Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Swasembada Pangan dan Era Perang Dagang: Jalan Menuju Kemandirian Nasional
11 April 2025 21:59 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Seputar Pertanian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Ketegangan perdagangan global yang dipicu oleh kebijakan proteksionis Amerika Serikat, seperti pengenaan tarif impor sebesar 32% terhadap produk Indonesia, menjadi peringatan bagi banyak negara untuk memperkuat ketahanan pangan domestik. Indonesia, dengan populasi lebih dari 280 juta jiwa, tidak dapat terus bergantung pada pasar global yang fluktuatif. Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya untuk mencapai swasembada pangan dalam 4-5 tahun ke depan sebagai fondasi kedaulatan nasional. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa impor beras Indonesia pada tahun 2024 mencapai 4,52 juta ton, meningkat sekitar 47,38% dibandingkan tahun sebelumnya .
ADVERTISEMENT
Di tengah perang dagang, Indonesia melihat momentum untuk membangun sistem pangan mandiri. Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, optimistis bahwa pada tahun 2025, Indonesia tidak lagi mengimpor beras, gula, jagung pakan ternak, dan garam konsumsi. Stok beras nasional diproyeksikan mencapai 32 juta ton, melebihi kebutuhan domestik sekitar 31 juta ton. Ini bukan sekadar target produksi, melainkan strategi politik untuk memastikan stabilitas sosial dan ekonomi.
Kemandirian sebagai Kekuatan Politik
Swasembada pangan merupakan manifestasi dari semangat "Indonesia First" di tengah retorika "America First". Ketika Amerika Serikat dan Uni Eropa memberlakukan tarif tinggi, Indonesia harus memastikan rakyatnya tidak kelaparan akibat gejolak pasar global. Menteri Zulkifli Hasan menekankan bahwa kemandirian pangan adalah fondasi stabilitas nasional: "Tanpa pangan yang cukup, negara tak bisa menjamin keberlangsungan hidup warganya."
ADVERTISEMENT
Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp139,4 triliun pada tahun 2025 untuk memperkuat infrastruktur pertanian, teknologi, dan pemberdayaan petani. Anggaran ini mencakup pembangunan irigasi premium di 12 provinsi, seperti Bendungan Karian di Banten dan Leuwikeris di Jawa Barat, yang menargetkan penambahan luas tanam sebesar 1,3 juta hektare melalui ekstensifikasi. Kolaborasi antara Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Pertanian juga difokuskan pada optimalisasi penggunaan air untuk memungkinkan tiga kali tanam per tahun, yang menjadi kunci dalam meningkatkan produktivitas hingga 10 ton gabah per hektare.
Memperkuat Petani Lokal: Dari Subsidi hingga Teknologi
Petani merupakan ujung tombak swasembada, namun sekitar 55% dari mereka berusia di atas 55 tahun dengan tingkat adaptasi teknologi yang rendah. Pemerintah merespons dengan program regenerasi petani milenial, melibatkan 23.000 anak muda dalam klaster pertanian modern yang berbasis pada penggunaan drone, combine harvester, dan sistem irigasi hemat air. Subsidi pupuk dan benih unggul juga diperbaiki—distribusinya dipercepat untuk memastikan petani tidak terlambat dalam masa tanam.
ADVERTISEMENT
Di Papua, sebagai respons terhadap tarif Amerika Serikat, fokus diberikan pada swasembada telur ayam dan penguatan sektor pertanian lokal. Gubernur Ramses Limbong menyoroti perlunya mengurangi ketergantungan pada pasokan dari Jawa: "Kebutuhan telur ayam lokal masih didatangkan dari Jawa—ini harus diubah."
Diversifikasi Pangan: Melampaui Beras
Ketergantungan pada beras sebagai makanan pokok membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi pasokan dan harga. Diversifikasi ke komoditas lain seperti jagung, singkong, sagu, dan sorgum dapat memperluas basis ketahanan pangan. Program food estate seluas 4 juta hektare pada tahun 2029 diarahkan untuk lima komoditas strategis: padi, jagung, singkong, kedelai, dan tebu. Sebagai contoh, produksi jagung untuk pakan ternak diproyeksikan mencapai 16,6 juta ton pada tahun 2025, dengan surplus sebesar 3,6 juta ton dari kebutuhan domestik.
ADVERTISEMENT
Diversifikasi juga mengakselerasi hilirisasi, seperti konversi kelapa sawit menjadi biodiesel untuk mengurangi impor energi. Pendekatan ini tidak hanya memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga membuka peluang ekspor—terutama di tengah permintaan global yang meningkat.
Ambisi swasembada tidak lepas dari tantangan: alih fungsi lahan pertanian yang mencapai 100.000–110.000 hektare per tahun, perubahan iklim seperti El Niño yang pada tahun 2024 menurunkan produksi beras sebesar 0,76 juta ton, serta infrastruktur irigasi yang rusak sekitar 30%, menghambat distribusi air. Untuk itu, pemerintah mengadopsi green bonds dan skema kemitraan publik-swasta (PPP) untuk membiayai proyek berkelanjutan. Cold storage dan teknologi airbrush freezer juga dikembangkan untuk memperpanjang usia simpan pangan.
Swasembada Bukan Pilihan, Tapi Keniscayaan
Di era perang dagang, swasembada pangan adalah tameng dari krisis global. Indonesia telah membuktikan kemampuan swasembada beras pada tahun 1984, dan kini momentum itu dihidupkan kembali. Dengan kolaborasi antar-kementerian, dukungan teknologi, dan pemberdayaan petani, target tahun 2025 bukanlah ilusi.
ADVERTISEMENT
Seperti kata Menteri Zulkifli Hasan: "Ini bukan hanya soal swasembada, tapi kemandirian bangsa." Jika dunia menutup pintu, Indonesia harus membuka lumbungnya sendiri.