Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Konten dari Pengguna
TGB SANG MODERAT, HADIAH UNTUK JOKOWI DAN PRABOWO
6 Februari 2018 9:18 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
Tulisan dari Pesantren Bina Insan Mulia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ada banyak partai politik yang tak pernah jelas apa bedanya dengan partai lain, tak pernah jelas apa program dan ideologinya, juga apa garis pembeda perjuangannya? Selain hanya bicara hal yang sama dan serentak: terwujudnya keadilan dan kesejahtraan. Dua kalimat yang mudah diucapkan oleh bibir dan enak didengar oleh telinga, tetapi dalam praktenya, selalu masygul dan tak pernah jelas. Belum lagi kita bicara soal puluhan nama calon Kepala Daerah, yang gambarnya dipasang bersamaan dengan logo Partai dan jor-joran dipajang sepanjang trotoar dan jalan, dengan hasil yang sama sekali jauh dari standart estetika. Soal ini, mungkin lebih baik kita berhenti mencibir. Karena hal itu sudah menjadi lumrah pada tahun-tahun politik; termasuk Pilkada 2018 dan sebentar lagi, Pemilu 2019.
ADVERTISEMENT
Tahun 2019 yang akan datang ini, agaknya bisa menghibur para pemerhati politik yang prihatin. Lalu adakah yang harus kita katakan tentang Pemilu 2019? Ada dan itu mungkin satu hal: Saatnya yang muda memimpin! Yang bicara ini adalah LSI, Lingkaran Survey Indonesia yang dimpimpin Denny JA, Phd. Dalam press rilisnya Minggu (28/1/08) kemarin, tokoh muda asal Lombok, Dr. KH. M. Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi menempati urutan atas sebagai Calon pemimpin masa depan yang paling disukai masyarakat, dengan perolehan angka 74 % mengungguli tokoh muda lainnya: Muhaimin Iskandar dengan 61,2% dan Romahurmuziy 50,4 %. Itu artinya TGB yang saat ini masih menjabat sebagai Gubernur NTB berpeluang maju ke level atas.
ADVERTISEMENT
Data LSI ini, tentu tidak mengada, karena TGB selain dikenal sebagai Gubernur yang banyak prestasi,--dan untuk ini Presiden kita; Jokowi sering memujinya, --terutama dalam acara rapat terbatas yang diikuti oleh seluruh Gubernur di Indonesia. Tentu, juga karena pembawaannya yang santun, rendah hati, sederhana tetapi bersahaja. Sesuatu yang jarang dimiliki orang. Kelebihan lainnya, terkadang ia mirip Gus Dur. Dalam saatnya yang paling serius dan menggugah, TGB justru mengeluarkan jok-jok segarnya untuk merangkul, sekaligus menghibur. "Di zaman otoriter dulu, tidak ada orang yang percaya berita koran," ujarnya mengenai Mesir di depan peserta puncak peringatan Hari Pers Nasional itu. "Satu-satunya berita yang masih bisa dipercaya hanyalah berita yang dimuat di halaman 10. Di halaman itu dimuat Iklan Dukacita." Gerrr...!!! Semua hadirin tertawa termasuk Presiden Jokowi, tepuk tangan pun membahana.
ADVERTISEMENT
Demikian kesaksian dan tulis Dahlan Iskan, yang turut serta dalam acara itu. Inilah strategi ampuh TGB melawan kebekuan, yaitu dengan canda dan tawa. Dan, humor sangat penting di sana. Dengan humor, sebuah parodi bisa terhindar dari sikap benci. Dengan homor sesuatu yang awalnya tegang, dan mungkin saling sikut, bisa langsung menciut dan mencair. Karena humor mengandung sesuatu yang memikat dengan cara halus, tajam, tetapi meriah, sama rata sama rasa, melibatkan emosi semua orang, tak ada garis pemisah antara khalayak dan Sang Pemimpin; pemain dan penonton semua kontruktif-produktif. Setidaknya demikian yang dikemukakan oleh psikolog kenamaan Simon Crithley dalam bukunya Infinitely Demanding.
Kelebihan lain adalah cara pandangnya yang tawasuth (moderat). Dalam sebuah momen, TGB menyampaikan bahwa seorang muslim itu dalam dirinya harus “moderat-transformatif". Bagi TGB, moderat bukan berarti tidak memiliki prinsip, sebagaimana tuduhan banyak orang, namun justru moderat itulah sebuah prinsip, yaitu dengan mau menerima ide-ide yang konstruktif, terbuka dengan kritik, menyelesaikan konflik dengan jalan damai dan bukan kekerasan, serta menganggap bahwa dialog, musyawarah dan diplomasi adalah langkah yang terbaik bagi sebuah domokrasi. Transformatif artinya berkomitmen menyelenggarakan good governance dalam rangka melayani ummat dengan baik dan merumuskan, serta melaksanakan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat.
ADVERTISEMENT
“Salah besar kalau ummat Islam hanya shalih untuk dirinya dan kelompoknya sendiri, namun tidak bagi sekelilingnya dan masyarakat luas yang plural.” Sering, TGB menyampaikan hal ini, bahwa Muslim itu seharusnya mampu berdaya guna sekaligus berdaya saing. Itulah konsekuensi dari hakikat atribut khoiru ummah yang tawasuth dan disandang ummat Islam. Karena sikapnya yang tawasuth ini pula, saat ia dijebak pertanyaan oleh salah satu peserta sarasehan di Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon, 1/1/08, "Jika ia harus memilih menjadi Cawapes. Akan memilih menjadi pendamping siapa? Jokowi atau Prabowo?" Ujar si penanya, lalu ia melanjutkan, "Kita tahu, keduanya adalah Imam. Jokowi Imam shalat Dhuhur di Afghanistan dan Prabowo Imam 212?" Dengan caranya yang khas ia justru menjawab, akan memilih KH. Imam Jazuli, yaitu Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon. Lalu Gerrr...! Baginya, memilih yang hadir itu akan lebih baik ketimbang yang masih ghaib.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, bagi Simon Crithley, humor politik tidak bisa dianggap parodi, atau dagelan semata, tapi lebih dari itu adalah sebuah langkah diplomatik yang tersembunyi. Kenapa itu bisa terjadi? Tentu, yang pertama adalah, karena karakter TGB yang moderat. Ia tak mau terjebak pada dua kubu besar; Jokowi atau Prabowo. Karena saat ia memihak, ia akan seperti kartu mati. Kedua, Persepi publik tentu jadi pangkalnya. Karena selama ini, publik sering berfantasi bahwa TGB, kelak akan menjadi pendamping Prabowo, karena beliau dianggap ada kedekatan dengan tokoh tokoh dibalik 212, maka melalui parodi di atas, TGB ingin meyakinkan orang bahwa tidak demikian. Ketiga, tak dapat diabaikan: bahwa Jokowi masih berpeluang besar untuk dua periode, dengan suasana optimisme yang melonjak-lonjak, setidaknya bagi PDIP.
ADVERTISEMENT
Ketika keadaan kekuasaan bisa mencair di tangan Jokowi, dan orang mau percaya, bahwa apa yang dilakukannya sekarang; dengan pembangunan infrastruktur yang membabi-buta, kelak akan berbuah manis. Maka TGB juga membuka ruang bagi kubu Jokowi. “Bapak Presiden Jokowi menjadi contoh bagi kita dalam merawat silaturahmi, beliau membuka diri dengan rakyat dan selalu membaur,” ujarnya saat kunjungan pertama Presiden ke Lombok. Lalu kepada Prabowo. “Pesan saya, calon gubernur NTB nanti belajarlah dari Bapak Prabowo, tunjukkan kebesaran hati anda, tempatkan kepentingan golongan di atas kepentingan pribadi,” tandasnya. TGB menyerap energi positif dari kedua tokoh ini. Maka, di situlah TGB, sang Moderat, reformis-islamis dan peraih Doktor dari Al-Azhar itu, membangun tiga lapis jalan dengan sempurna. Wallahu’alam bishawab.
ADVERTISEMENT
Yogyakarta, 6 Januari 2018
Oleh Aguk Irawan MN*
*Penulis Doktor UIN Sunan Kalijaga, Novelis, Budayawan dan Alumni Universitas Al-Azhar Mesir.