Tak Ada yang Lebih Tabah dari Guru 3T

Waode Nurmuhaemin
Doktor Manajemen Pendidikan , Penulis Artikel dan Buku Pendidikan
Konten dari Pengguna
30 Desember 2022 17:08 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi guru mengajar. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi guru mengajar. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Surat 720 guru 3T di Sintang yang belum mendapat tunjangan daerah khusus selama satu tahun menimbulkan perasaan masygul yang dalam. Betapa tidak, guru-guru langka tersebut memperjuangkan hak mereka setelah menunaikan kewajiban di tempat yang tidak diminati mayoritas guru. Secara moral hak adalah sesuatu yang harus mereka dapatkan secara otomatis tanpa diminta.
ADVERTISEMENT
Menjadi guru daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) hanya mampu dilakoni oleh orang-orang langka yang berhati mulia dan bertekad baja. Beratnya medan mengajar tidak usah lagi ditanya. Berjibaku dengan lumpur adalah hal biasa ketika musim hujan tiba karena kondisi jalan yang buruk. Tidur di perpustakaan dilakoni bertahun-tahun.
Tunjangan khusus merupakan harapan yang mereka butuhkan untuk menutup kebutuhan sehari-hari, syukur-syukur bisa dikirim kepada keluarga. Harga bensin di Sintang, mencapai 20 ribu, gas 3 kilo 70 ribu tentu saja dapat tertutupi oleh tuksus tersebut. Mereka sudah mengusahakan berbagai cara agar tunjungan tersebut cair.
Ketika mereka ke dinas pendidikan kota, jawabannya adalah sudah seperti itu yang keluar dari pusat dan ketika mengadu ke pusat, maka yang terjadi adalah daerah yang mengirim nama-nama guru yang layak mendapat tunjangan. Saling lempar tanggung jawab memang masih menjadi ciri khas birokrasi negara ini.
ADVERTISEMENT
Jelas saja ini memusingkan dan menguras energi. Mereka juga sudah memenuhi syarat yang ditetapkan seperti guru-guru lain yang tunjangannya cair. Yang menjadi kesedihan saya yang membaca surat terbuka itu adalah, kok sebegitunya, untuk haknya mereka harus seolah-olah mengemis-ngemis.
Menyusul pertanyaan, ada berapa guru yang mau ditempatkan di daerah 3T dengan segenap jiwa dan segala kerelaan mereka tanda tangan siap bertaruh nyawa untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa di tempat yang minim fasilitas? Fenomena ini jelas saja menjadi noda hitam atas pengakuan kemajuan digitalisasi pendidikan Indonesia dari dunia internasional.
Karut-marut data pendidikan tergambar di sini. Data pusat dan daerah tidak sinkron. Pengakuan dari dunia internasional penting, akan lebih baik jika dibarengi dengan keakuratan data sehingga tidak perlu mengorbankan mereka-meraka yang menjadi pahlawan pendidikan garis depan.
ADVERTISEMENT
Seperti puisi yang pernah ditulis oleh Sapardi Djoko Damono, "Tak ada yang lebih tabah selain hujan bulan Juni", maka saat ini bisa ditambahkan dengan “Tak ada yang lebih tabah selain hujan bulan Juni dan guru 3T. Semoga Pak Menteri Nadiem Makarim segera mendengar permasalahan ini, karena Indonesia adalah negara viral. Apa-apa yang viral akan segera mendapat perhatian dari yang berwenang.