Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Medsos Itu Tidak Haram, tapi Kecanduan Juga Tak Baik
29 Januari 2023 8:01 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pada zaman dahulu kala, saya adalah orang yang suka melakukan aktivitas chat-menchat via media sosial (medsos) baik itu di FB, Instagram, lanjut ke Twitter. Seru rasanya saling berbalas kata di tempat-tempat itu. Apalagi membaca status-status di tembok ratapan FB.
ADVERTISEMENT
Saya jadi tahu derita dan bahagia teman-teman saya. Itu dulu, saya sudah tidak mengakses FB sejak tahun 2020. Mengapa saya berhenti memakai FB? Alasan pertama adalah waktu saya begitu habis berjam-jam saya scrolling untuk membaca hal-hal yang kadang-kadang tidak memberikan dampak apa-apa dalam hidup saya.
Setelah itu saya beralih ke Whatsapp. Whatsapp tidak kalah menyeramkan. Media satu ini, justru yang paling banyak makan korban perasaan.
Ketika kamu Whatsapp orang dan hanya centang dua abu-abu yang tidak pernah menjadi biru, kemudian orang tersebut malahan update status, secara mental kamu pasti merasa terhina.
Apalagi kamu membalas chat orang secepat kilat dan guruh di langit. Betapa banyak hati-hati yang terluka akibat pola komunikasi dengan Whatsapp ini. Tidak usah pura-pura tegar bahwa whatsapp tidak dibaca atau tidak dibalas itu tidak menimbulkan efek. Kecewa pasti.
ADVERTISEMENT
Saya pernah dihubungi teman untuk menanyakan referensi ketika saya ngomong "kok enggak hubungi si ini? Penelitian kalian kan sama."
"Enggak ah, japri (jalur pribadi) saya enggak dibaca-baca padahal online melulu," jawab teman saya kala itu.
Setelah jatuh bangun merekonstruksi mindset bahwa waktu sangat berharga apalagi kesibukan saya sebagai ASN, saya sudah sangat selektif men-whatsapp orang. Hanya yang benar-benar perlu dan berhubungan dengan pekerjaan saya.
Saya kemudian mengingat-ngingat, kok bisa dulu saya begitu hobi men-chat orang. Padahal waktu yang saya habiskan bisa buat tulisan atau buku.
Begitulah medsos, kita seumpama meneguk candu. Lagi dan lagi. Maka, perlu kemauan keras untuk melepaskan diri dari hal-hal buruk yang tidak memberi manfaat. Kita hanya akan kecewa kalau Whatsapp kita tidak dibalas, solusinya yah tidak usah Whatsapp.
ADVERTISEMENT
Sesederhana itu, sebenarnya yang kita buat ribet. Yang kedua, jangan pernah serahkan remote perasaan kita kepada orang lain, ada standar siapa orang yang penting untuk kita dan siapa yang sekadar aksesori.
Kalau kita bisa membedakan dua hal itu, frekuensi men-Whatsapp orang itu berkurang drastis. Sekarang ini, saya sudah sehat dalam ber-Whatsapp. Tidak ada lagi japri-japri ngasal yang saya layangkan kepada orang.
Saya juga membayangkan betapa tidak nyamannya saya menjapri terus-terusan orang-orang yang tidak ada keperluan apa-apa dengan saya. Walaupun mereka juga melakukan hal yang sama ke saya kalau lagi butuh sesuatu.
Yang lalu, biarlah berlalu karena sejatinya kita tidak lagi hidup di masa lalu. Berubah itu adalah menjadi versi diri kita yang baik dibandingkan kemarin. Tidak usah sibuk bertempur dengan ego orang lain. Hidup kita adalah tanggung jawab kita.
ADVERTISEMENT
Yang terakhir, cobalah kalkulasi waktumu yang habis untuk dunia medsos, satu jam sehari? Dua jam? Kemudian konversi ke kegiatan yang lebih berguna, seperti olahraga, menulis, membaca, kegiatan-kegiatan keagamaan.
Bangsa ini selalu menjadi yang terendah dalam literasi, namun tertinggi dalam mengakses medsos sampai 7 jam sehari. Kebalikan dengan negara maju, mereka membaca buku 7 jam sehari dan mengakses medsos sesempatnya saja.
Mumpung masih awal tahun, masih bisa mengubah resolusi. Medsos tidaklah haram, namun kecanduan juga sangat tidak baik untuk hidup kita. Intinya semua orang bisa menyeimbangkan kehidupan dunia maya dan dunia nyata.