Konten dari Pengguna

Saya Lebih Tertarik Bicara Kemungkinan Hilangnya Pertalite daripada Politik

Waode Nurmuhaemin
Doktor Manajemen Pendidikan , Penulis Artikel dan Buku Pendidikan
5 September 2023 17:47 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pertalite. Foto: Pertamina
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pertalite. Foto: Pertamina
ADVERTISEMENT
Sedari beberapa hari lalu, media dipenuhi pemberitaan politik membicarakan deklarasi salah satu pasangan capres dan cawapres. Semua makin panas karena dibumbui isu aroma pengkhianatan, PHP, terbentuknya poros koalisi baru dan isu-isu yang hangat sekaligus memancing komen-komen pedas dari pembenci kedua kubu yang berseteru.
ADVERTISEMENT
Saya pernah mengalami suasana pemilu di AS. Waktu itu Obama mencalonkan diri untuk periode dua. Waktu itu kesan yang saya dapatkan debat-debat capresnya dilakukan dengan tidak seriuh di Indonesia.
Maklum saja, dedengkot negara demokrasi itu hanya punya dua partai sehingga komen-komen yang berhamburan hanya terbagi dua pendukung republik atau demokrat. Debatnya pun banyak dilakukan di kampus-kampus sehingga suasana akademiknya begitu terasa. Kandidatnya juga bermutu.
Sebagai rakyat kecil—wong cilik—yang hanya punya satu suara, saya sudah bertekad untuk memilih calon yang berkualitas. Di samping itu ASN juga harus netral dan tidak boleh memperlihatkan kecenderungan kepada salah satu calon cukup menggunakan hak pilih.
Lagipula, memikirkan politik itu sungguh runyam. Sudahlah stres, tidak dapat keuntungan apa-apa pula. Hanya menghabiskan waktu adu argumen dengan para militansi pembela capres itu sangat ngeri.
Ilustrasi Partai Peserta Pemilu Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Saya lebih tertarik dengan wacana penghilangan pertalite. Pertamina nanti hanya akan memproduksi pertamax yang sudah naik harganya minggu lalu. Itu artinya beban hidup makin berat saja. Pertalite saja di kisaran Rp 10.000. Ongkos semua kendaraan naik diikuti harga sembako yang gila-gilaan. Bagaimana lagi jika hanya ada pertamax yang seharga 13.600?
ADVERTISEMENT
Akan bagaimanakah harga sembako? Makin tercekiklah para kaum papa dan setengah papa. Daripada mikirin politik di mana para capres-caleg adalah manusia-manusia kaya yang tidak akan kesusahan mau naik berapa pun BBM mungkin saatnya kita mencari pekerjaan sampingan.
Mulailah melihat skill-skill yang bisa dikembangkan dalam rangka mencari cuan tambahan. Kalau belum punya skill baru segera belajar mumpung wacana penghapusan pertalite kemungkinan tahun depan di awal tahun. Lumayan masih ada tiga bulan lebih untuk berburu skill baru.
Jangan terlena dengan pertengkaran dan riuhnya pilpres. Percayalah mereka hanya memusingkan elektabilitas. Lah, kita? Mau musingin elektabilitas juga? Belum lagi kenaikan harga beras, angkot, motor rusak, kredit—sehingga jadilah cerdas melihat kondisi.
Seorang lelaki tidur siang di trotoar di pusat kota Jakarta. Foto: AFP/BAY ISMOYO
Bayangkan, kita-kita para akar rumput pusing mikirin politik mereka-mereka yang nampak berseteru ternyata sohib. Makan semeja di restoran mahal. Belum lagi uang yang mereka miliki tidak berseri. Lah, kita? Semua seri uang kita kebanyakan "Pattimura" di akhir bulan.
ADVERTISEMENT
Saya pribadi melihat seperti itu sehingga hari ini saya sibuk mencari dan memikirkan skill baru yang kira-kira cocok untuk saya. Semua berita politik saya baca tanpa meresapi, hanya sekadar tau tanpa perlu ikut riuh.
Sehingga literasi politik kita memang harus dipertajam. Apalagi kita bukan politikus, ngapain juga tidak bisa tidur akibat perkembangan dan suhu politik yang meningkat? Lebih baik berburu skill baru ketimbang menghabiskan waktu dan kuota memelototi dan ikut-ikutan menghujat tanpa tau apa yang sebenarnya terjadi.