Konten dari Pengguna

Studi Komparasi: Melihat Implementasi Pencalonan Presiden Independen di Mesir

Muhammad Rifqi Perdana
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
2 Februari 2023 20:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Rifqi Perdana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi implementasi pencalonan presiden secara independen di Mesir. Sumber: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi implementasi pencalonan presiden secara independen di Mesir. Sumber: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Negara-negara demokrasi di dunia dicirikan dengan dilaksanakannya pemilihan umum. Penyelenggaraan amanat demokrasi tersebut pun memiliki keberagaman tersendiri bagi tiap-tiap negara. Pemilihan umum pada dasarnya merupakan aktualisasi dari kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpin yang akan merepresentasikan dan mewujudkan aspirasinya. Dalam konteks pilpres, setiap negara di dunia memiliki berbagai cara yang berbeda-beda dalam memilih kepala negaranya.
ADVERTISEMENT
Terkait dengan perbandingan pemilihan presiden Indonesia dengan negara lain, Mesir dijadikan sebagai parameter komparasi karena terdapat kesamaan latar belakang sejarah perpolitikan di antara keduanya. Indonesia dan Mesir adalah negara demokrasi yang menempatkan masyarakat untuk turut andil dalam jalannya pemerintahan.
Partisipasi rakyat secara langsung dalam pemilihan presiden di kedua negara ini tidak terjadi begitu saja melainkan latar belakang historis yang dikarenakan represifitas rezim pemerintah yang berkuasa lama sehingga munculnya gerakan yang menginginkan perubahan menuju ke arah demokrasi yang sesungguhnya termasuk dalam pembaruan cara pemilihan presiden. Pemilihan presiden Indonesia dan Mesir akhirnya melibatkan masyarakat secara langsung, tetapi kedua negara ini memiliki ketentuannya masing-masing dalam melaksanakan pemilihan presiden tersebut.
Ilustrasi implementasi pencalonan presiden secara independen di Mesir. Sumber: Shutterstock
Untuk memahami lebih lanjut mengenai negara yang dijadikan acuan perbandingan, maka perlu dipahami mengenai konteks sejarah demokrasi yang terjadi di Mesir. Mesir pernah mengalami pemerintahan rezim otoriter yang berkuasa lama, yakni di bawah kepemimpinan Presiden Husni Mubarak. Dalam kepemimpinannya, Husni Mubarak membawa sistem multipartai dan multikandidat dalam perpolitikan Mesir serta mengakomodir munculnya calon independen dalam pilpres. Penggambaran demokrasi elektoral Mubarak ini merupakan tampilan dari otoritarianisme di era demokratisasi.
ADVERTISEMENT
Dalam artian, di tengah tuntutan rakyat serta tekanan internasional yang sangat besar agar negara ini semakin dekat dengan demokrasi, rezim otoriter di Mesir menggunakan sistem pemilu sebagai tameng dalam sistem negara yang mengedepankan proses konsolidasi demokrasi, meskipun kenyataannya sangat berbeda. Dalam kasus ini, partai yang berkuasa yakni NDP mempertahankan hegemoninya di sebagian besar pemilihan parlemen Mesir.
Peristiwa Arab Spring yang membuka pintu bagi demokrasi dan kedaulatan rakyat di Timur Tengah juga membawa dampak terhadap iklim politik negara Mesir. Sumber: Shutterstock
Dari trauma masa otoriter tersebut, terjadilah peristiwa Arab Spring yang membawa angin perubahan ke negeri-negeri di Timur Tengah, tak terkecuali Mesir. Mundurnya Husni Mubarak dari kursi kepresidenan membuka lembaran baru dalam demokrasi Mesir yang menjadikan Mohamed El-Mursi sebagai presiden kelima sekaligus presiden pertama Mesir yang dipilih melalui pemilu yang demokratis. Terkait calon presiden independen, pada Pemilu Presiden tahun 2012, terdapat 8 dari 13 kandidat yang berasal dari jalur independen. Calon independen terkuat ialah Ahmed Shafik yang sempat bersaing dengan Mohamed El-Mursi yang berasal dari Freedom and Justice Party hingga ke second round.
ADVERTISEMENT
Hal ini berubah pada tahun 2014, di mana calon presiden independen bernama Abdel Fattah al-Sisi—perwira militer Mesir yang menjadi pemimpin de facto Mesir pada Juli 2013, setelah militer negara itu mencopot Presiden Mohamed El-Mursi dari kekuasaan menyusul protes massa terhadap pemerintahannya—memenangkan kontes pilpres dengan kemenangan mutlak sebesar 96,1% dari pesaingnya Hamdeen Sabahi yang hanya memperoleh 3,09%. Kemenangan mutlak tersebut berulang kembali pada pilpres 2018. Fakta ini menunjukkan bahwa kandidat calon presiden yang diusung oleh partai politik tidak selalu memiliki elektabilitas tinggi dan justru calon independen menjadi preferensi yang lebih diunggulkan oleh rakyat.
Ketentuan pemilihan presiden terkait syarat pencalonan presiden, Mesir memperbolehkan kandidat mencalonkan diri dengan jalur independen, di mana hal ini ditegaskan dalam Article 87 Clause 1 Konstitusi Mesir secara eksplisit menegaskan hak pilih warga negaranya tidak hanya berupa hak memilih, tetapi juga hak untuk dipilih. Selengkapnya bunyi pasal a quo sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Dengan diaturnya mekanisme-mekanisme pencalonan yang dicantumkan dalam konstitusi, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Mesir mengatur perihal syarat umum pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, serta tidak pula mengatur dengan menyebut partai politik atau independen dalam pencalonan. Meski terdapat syarat khusus yang diatur dalam konstitusi, tetapi tidak mengeliminasi hak politik setiap warganya untuk dipilih dan memilih.
ADVERTISEMENT
Selain itu, terkait peran partai politik, partai politik Mesir dapat melakukan pencalonan kandidat presiden, tetapi hanya lewat keterwakilan anggota-anggotanya di Maglis al-Nowwab (Dewan Perwakilan Rakyat). Hal ini menunjukkan bahwa partai politik dipandang sebagai kendaraan berpolitik bagi rakyat yang ingin mencalonkan dirinya dalam pemilu, tetapi tidak ditempatkan sebagai elemen paling esensial dalam penyelenggaraan demokrasi negeri tersebut.