Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Stres Itu Baik, Tapi Kita Terlanjur Panik
24 November 2019 21:50 WIB
Tulisan dari Pertiwi Yuliana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Kamu belum ada tanda-tanda mau punya dedek bayi?”
Kalimat tanya tersebut sudah berulang kali rasanya kudengar dari mulut mama. “Itu Anik udah mau ngelahirin, lho. Kan nikahnya gak beda jauh,” lanjutnya kemudian.
ADVERTISEMENT
“Ya biarin aja, sih. Itu urusannya dia, gak usah ikut campur,” jawabku ketus.
“Ya, kan, mama pengin punya cucu dari kamu,” dalihnya.
Aku tidak ingin melanjutkan perdebatan tersebut, karena rasanya akan percuma saja. Sebab, pandangan kami soal ini memang berbeda. Mama ingin “sekadar” ingin memiliki cucu saja. Sementara aku mempertimbangkan lebih dari sekadar ada, melainkan juga bermakna.
Memiliki seorang anak bukan sesuatu yang enteng menurutku. Ada kompleksitas yang harus bisa diurai dan dituntaskan satu per satu ketika mengurus, merawat, dan mendidiknya. Aku tidak ingin merawat anak hanya berupa memberinya makan dan menyuruhnya mandi. Aku tidak ingin memiliki anak hanya untuk disuruh melakukan ini dan itu. Aku ingin memiliki anak yang mampu mengaktualisasi dirinya hingga dirinya bangga menjadi dirinya. Untuk mencapai itu, perlu persiapan di berbagai lini yang tak sesederhana “sekadar”.
ADVERTISEMENT
“Anak yang lahir dari orangtua yang sebenarnya tidak menginginkannya akan membuat anak itu tumbuh dengan rasa tidak percaya diri, merasa jadi beban, dan dibayang-bayangi rasa cemas dalam hidupnya. Bahkan hingga ia dewasa.”
Kata-kata itu menusuk tepat di dadaku. Seolah tahu betul apa yang ada di benakku, seorang psikolog yang kutemui waktu itu berkali-kali membuatku tertegun. Eits, aku tidak sedang konsultasi psikologis, kok. Pertemuanku dengan psikolog yang familiar disapa Ko William itu terjadi ketika aku berkesempatan hadir dalam acara Moms Gathering bersama Prenagen.
Dalam acara ini, aku mendapat banyak sekali informasi soal persiapan kehamilan. Mulai dari kebutuhan asupan nutrisi hingga hal-hal psikologis yang menyertainya. Kalau bicara soal nutrisi kurasa sudah cukup banyak digaungkan. Intinya, kita harus tekun makan-makanan yang bergizi dengan komposisi yang seimbang. Tapi, sesi psikologi sangat menarik perhatianku seolah melegakan dahagaku dari kekeringan informasi soal sisi psikologis bagi perempuan yang tengah mempersiapkan kehamilan.
ADVERTISEMENT
Setres itu Baik!
Selama ini sering beredar anjuran yang berbunyi, “Jangan setres. Hindari setres. Awas setres.” Seolah-olah setres itu jahat. Sementara itu, menurut Ko William, setres itu sebenarnya baik. Mengapa?
Ketika kita setres, kita pasti sedang memikirkan hal-hal yang penting dalam hidup kita. Hal penting itu menunjukkan bahwa hidup yang kita jalani di dunia ini memiliki makna. Jadi ketika suatu saat masalah pada hal penting itu teratasi, maka kita akan bertemu dengan arti dari hidup ini.
Maka dari itu, jika kita tidak boleh setres maka kesempatan untuk memaknai hidup ini akan berkurang. Nah, masalahnya adalah bagaimana kita mengelola setres itu? Menurut Ko William, ada du acara yang bisa kita lakukan.
ADVERTISEMENT
Pertama, menurunkan kadar emosi (emotion based) ketika setres. Misalnya dengan berbelanja, jalan-jalan, nonton film, atau hal lainnya sesuai dengan apa yang kita sukai. Hal ini membuat perasaan kita jadi lebih lega sehingga kita bisa mengatasi masalah dengan lebih tenang.
Walau begitu, emotion based ini hanya bersifat jangka pendek saja. Bahkan bisa jadi malah membuat masalah baru jangka panjang. Oleh karena itu, kita harus melakukan tahap yang kedua, yaitu problem based. Pada tahap ini kita harus berupaya memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Kedua langkah ini harus dilakukan beriringan. Jika hanya fokus pada emotion based nanti masalah tidak akan selesai-selesai. Dan jika hanya fokus pada problem based nanti emosi kita bisa meledak lama-lama.
ADVERTISEMENT
Terlebih lagi ketika memasuki fase pernikahan. Penyebab setres itu bisa datang dari mana saja. Bisa dari pertanyaan orangtua seperti yang aku singgung di awal. Dan bisa juga dari diri sendiri seperti merasa kurang ini dan itu. Namun, setelah hal-hal itu terlewati ternyata bisa mencetak kenangan yang berarti. Kita juga bisa melihat bagaimana diri kita berjuang saat itu dan kenangan itu bisa meningkatkan rasa percaya diri.
Mengelola setres ini penting, sebab kita adalah kumpulan dari pikiran dan jasmani. Jika pikirannya sakit, maka jasmaninya bisa ikut sakit. Jika jasmani sakit, pikiran pun juga bisa ikut sakit. Maka agar kita tetap sehat, kita perlu memperhatikan keseimbangan kesehatan pikiran dan jasmani.
Jadi, apakah bisa kita mulai untuk sama-sama menjaga suasana bersosial yang sehat agar pikiran kita sama-sama sehat? Paling tidak dengan menyadari konsekuensi dari apa yang akan keluar dari mulut kita.
ADVERTISEMENT