Konten dari Pengguna

PPN & Sales Tax : Sebuah Analisis Fundamental

Rehan Perdana Putra
Mahasiswa D-IV Manajemen Keuangan Negara Politeknik Keuangan Negara STAN
27 Januari 2025 15:35 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rehan Perdana Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pajak (Source: freepik.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pajak (Source: freepik.com)
ADVERTISEMENT
Awal 2025 sebagai masa peralihan politik menjadi ajang untuk berlomba dalam menelisik rencana prospektif dari pasangan presiden dan wakil presiden terpilih. Isu yang muncul terkait rencana perpajakan menimbulkan tendensi masyarakat untuk menolak berpartisipasi dalam mendukung rencana pemerintah. Kenaikan PPN 12% dengan sasaran menyeluruh diharapkan menjadi penopang terlaksananya rencana masif yang dicanangkan oleh pengisi jabatan-jabatan eksekutif. PPN 12%, meski demikian dinilai sebagai substansi yang memberatkan sebagian kalangan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menjadi pintu disahkannya kenaikan PPN 12% di Indonesia. Kenaikan tarif ini memicu berbagai pertanyaan besar terkait sistem perpajakan di Indonesia, terutama PPN sebagai hulu dari arus permasalahan. Isu ini menjadi topik yang menarik untuk dibahas, baik dari segi temporal ataupun fundamental, mengingat bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) memiliki sasaran subjek pajak berupa masyarakat secara keseluruhan

PPN, Sebuah Penjabaran Fundamental

Pajak Pertambahan Nilai memberikan kontribusi besar dalam postur Penerimaan Perpajakan , seperti tertulis dalam APBN KiTa periode Desember 2024, Penerimaan Pajak Penghasilan Nonmigas serta Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN/PPnBM) masing-masing mencatat kontribusi sebesar 52,45 persen dan 41,91 persen terhadap total penerimaan pajak. Data tersebut membuktikan bahwa PPN menjadi hal yang substansial terhadap komposisi fiskal Indonesia.
ADVERTISEMENT
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), sebuah organisasi internasional dengan tujuan mengembangkan kebijakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, dalam laporan mereka yang berjudul “Consumption Tax Trends 2020:VAT/GST and Excise Rates, Trend and Policy Issues” menjelaskan terkait dengan taksonomi perpajakan. Dalam laporan tesebut, PPN (VAT atau value added tax) digolongkan sebagai pajak atas konsumsi yang bersifat umum (taxes on general consumption), begitu pula dengan Sales Tax atau Pajak Penjualan.
Menurut Darussalam (2022), PPN (VAT) merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi barang atau jasa kena pajak yang bersifat umum. Sesuai dengan pernyataan OECD tersebut, PPN digolongkan sebagai pajak tidak langsung (indirect tax) dengan pemungutan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau taxable person di setiap proses tahapan produksi dan distribusi. Tarif PPN (VAT), aturan, dan pengecualian ditentukan di negara masing-masing, dimana dalam hal ini, Indonesia merupakan salah satu negara yang menggunakan sistem PPN/VAT tersebut.
ADVERTISEMENT
Selain PPN, bentuk pajak tidak langsung (indirect tax) lainnya adalah Pajak Penjualan (sales tax). Amerika Serikat (AS) adalah salah satu dari sedikit negara yang tidak mengenakan VAT atau PPN. Sebagai gantinya, AS menggunakan pajak penjualan negara bagian sebagai metode perpajakan mereka. Meskipun VAT dan Sales Tax keduanya merupakan pajak tidak langsung, terdapat perbedaan dalam mekanisme serta sistem pemungutannya

PPN Vs Pajak Penjualan : Mekanisme

Pajak Penjualan dikenakan satu kali pada saat pembelian, dimana konsumen akhir membayar pajak kepada pengecer, dan lalu pengecer menyetorkannya kepada pemerintah. Sistem Pajak Penjualan (sales tax) memperkenalkan sebuah istilah penting berupa sales tax nexus, TaxJar (2021) menjelaskan bahwa nexus merupakan sebuah kontrak yang diperlukan antara pembayar pajak, yaitu bisnis atau aktivitas ritel dengan negara bagian, dimana mewajibkan penjual untuk mendaftar, lalu memungut dan mengirimkan pajak penjualan di negara bagian tersebut.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, PPN atau dalam hal ini VAT dikenakan atas transaksi penyerahan, dan diserahkan oleh PKP (taxable person) sebagai bagian dalam rangka menjalankan kegiatan usaha (Pato et al, 2014). VAT dikenakan pada setiap titik penjualan di mana nilai telah ditambahkan, sehingga menimbulkan rantai penambahan nilai dari suatu barang yang diperjualbelikan. Untuk memahami konsep VAT, diperlukan pemahaman terkait Pajak Masukan dan Pajak Keluaran, dimana pajak masukan adalah pajak yang dibayar saat membeli bahan untuk produksi, serta pajak keluaran adalah pajak yang dikenakan kepada pelanggan yang membeli output produksi.
Seorang produsen pintu di Indonesia membeli material kayu senilai 5 juta rupiah dan dikenakan biaya PPN sebesar 12% (600 ribu rupiah). Produsen tersebut menjual sepeda kepada usaha ritel senilai 7 juta rupiah dengan PPN senilai 12% (840 ribu rupiah). Dengan demikian, pajak keluaran produsen pintu adalah 840 ribu rupiah dan pajak masukan senilai 600 ribu rupiah, sehingga produsen akan membayar selisih sebesar 240 ribu rupiah kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di lokasi usaha.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, pajak penjualan (sales tax) dikenakan ketika tahapan antara ritel dan konsumen. Misalnya, seorang pengecer sepatu di San Diego, California menjual sepeda senilai 100 USD, pengecer ini nantinya akan mengenakan tarif pajak penjualan berdasarkan lokasi pelanggannya, misalnya konsumen di Napa, California, dikenakan tarif sebesar 7,75%, dalam hal ini konsumen dikenakan biaya sebesar 107,75 USD, sehingga nantinya pengecer akan menyetorkan pajak penjualan 7,75 USD kepada pemerintah California (Zonos, 2025).

PPN Vs Pajak Penjualan: Intrinsik

VAT dan sales tax meskipun berada dalam ranah pajak yang sama menurut OECD, keduanya menawarkan kelebihan dan kekurangan yang menjadi landasan temporal penerapan PPN di Indonesia. PPN diterapkan di Indonesia pada awal tahun 1980-an, ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 setelah sebelumnya menggunakan sistem Pajak Penjualan (PPn) pada tahun 1951.
ADVERTISEMENT
Gagasan dasar terkait PPN diperkenalkan oleh Thomas S. Adams pada tahun 1921 di Amerika Serikat. Konsep ini hadir sebagai cara untuk mengurangi pajak atas penjualan dengan pajak yang sebelumnya telah dibayarkan atas pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi efek mengalir (cascading effect).
Robert F. van Brederode dalam Systems of General Taxation: Theory, Policy, and Practice menjelaskan bahwa cascading effect muncul sebagai bentuk distorsi dari penerapan Pajak Penjualan (PPn). Hal ini merujuk pada sistem pemungutan ketika pajak dikenakan pada tahap kegiatan sebelumnya ditambahkan lagi sebagai dasar pengenaan pajak (DPP) untuk tahap berikutnya, hal ini yang menyebabkan terjadinya cascading effect (DDTC, 2018).
ADVERTISEMENT
Mempertimbangkan hal tersebut, pengenaan pajak masukan dan pajak keluaran sebagai bagian dari VAT/PPN mulai banyak diterapkan di negara-negara Eropa pada tahun 1960-an dan 1970-an, diikuti negara berkembang pada tahun 1980-an. Puncaknya, menurut OECD per tanggal 1 Januari 2016, terdapat 167 negara di dunia yang telah menerapkan PPN sebagai bentuk pajak atas konsumsi (DDTC, 2018). Fakta ini menunjukkan, bahwa penerapan PPN di Indonesia serta perkembangannya, ditujukan sebagai bentuk perbaikan atas sumber penerimaan utama negara.
---
(Tulisan ini ditulis berdasarkan opini serta riset pribadi penulis)