Konten dari Pengguna

Scopus: Terang dan Gelap di Balik Dunia Publikasi Ilmiah

Waode Nurmuhaemin
Doktor Manajemen Pendidikan , Penulis Artikel dan Buku Pendidikan
12 Agustus 2023 17:36 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Shutterstock Foto
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Shutterstock Foto
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dunia akademik dan ilmiah telah mengalami perubahan besar seiring dengan kemajuan teknologi dan globalisasi. Salah satu aspek yang memainkan peran penting dalam penyebaran pengetahuan ilmiah adalah platform penerbitan dan indeksasi, dan di sinilah Scopus menjadi pusat perhatian.
ADVERTISEMENT
Meskipun banyak pengindeks lain, namun Scopus telanjur mendominasi. Bahkan, menjadi kiblat jurnal ilmiah bergengsi serta bereputasi. Tentu banyak negara memiliki pengindeksasi sendiri, seperti Indonesia yaitu SINTA. Namun tetap saja Scopus tetap menjadi patokan karena SINTA sendiri tetap memasukkan jurnal-jurnal Scopus dalam kategori kelas SINTA yang tertinggi.
Scopus adalah sebuah database abstrak dan indeksasi yang menyediakan akses ke jutaan artikel penelitian, jurnal, dan makalah konferensi dari seluruh dunia. Para peneliti, dosen, dan mahasiswa mengandalkan Scopus untuk menemukan karya ilmiah terbaru, mengevaluasi penelitian yang relevan, dan memahami tren dalam berbagai disiplin ilmu. Namun, di balik gemerlapnya dunia akademik dan ilmiah, Scopus juga memiliki sisi gelap yang harus dihadapi oleh para akademisi dan peneliti.
ADVERTISEMENT
Salah satu masalah utama yang dihadapi oleh banyak peneliti dan akademisi adalah meningkatnya tekanan untuk mempublikasikan sebanyak mungkin artikel di jurnal-jurnal terindeks Scopus demi meningkatkan peringkat kampus atau institusi tempat mereka bekerja.
Hal ini dapat menyebabkan perilaku yang tidak etis, seperti publikasi ganda atau penulisan makalah yang kurang berkualitas. Beberapa jurnal juga terindikasi melakukan praktik pay-to-publish, di mana penulis membayar biaya publikasi tanpa ada jaminan kualitas yang memadai. Begitu juga bisnis-bisnis jurnal scopus fast track dengan mudahnya kita dapatkan bertebaran di media-media dan grup-grup dosen.
Berbagai iklan kita dapatkan dengan janji kecepatan terbit dan penerbitan LOA yang hanya tiga hari bahkan ada yang hanya 24 jam. Tentu saja hal ini menimbulkan kecurigaan terhadap jurnal tersebut namun para akademisi menutup mata karena sudah putus asa mencari jurnal untuk publikasi dalam waktu singkat guna memenuhi syarat akademik dengan kepangkatan yang mereka miliki.
ADVERTISEMENT
Selain itu, perangkat indeksasi Scopus juga memiliki kriteria yang kompleks dalam menilai reputasi jurnal. Jurnal yang kurang dikenal atau berasal dari negara berkembang seringkali mendapatkan peringkat yang rendah, bahkan jika mereka memiliki kualitas penelitian yang baik. Hal ini dapat menyulitkan peneliti dari negara-negara berkembang untuk mendapatkan pengakuan yang setimpal dengan kontribusi ilmiah mereka.
Kritik lain yang dialamatkan pada Scopus adalah sifatnya yang eksklusif dan berbayar. Akses ke database ini dapat sangat mahal bagi institusi atau perpustakaan yang tidak mampu membayar langganan yang tinggi. Akibatnya, banyak peneliti dari negara-negara berkembang atau lembaga kecil menjadi terbatas dalam akses informasi yang relevan dan terbaru.
Bahkan saking mahalnya beberapa orang akademisi kemudian berinisiatif untuk berkolaborasi patungan membayar agar bisa mengakses jurnal-jurnal Scopus terbaru. Tentu saja biayanya tidak murah untuk dosen-dosen di negara miskin dan berkembang mengingat gaji yang mereka terima sangatlah kecil, hanya cukup untuk makan bukan untuk membayar jurnal-jurnal bereputasi yang bisa dibaca untuk meningkatkan wawasan dan kapabilitas mereka sebagai akademisi.
ADVERTISEMENT
Sehingga tidak usah heran, bahkan banyak dosen yang asing dengan kata Scopus dan tidak pernah bersentuhan dengan jurnal-jurnal tersebut yang merupakan sebuah kemewahan terutama dosen-dosen non-ASN di kampus-kampus kecil dan diluar kota-kota besar.
Selain itu, algoritma yang digunakan oleh Scopus untuk mengindeks publikasi juga tidak selalu sempurna. Terkadang, publikasi yang relevan dapat terlewatkan atau tidak diindeks dengan benar, yang dapat menghambat penelitian berkelanjutan dan kolaborasi ilmiah.
Meskipun Scopus menyediakan berbagai manfaat bagi komunitas ilmiah, penting bagi kita untuk menyadari sisi gelapnya dan mencari solusi untuk meningkatkan kualitas dan integritas penelitian. Transparansi dan pemantauan lebih lanjut atas proses indeksasi dan peringkat publikasi dapat membantu mengatasi beberapa masalah yang terkait dengan Scopus.
ADVERTISEMENT
Sebagai kesimpulan Scopus tetap menjadi salah satu platform utama bagi penyebaran pengetahuan ilmiah, meskipun , banyak akademisi yang masuk kategori kere hanya mampu menjadi penonton riuhnya publikasi Scopus. Meskipun banyak juga yang gratis, namun sangat sedikit dibanding dengan yang berbayar.
Meskipun Scopus pengindeks bereputasi dan menjadi rujukan pemerintah, akan tetapi para akademisi dan peneliti perlu bijaksana dalam menggunakannya dan tetap berpegang pada nilai-nilai etika dan integritas dalam penelitian.
Kita tidak perlu menjadi gelap mata dan melakukan cara-cara yang kurang etis agar karya ilmiah kita terpampang di Scopus. Dengan cara ini, kita dapat mengoptimalkan potensi positif Scopus dan terus maju dalam mencapai kesuksesan ilmiah yang berintegritas.