Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Foto Cerita Perajin Terakhir "Gong Factory" Di Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat
9 Mei 2024 11:12 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Abdullah Syamil Iskandar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di Kota Bogor, terdapat sebuah tempat bersejarah yang telah berdiri selama bertahun-tahun dan memiliki nilai historis yang tinggi. Tempat ini dikenal dengan nama "Gong Factory". "Gong Factory" merupakan pabrik pembuatan salah satu alat musik tradisional yang terbuat dari logam dan kuningan, yaitu gong. Selain itu, "Gong Factory" juga merupakan pabrik pembuatan gong tertua di Indonesia. Pabrik ini terletak di Jalan Pancasan, Kota Bogor, dan telah berdiri selama lebih dari 370 tahun. Warisan pabrik ini tidak hanya berupa tempat dan alat pembuatannya, tetapi juga keterampilan para perajin "Gong Factory" dalam membuat gong berkualitas terbaik. Keterampilan ini telah diwariskan dari generasi pertama hingga generasi ketujuh, dan tidak hanya menghasilkan gong tetapi juga alat musik Gamelan Jawa lainnya seperti bonang dan saron yang terbuat dari logam dan kuningan.
Bangunan pabrik telah menjadi saksi perjalanan waktu sejak awal didirikannya, saat masih terletak di tengah-tengah hutan. Kini, bangunan tersebut berdiri di tengah kota, yang tergambar jelas pada foto dengan adanya gedung dan jalan raya utama, Jalan Pancasan, yang terlihat jelas. Melihat sejarah panjang "Gong Factory," tempat ini telah menghadapi berbagai tantangan dan melewati zaman. Para perajin Gong di "Gong Factory" kini sudah memasuki generasi ketujuh, dipimpin oleh Krisna Hidayat, anak dari Haji Sukarna yang wafat pada pertengahan tahun 2019. Meskipun pernah meraih puncak kejayaan pada 1980-an dengan 20 perajin muda dan berbakat, namun sekarang jumlah perajinnya berkurang karena faktor usia dan kematian. Pada tahun 2023, hanya ada enam perajin tersisa dari sebelumnya 20 perajin. Keenam perajin ini telah memasuki generasi ketujuh sejak 2019, yang merupakan generasi terakhir di "Gong Factory" karena hingga saat ini belum ada regenerasi perajin yang akan melanjutkan warisan "Gong Factory."
ADVERTISEMENT
Hanya ada enam orang yang masih aktif bekerja di "Gong Factory." Empat di antaranya adalah perajin yang membuat gong, yaitu Hidayat (49), Acang (48), Didin (58), dan Rasyid (47). Sementara dua lainnya, Krisna (47) dan Andy (68), memiliki peran sebagai pemimpin dan wakil pimpinan. Pimpinan dan wakil pimpinan memiliki tugas sebagai penghubung untuk pesanan dan juga mengkoordinasikan empat perajin yang tersisa untuk melakukan produksi jika ada pesanan. Namun, terkadang pemimpin dan wakil pimpinan turut serta dalam pembuatan jika pada saat produksi kekurangan tenaga kerja.
Bangunan pabrik yang telah mengalami perjalanan panjang ini menjadi saksi bisu dari evolusi "Gong Factory." Dari hutan ke tengah kota, dari masa kejayaan hingga tantangan era modern, "Gong Factory" tetap berdiri sebagai penjaga warisan yang berharga, meskipun dengan regenerasi perajin yang semakin menipis.
Beberapa generasi muda telah mencoba menjadi perajin gong, namun akhirnya mereka memilih untuk berhenti. Alasan di balik keputusan ini adalah karena pekerjaan yang sangat berat dan memerlukan tenaga yang besar. Selain itu, kondisi kerja yang panas dan suara pukulan yang keras juga dapat menyebabkan ketidaknyamanan. Kurangnya upah yang didapat juga menjadi faktor penting dalam keputusan untuk berhenti sebagai perajin.
Penurunan jumlah perajin ini sebagian besar disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah penurunan pendapatan yang diterima oleh perajin, yang semakin minim. Selain itu, faktor usia juga memainkan peran penting, mengingat bahwa enam perajin yang tersisa sudah memasuki usia lanjut, dengan rata-rata usia mendekati 50 tahun dan yang paling tua di umur 68 tahun. Pada usia ini, produktivitas kerja cenderung menurun, dan jumlah perajin yang terbatas semakin memperburuk situasi. Masalah ini semakin diperparah oleh ketidakmampuan untuk menemukan generasi penerus yang akan melanjutkan tradisi dan kepemimpinan pabrik gong ini. Selain itu, dampak dari pandemi Covid-19 yang melanda pada pertengahan tahun 2020 juga turut berkontribusi pada kondisi sulit ini. Dengan adanya beberapa faktor ini, secara perlahan pabrik "Gong Factory" bisa menghadapi risiko penutupan, dan para perajin yang masih ada akan kehilangan salah satu sumber penghasilan mereka. Dampak dari jumlah perajin yang terbatas ini juga terlihat dalam kegiatan pembuatan gong di "Gong Factory." Kegiatan ini tidak dilakukan setiap hari, melainkan hanya jika ada pesanan yang masuk, barulah para perajin akan mengerjakannya.
ADVERTISEMENT
Ketika Covid-19 melanda Indonesia, "Gong Factory" mengambil langkah untuk bertahan dengan menyewakan gerai dan halaman depannya kepada pedagang. Tujuan dari penyewaan ini adalah untuk mendapatkan penghasilan tambahan, terutama karena pesanan gong mengalami penurunan sejak pandemi Covid-19 muncul. Sebelumnya, gerai tersebut digunakan sebagai tempat display untuk memamerkan dan menjual hasil karya perajin kepada pengunjung. Selain itu, gerai juga menjadi jalur bagi wisatawan yang ingin mengunjungi "Gong Factory", sedangkan halaman depannya digunakan sebagai tempat parkir kendaraan wisatawan. Saat ini, gerai telah disewakan untuk menjadi barbershop, sementara halaman depannya juga disewakan kepada para pedagang kaki lima yang menetap di lokasi tersebut setiap hari.
Gang di samping halaman depan merupakan akses utama yang mengarah ke pintu masuk pabrik dan pemukiman warga. Saat project dimulai pada bulan Januari hingga Maret, bangunan di sebelah kiri foto masih dalam tahap pembangunan dan belum selesai; hanya merupakan bangunan kosong yang terbengkalai. Namun, dari bulan Maret hingga November, bangunan tersebut telah bertransformasi menjadi sebuah outlet yang siap dioperasikan. Perubahan ini mencerminkan perubahan zaman yang cepat. "Gong Factory" awalnya terletak di tengah hutan, tetapi seiring waktu, kawasan tersebut berkembang menjadi kompleks bangunan yang mendorong "Gong Factory" untuk memindahkan lokasinya ke pemukiman padat penduduk. Gang ini tidak hanya digunakan oleh perajin, tetapi juga menjadi akses penting bagi warga yang ingin masuk ke pemukiman Pancasan.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Dalam pembuatan gong, "Gong Factory" menggunakan arang sebagai bahan bakar. Pemilihan arang sebagai bahan bakar didasarkan pada harganya yang sangat terjangkau dan kemudahan dalam proses pembakaran. Prosesnya menghasilkan cipratan api arang yang tersebar ke berbagai arah, terlihat pada foto di sisi kanan. Untuk mengurangi risiko terkena cipratan arang, Hidayat menggunakan penyukat untuk membalik-balikkan bahan gong yang sedang dipanggang. Penyukat merupakan alat yang digunakan untuk mengatur pembakaran dan memutar bahan gong (lakar) di atas arang. Ujung penyukat ini berbentuk bengkok, berfungsi untuk menarik, mendorong, dan memutar bahan gong sehingga pembakaran dapat diatur sesuai kebutuhan. Gagang penyukat yang dipegang oleh Hidayat terbuat dari kayu, sehingga panas dari ujungnya tidak menyengat tangan. Keahlian dalam pembakaran ini menjadi spesialisasi Hidayat, dan setiap kali ada produksi, dipastikan bahwa dia yang mengurus pembakaran bahan karena pengalamannya yang sudah lama. Oleh karena itu, para perajin lainnya mempercayakan tugas tersebut kepada Hidayat.
Suasana dalam kegiatan penempaan bahan gong menggambarkan tahap pembuatan gong yang berlangsung dalam suhu panas di dalam pabrik. Desain bangunan pabrik menunjukkan ciri khas tertutup dengan ventilasi udara yang minim. Akibat bentuk bangunan yang tertutup ini, suhu udara dari pembakaran arang hanya beredar di dalam ruangan, menciptakan suhu udara panas yang tinggi. Desain bangunan tertutup ini dibuat untuk mencegah udara dari luar memadamkan pembakaran arang, menjaga suhu pembakaran tetap stabil. Selain desain bangunan, foto tersebut juga memperlihatkan butiran debu yang beterbangan di langit-langit pabrik, mengindikasikan bahwa sisa debu dari pembakaran arang hanya berputar di dalam pabrik, menunjukkan kurangnya sirkulasi udara yang optimal. Pada foto di sebelah kiri, terlihat adanya air galon yang terisi. Dampak dari suhu panas dan debu arang ini adalah dehidrasi, yang dapat menyebabkan tubuh cepat lelah. Para perajin mengatasi hal ini dengan meminum banyak air selama proses pengerjaan untuk mencegah terjadinya dehidrasi.
Terlihat sisa debu dari proses pembakaran bahan menggunakan arang. Penggunaan arang sebagai bahan bakar berdampak pada para perajin, seperti menyebabkan luka bakar kecil jika terkena kulit, membuat tenggorokan menjadi kering, dan merusak tekstur rambut menjadi kasar. Oleh karena itu, para perajin menggunakan topi untuk melindungi kepala mereka dari abu arang yang terbang di dalam pabrik. Selain itu, untuk mengatasi tenggorokan kering, para perajin secara rutin minum air mineral agar dapat menetralkan debu arang yang masuk ke tenggorokan.
Foto di atas memvisualkan Rasyid yang sedang mengupas kulit buah pisang. Terlihat kedua tangan Rasyid, salah satunya dilapisi dengan sarung tangan berbahan kain, sementara satunya lagi tidak menggunakan sarung tangan. Tangan yang dilapisi merupakan tangan kanan, yang berperan sebagai sumber tenaga pukulan untuk memukul bahan gong menggunakan palu. Akibat seringnya melakukan tindakan ini, telapak tangan kanan dapat mengalami lecet dan membentuk luka. Sementara itu, tangan yang tidak diberi sarung tangan adalah tangan kiri. Tangan kiri hanya berfungsi untuk menahan beban palu ketika palu diayunkan ke arah bahan gong. Pada tangan kiri terlihat adanya warna hitam di sela-sela kuku, yang disebabkan oleh debu sisa pembakaran arang di dalam pabrik. Di tengah pekerjaan yang melelahkan membuat gong untuk menjaga agar tenaga tidak habis dan tetap bugar, para perajin biasanya menyiapkan cemilan, salah satunya adalah buah pisang. Buah pisang menjadi cemilan yang digemari para perajin karena murah dan cepat di makan sehingga tidak menggangu pekerjaan.
Didin (foto kiri) dan Krisna (foto kanan) sedang melakukan penyetelan suara bonang dan saron menggunakan alat modern. Foto kiri menggambarkan proses pembentukan nada alat musik bonang yang disesuaikan dengan alat yang ditiup oleh Didin, yaitu rotary pitch instrument. Dengan meniup salah satu nada yang terdapat di rotary pitch instrument, kemudian nada disesuaikan dengan suara dari rotary pitch instrument itu sendiri. Sementara itu, foto kanan memperlihatkan proses penentuan nada menggunakan bantuan smartphone melalui aplikasi keyboard. Proses ini melibatkan penyocokan suara dari alat musik seperti bonang, saron, atau gong dengan suara yang ada dalam aplikasi tersebut. Jika suara tersebut dianggap belum cukup pas, langkah yang diambil adalah menyetel ulang alat musik tersebut hingga mencapai nada yang diinginkan.
ADVERTISEMENT
Pada zaman dahulu, ketika belum tersedia teknologi canggih, mereka hanya mengandalkan insting dan pendengaran yang tajam. Penyetelan suara gong dilakukan secara manual, dan yang mampu melakukannya hanyalah H. Sukarna, pemimpin "Gong Factory" generasi ke-6. Namun, bakat tersebut tidak diturunkan kepada penerus generasi berikutnya. Seiring perkembangan zaman, "Gong Factory" mengikuti tren dengan memanfaatkan teknologi yang ada di smartphone sebagai alat bantu dalam penyusunan nada.
Peralatan ini merupakan salah satu bukti bahwa “Gong Factory” sudah lama berdiri karena peralatan ini sudah ada sejak dari generasi pertama hingga diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya hingga sekarang ke generasi ke tujuh. Tampak pada foto memvisualkan peralatan untuk membuat alat musik gamelan yang terdiri dari palu, capit, penyukat dan penyingen. Kemampuan untuk tetap dapat digunakan dengan baik dari generasi pertama hingga generasi ke tujuh menjadi tanda bahwa alat tersebut terbuat dari bahan berkualitas terbaik untuk menciptakan alat musik gamelan berbahan logam dan kuningan.
Perajin generasi terakhir berfoto bersama, yang menjadi momen penting sebagai bukti bahwa masih ada perajin "Gong Factory" generasi ketujuh dari masa kejayaan pada tahun 1980-an. Sebagai penutup, cerita ini mencerminkan perkembangan zaman di mana teknologi informasi semakin maju, manusia terus berkembang, dan perubahan terjadi di semua aspek kehidupan, termasuk di "Gong Factory" di Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Harapannya, cerita ini dapat berbagi informasi dan pengetahuan melalui karya fotografi kepada masyarakat umum. Kehadiran cerita ini juga penting untuk masa depan, karena dalam 15 tahun, 20 tahun, atau lebih, jika tidak ada perajin muda yang mengambil alih kepemimpinan "Gong Factory," perajin terakhir "Gong Factory" akan menghilang seiring berjalannya waktu karena faktor usia.
ADVERTISEMENT