Konten dari Pengguna

Minat Baca dan Harga Buku, Seumpama Pungguk Merindukan Bulan?

Waode Nurmuhaemin
Doktor Manajemen Pendidikan , Penulis Artikel dan Buku Pendidikan
23 Mei 2023 18:52 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Shutterstock Foto
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Shutterstock Foto
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebagai orang yang suka membaca, saya suka membeli buku sampai batas kadar yang kelewatan. Rumah saya yang kecil penuh buku, di mana-mana bertebaran. Terlebih di tempat tidur.
ADVERTISEMENT
Saya kerap kali ke Gramedia untuk berburu buku. Kalau tidak sempat, maka saya akan memesan buku, kemudian dikirim pakai grab ke alamat kantor saya bekerja.
Saya kerap menuduh orang yang tidak suka membaca sebagai orang yang perhitungan dengan ilmu. Sampai tadi sore, saya ke rumah teman yang baru saja balik dari India. Dia mengajar bahasa Indonesia di salah satu kampus besar di sana.
Sama seperti saya, rumah kecilnya bahkan lebih ngeri. Ruang tamu saja sudah penuh buku sampai di tempat duduk. Maklum saja teman saya ini doktor linguistik yang juga sudah banyak menulis buku. Koleksi bukunya makin dahsyat saja sejak kembali dari India.
Yang membuat saya terheran-heran adalah buku-buku yang dibawa dari India sangat keren dengan cover yang luar biasa bagus terbitan penerbit-penerbit dunia. Dan harganya hanya setara Rp 40 ribuan. Bahkan, ada yang di bawah itu.
Buku yang dijual di bazar di Masjid Jendral Sudirman. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Saya meringis melihat buku di tas saya, terbitan penerbit Indonesia yang terkemuka, sangat tipis dengan harga yang hampir Rp 200 ribu. Bahkan buku impor kadang mencecah (mencapai) Rp 400 ribu untuk satu buah.
ADVERTISEMENT
Saya mulai berpikir dan mencari mengapa buku-buku India sangat bagus dan begitu murah. Bahkan, buku bajakan di Indonesia kalah pamor.
Sekarang, pahamlah saya mengapa begitu banyak peraih nobel dari India dan juga para CEO startup kelas dunia di Silicon Valley. Mereka murah mengakses buku.
Sementara di Indonesia, guru-guru dan dosen yang bergaji di bawah UMR beli buku satu saja yang seharga Rp 150 ribu tentu saja sangat berat. Buku di perpus cenderung ketinggalan zaman dan tidak semenarik buku-buku di toko buku.
Kata teman saya itu, pajak buku di India sangat rendah. Bandingkan di Indonesia. Sampai-sampai seorang penulis novel terkenal pernah berhenti menulis karena mahalnya pajak royalti penulis.
ADVERTISEMENT
Sehingga saat ini, saya berhenti untuk berteori kepada mereka yang mau baca buku tapi terbatas secara finansial. Bahwa membaca akan membuat kita jadi orang pandai.
Pengunjung memilih buku yang dijual dalam bazar buku Big Bad Wolf 2022 di ICE BSD, Tangerang, Banten, Minggu (27/11/2022). Foto: Fauzan/Antara Foto
Tidak boleh dipukul rata, saya sudah merenung. Saya saja yang tiap bulan membeli dua buku bagus dengan tebal 200-an halaman atau lebih, saya harus mengeluarkan uang Rp 400-an ribu. Bisa beli sekarung beras untuk satu keluarga dengan dua anak untuk dimakan satu bulan.
Tentu saja tidak ada orang yang memilih pintar, namun mati karena lapar. Lebih baik biasa-biasa saja. Tidak usah fanatik dengan buku, namun perut tetap aman.
Mungkin, jika buku di Indonesia semurah buku di India, orang akan banyak dan suka membaca. Entah kapan itu bisa terjadi. Entah esok hari, entah lusa nanti, entah.
ADVERTISEMENT
Sehingga apakah bisa kita menyimpulkan dengan remang-remang bahwa minat baca dan harga buku di Indonesia, seumpama pungguk merindukan bulan? Tidak pernah saling berjumpa di titik yang sama?