer yang digaji lilahi taala, yang akhirnya juga mengajar juga dengan model lilahi taala.
ADVERTISEMENT
Ada 1,3 juta guru ASN di mana ada kelebihan guru yang menumpuk di daerah-daerah tertentu sebanyak 41.283 ribu. Tentu saja hal ini membuat masgul, banyak sekolah yang guru ASN hanya satu atau dua bahkan tidak ada. Kenapa harus guru ASN untuk kualitas pendidikan? Jelas saja, secara materi mereka lebih sejahtera dibanding guru honorer yang bahkan ada masih digaji 300 ribu sebulan.
Dengan kesejahteraan guru-guru ASN, mereka hanya perlu mengajar dan berinovasi seperti tuntutan kurikulum Merdeka di kelas. Tidak perlu lagi memikirkan mau makan apa besok. Bahkan saat ini, guru ASN menjadi profesi yang mentereng. Itulah mengapa kalau mau pendidikan kita maju maka dua hal yang paling fundamental yang harus segera dibenahi.
ADVERTISEMENT
Perbaikan dan penyamarataan infrastruktur sekolah di seluruh Indonesia dan menempatkan semua guru ASN di semua sekolah negeri sehingga tidak ada disparitas sekolah di Jawa atau luar Jawa dalam berbagai hal. Selama dua masalah ini belum bisa ditangani, maka mutu pendidikan akan terus jalan di tempat.