Konten dari Pengguna

Paradoks Episode 23 Merdeka Belajar: Jangan Mengulang Tragedi Nol Buku!

Waode Nurmuhaemin
Doktor Manajemen Pendidikan , Penulis Artikel dan Buku Pendidikan
13 Maret 2023 11:14 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Shutterstock Foto
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Shutterstock Foto
ADVERTISEMENT
Episode 23 Merdeka Belajar adalah episode yang sungguh istimewa. Episode ini tema yang diusung adalah Buku Bacaan Bermutu untuk Literasi Indonesia. Program tersebut berfokus pada pengiriman buku bacaan bermutu untuk jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Sekolah Dasar (SD) yang disertai dengan pelatihan bagi guru (Laman Kemdikbudristek 2023).
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, Menteri Nadiem menjelaskan bahwa program ini diinisiasi salah satunya berdasarkan hasil tes PISA bahwa kemampuan literasi peserta didik Indonesia masih berada di bawah rata-rata kemampuan literasi peserta didik di negara-negara Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).
Program ini menjadi istimewa karena melibatkan guru dalam pelaksanaanya. Guru diminta untuk berperan sehingga tidak ada buku yang tidak dimanfaatkan di Perpustakaan. Di sinilah letak menariknya.
Mengapa saya katakan menarik? Seharusnya, yang paling dulu dijadikan sasaran membaca buku adalah guru dan bukan siswa. Mengapa saya katakan demikian? Apakah guru Indonesia angka literasinya sudah tinggi?
Melihat betapa payahnya siswa-siswa kita pada bidang literasi di PISA selama dua puluh tahun yang tidak menunjukkan kemajuan sama sekali, perlu ditelisik dengan sungguh-sungguh apakah guru-guru juga memiliki keterampilan membaca?
ADVERTISEMENT
Membaca adalah sebuah kegiatan yang bisa jadi hobi dan bisa ditularkan. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Percuma segala program penggiatan-penggiatan literasi di sekolah-sekolah jika sekiranya guru tidak memiliki habit membaca. Siswa tentu saja akan terpukau ketika ke perpustakaan atau toko buku mereka kerap berjumpa dengan gurunya.
Sangat logis, siswa tidak tertarik membaca karena memang budaya baca tidak ada. Di sinilah peranan guru untuk kemudian "show off" bahwa mereka adalah guru-guru yang membaca. Bukan sekadar mengimbau, tapi juga memberi contoh. Seperti kata Ki Hajar Dewantara dalam salah satu semboyannya yang terkenal: Tut Wuri Handayani, "memberi dorongan dari belakang".
Waktu pelatihan kepemimpinan di Amerika, saya melihat banyak masyarakat biasa yang non-pendidik membawa buku-buku di tangan mereka atau sekadar membaca koran-koran yang disediakan pemerintah negara bagian secara gratis di fasilitas-fasilitas umum. Misalnya juga di transportasi umum seperti bus, sampai kemudian bus berhenti di halte berikutnya mereka sibuk membaca buku.
ADVERTISEMENT
Masyarakat membaca adalah masyarakat yang disaksikan siswa-siswa di negara maju. Mereka mencintai buku. Apa yang dilakukan oleh orang yang mencintai? Tentu saja mereka tidak akan lepas dengan buku-buku.
Sudah saatnya Kemendikbudristek menelaah minat guru dalam membaca buku. Jangan-jangan lagi, rendahnya UKG guru karena mereka memiliki minat baca yang rendah. Semua memang masih harus dibuktikan, namun efek domino dari guru yang tidak suka membaca adalah siswa yang malas membaca.
Tingkat literasi masyarakat kita memang sudah melewati ambang batas mengkhawatirkan. Ada 1,5 juta guru ASN dan sekitar satu juta lebih guru non ASN. Sekiranya mereka memiliki hobi membaca negara ini akan langsung terangkat posisi dan mutu SDM-nya. Mereka bisa jadi duta-duta baca di sekolah dan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sudah saatnya guru-guru secara aktif menjadi pegiat literasi secara individu dan kelompok. Bentuk club-club baca guru. Buat program-program lomba resensi buku dan program sebulan sekali ke Toko buku.
Sebagai pendidik guru adalah ujung tombak kemajuan literasi Indonesia, sangat masygul menyaksikan ada guru yang bahkan tidak pernah menyelesaikan satu buku pun dalam satu tahun bahkan hingga pensiun. Guru yang seperti itu adalah "guru yang tragedi nol buku".
Mari berubah, mari bersinergi! Jadilah guru yang gemar membaca dan menjadikan hobi baca sebagai program pribadi. Bukankah guru mendidik dan mengajar? Berarti guru adalah pembelajar.
Sebaiknya episode ke-24 atau episode 25 dari Kemendikbudristek adalah "Guru Membaca". Saya percaya, guru yang membaca adalah akan bersimbiosis mutualisme dengan siswa yang membaca.
ADVERTISEMENT
Alangkah bangganya kita jika pada tahun-tahun ke depan angka literasi siswa-siswa Indonesia tidak lagi berkutat dan berputar-putar di sepuluh ranking terbawah PISA. Kemudian OECD memberikan komentar dalam laporannya bahwa hal ini karena guru-guru Indonesia telah memberikan dampak signifikan kemampuan literasi siswa dengan program-program literasi yang membuat siswa enjoy membaca buku.
Semoga...