Konten dari Pengguna

Sepenggal Cerita untuk Hari Ini

Waode Nurmuhaemin
Doktor Manajemen Pendidikan , Penulis Artikel dan Buku Pendidikan
16 Maret 2024 19:37 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi wanita saat curhat. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi wanita saat curhat. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Dia mengambil nomor antrian, dilihatnya pasien yang antri hanya tinggal sedikit. Dia sengaja menunggu giliran terakhir, dan ketika itu namanya dipanggil hanya dengan lirikan mata dari asisten dokter yang sudah sangat akrab dengannya. Kemudian perlahan dia masuk ke dalam bilik dokter yang sudah sangat dikenalnya.
ADVERTISEMENT
Tanpa mengedarkan pandangan pun dia sudah menghafal letak semua perabot di dalam ruangan praktik dr Andini sang psikiater yang sudah jadi langganannya beberapa bulan ini. Sebenarnya dia sudah memutuskan bahwa dia sudah sembuh, memegang kendali atas pikirannya.
Namun akhir-akhir ini, berita-berita media kembali membuatnya sering gelisah. Pembunuhan, bunuh diri silih berganti menghiasi laman-laman berita akibatnya dia gelisah dan sering membuka-buka medsos dan entah bagaimana ceritanya dia pun tertarik balik lagi ke cerita masalah remeh temeh itu.
dr Andini adalah temannya semasa SMA, perempuan berwajah lembut itu dikenalnya bahkan sejak mereka sama-sama belum bisa mengeja huruf dan menghitung angka-angka. Persahabatan mereka konon sejak orok, karena mereka pun bertetangga semasa di kampung dulu.
ADVERTISEMENT
“Naik apa mesin?” tanya Bu dokter, nama yang dia sematkan.
“Grab” jawabnya pendek.
Bu dokter menghela napas, kemudian melanjutkan “Wajahmu keruh begitu, kenapa? Masih bolak-balik yang dulu?” tanya lagi sambil menatap ke arah sahabatnya. “Gimana ceritanya? Bukankah kita sudah sepakat untuk mengakhiri yang kelam-kelam di 2024 ini?” balasnya lagi tersenyum lembut.
"Entahlah, saya masih suka liat berita-berita,” bebernya sambil membaringkan badan di sofa yang ada di ruangan itu.
“Jadi ke sini mau ngapain?” Dokter Andini tidak akan langsung menasehati frontal. Sebagai dokter, dia paham bagaimana berhadapan dengannya yang keras kepala hingga ke tulang sum-sum.
“Saya tadi sengaja masuk antrean terakhir katanya,” sambil menatap tajam wajah lembut sahabatnya itu.
ADVERTISEMENT
“Saya ga keberatan kamu masuk antrean mana saja,” sambutnya lagi masih dalam nada stabil dan lembut. Dia kemudian berpikir-pikir, apa semua psikiater begitu stabil dalam mengelola emosi? Semua pasiennya membawa masalah berat untuk di carikan solusi.
Apakah bu dokter, tidak stress mendengar dan harus mengobati sekian banyak orang yang mengalami masalah-massalah rumit dalam hidup mereka?
“Kalau kamu tidak mau minta saran, lalu mau minta apa?” Bu Dokter tersenyum mencoba menggodanya memutus lamunnaya.
“Kamu tidak sakit, cuma suka mempersulit hidup. Pikiranmu sehat, dan cobalah untuk melihat realitas. Kamu mau ngambek, marah sama dunia, merasa tidak diperlakukan adil, dunia akan tetap baik-baik saja berjalan seperti dalam hukum Allah,” katanya lagi. “Saya sebenarnya susah ngomong sama kamu. Tanpa saya beri tahu-pun kamu sudah paham. Kamu bukan orang bodoh, bahkan kamu sangat pintar,” sambungnya.
ADVERTISEMENT
“Sejak pulang dari sana, kamu menjadi orang yang terlampau membebani bahumu, dengan beban-beban yang tidak perlu. Buku yang kamu baca lebih banyak dari yang saya baca, tempat yang kamu jelajahi juga tidak sebanding dengan saya. Harusnya masalah sekecil itu tidak sampai berlanjut berhari-hari, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sampai kapan kamu melawan dirimu sendiri?” Lanjutnya masih dengan nada-nada yang tanpa emosi.
Dia tidak menjawab.
“Kan saya sudah sarankan dari awal. Detoks medsos. Ngapain kamu selalu merepotkan diri dengan apa yang tidak ada?” katanya lagi. “Kalau situasi sudah tidak lagi sama, kamu hanya perlu menerima. Bukannya memikirkan sampai-sampai harus terbawa-bawa di alam bawah sadar,” sambung bu dokter lagi menatapnya prihatin.
“Semua orang itu punya masalah, pastikan itu berharga kalau harus dipikirkan. Saya juga tidak yakin kamu akan repot-repot menjatuhan diri dari gedung, kamu tidak akan begitu.”
ADVERTISEMENT
Dia hanya mampu meresapi kata-kata Bu dokter.
“Kamu mau tahun ini masih di situ-situ saja?” katanya lagi sambil tersenyum.
“Saya heran sama kamu, kamu sibuk bahkan sangat sibuk untuk orang yang terkena gangguan pikiran atas hal kecil yang sudah selesai sebetulnya. Tapi kamu tidak sendiri, ilmuwan-ilmuwan dunia juga kerap bertarung dengan hal-hal yang kurang masuk akal, saya mempelajari itu di kelas pskiatri lanjutan.”
Sejenak kami terdiam, bu dokter memikirkan keanehanya dan dia masih saja memikirkan bagaimana bisa bu dokter, sahabatnya itu mampu dan bisa sehari-hari menghadapi pasien-pasiennya yang sedang jungkir balik terkena depresi oleh berbagai-bagai macam masalah yang pelik-pelik.
“Jadi gimana? Mau barengan pulang? Saya tidak pernah mengganggap kamu pasien, setiap kamu datang, saya melihat teman kecil saya yang datang,” katanya tersenyum menatap lembut.
ADVERTISEMENT
“Dulu kamu ke mana-mana, bertahun-tahun, saya cuma melihatmu, mengejar-ngejar ilmu di ujung-ujung dunia. Kamu cuma berkabar-kabar lagi di sini dan di sana. Apa kamu tidak tahu? Saya begitu menggagumi passionmu, bakatmu. Sayang disia-siakan untuk hal-hal tidak kasat mata,” katanya lagi sambil meraih kunci mobil.
“Nanti kamu, jangan muncul lagi dengan muka compang-camping dan keruh begitu yah? Cukup pasien-pasien saya yang memang masalah yang mereka miliki harus diobati. Saya suka baca tulisan-tulisannmu. Tidak ada gangguan dipikiranmu. Tulisanmu terlalu bagus untuk orang yang katamu terbayang-bayangi. Btw, novelmu kapan terbit?Janji yah, kamu tidak lagi dikalahkan pikiran dan perasaan,” katanya serius.
Dia pun setengah mengangguk, yah, cuma setengah. Jadinya kelihatan aneh, lebih mirip orang yang lagi cegukan. Walaupun demikian itu sudah cukup untuk bu dokter memahami bahwa dia akan segera pulih.
ADVERTISEMENT
“Mau dunia tidak adil menurutmu,hidup harus tetap berjalan.”
Dia mengutipnya, menulisnya di hatinya untuk sebentar dipindahkan ke notebook. Di bawah akan ditulisnya “kutipan dari bu dokter, yang setiap hari bergulat dengan masalah-masalah manusia yang begitu berat.”