Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Cerita Layanan Dana Gaib, Aksi Pesugihan yang Terbongkar di Awal Ramadhan
19 Mei 2020 19:42 WIB
Tulisan dari Pesugihan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ruangan dalam rumah itu tertata dengan rapi. Dindingnya, yang mayoritas dicat putih keemasan, penuh dengan ukiran kalimat-kalimat bahasa Arab. Di setiap ruangan dalam rumah itu, foto-foto Wali Songo dipasang dengan rapi dan tampak dibersihkan setiap hari.
ADVERTISEMENT
Seorang lelaki tua berjenggot tebal duduk di ruangan tengah rumah itu. Di sekelilingnya, duduk sekitar dua puluh orang yang lain—lelaki tua itu duduk di tengah-tengah. Dalam banyak helaan napas yang panjang, orang-orang itu terdengar sedang membaca ayat-ayat suci, namun lebih tampak seperti mengucapkan sekumpulan mantra. Mereka menunduk dan menggeleng-gelengkan kepala mereka. Meskipun duduk dan sesekali membuka mata, mereka seperti tak sadarkan diri.
Adalah Mbah Jagad lelaki tua berjenggot tebal itu. Setiap malam kliwon, ia memang mengumpulkan banyak orang yang, ia menyebutnya, “murid-muridnya”. Mereka mayoritas terdiri dari sepasang suami istri yang gelisah, lelaki paruh baya yang miskin, hingga pemuda yang terlalu bergairah pada kekayaan.
Setiap malam kliwon, orang-orang itu datang berbondong-bondong ke rumah Mbah Jagad. Saban datang, mereka dipersyaratkan membawa sesuatu. Ada yang membawa uang secukupnya, ada yang membawa sembako, atau kalau sedang benar-benar tak ada rejeki, mereka membuatkan makanan bagi Mbah Jagad, memasak untuknya. Kalau pakai istilah mereka, ta’dhim kepada guru.
ADVERTISEMENT
*
Mbah Jagad memang dikenal sebagai orang yang kerap didatangi orang-orang miskin. Mendatangi rumah dan mendengarkan pengajiannya, konon, membuat orang bebas dari banyak kesulitan atau biasa disebut pesugihan . Uniknya, lelaki tua itu memang tak pernah meminta banyak. Ia hanya meminta supaya para murid memperlakukannya dengan baik dan “tak perlu berlebih-lebihan jika hendak memberinya sesuatu”.
Murid-murid Mbah Jagad menuruti kata itu. Mereka datang dan menuruti segala ketentuan gurunya dengan patuh. Mendatangi rumah itu setiap malam kliwon ialah tirakat bagi mereka. Setelah berpuluh purnama yakni tepatnya dua bulan terlampaui, mereka dijamin bebas dari hutang-hutang, memperoleh pekerjaan, atau mendapatkan tumpukan kertas rupiah tiba-tiba di depan mata.
Telah sejak lama, Mbah Jagad menamai rumahnya—yang bentuknya seperti padepokan—sebagai “Layanan Dana Gaib”. Tetangga-tetangganya tahu profesinya. Namun, mereka berkelit. Orang-orang desa cenderung tak mau menganggapi sesuatu yang sensitif. Di sisi lain, mereka terlalu gemar memperlakukan orang dengan sopan dan cenderung selalu berprasangka baik. Alhasil, mereka pikir bahwa segala yang dilakukan Mbah Jagad memanglah benar untuk membantu orang-orang kesusahan.
ADVERTISEMENT
*
Suatu malam di bulan Ramadhan , jatuhlah malam Jumat kliwon. Momen itu datang di awal-awal bulan Ramadhan. Banyak orang sedang dalam semangat tertinggi untuk pergi ke masjid, bertirakat, juga menegakkan solat malam. Kampung tempat Mbah Jagad tinggal menjadi pasar yang bergairah di sore hari. Namun di malam hari, semuanya menjadi sunyi. Orang-orang, kalau tak berdiam diri dan berdzikir di masjid, juga menegakkan puluhan rekaat tarawih di rumah masing-masing. Hal itu tak terkecuali juga dilakukan murid-murid Mbah Jagad. Singkatnya, pada kesempatan malam kliwon yang jatuh di awal Ramadhan itu, mereka tak datang ke rumah Mbah Jagad.
Namun, ada seorang lelaki muda yang datang dari kampung lain. Sebut saja namanya Gus Bima. Karena terbiasa dakwah secara keliling, setiap selesai tarawih di masjid kampung atau di rumahnya sendiri, ia berjalan-jalan di sekitar kampung, menyapa orang-orang.
Singkat kata, ia lewat di depan rumah Mbah Jagad. Awalnya, ia hendak menyapa Mbah Jagad termasuk murid-muridnya yang bisa berkumpul setiap malam kliwon. Namun, di sana, ia tak menemui siapa-siapa. Di rumah itu, yang ia dapati tak lain hanyalah keheningan.
ADVERTISEMENT
Lalu Gus Bima memberanikan diri masuk. Ia melangkahkan kakinya dengan hati-hati, berangsur-angsur, supaya tak mengeluarkan suara. Sesampainya di dalam rumah, ia kaget bukan kepalang.
Di sana, ia dapati ukiran kalimat-kalimat suci telah diturunkan dari dinding. Tampaknya, barang-barang itu diturunkan secara terpaksa. Foto dan figura Wali Songo yang seharusnya ada di setiap kamar di rumah Mbah Jagad, didapati Gus Bima berada di ruang tengah, dengan keadaan kaca yang pecah tak keruan. Mereka tampak seperti habis dibanting dengan membabi-buta.
Dari dalam sebuah kamar, lalu datang suara keras yang membentak ke arah Gus Bima, “Pergi kau dari rumahku!”
Mendengarnya, Gus Bima buru-buru melarikan diri. Ia menenangkan pikirannya sejenak, menghela napas, dan berpikir bahwa sebagai orang desa, ia—termasuk warga-warga lain—telah memperlakukan banyak orang terlalu sopan. Setelah melihat segala hal dengan mata kepalanya sendiri di rumah Mbah Jagad, ia yakin bahwa di malam itu, lelaki tua itu mengamuk dan marah tak karuan. Alasannya, tentu karena murid-murid Mbah Jagad tak mendatangi rumah itu.
ADVERTISEMENT
Di malam Kliwon pada bulan Ramadhan yang sunyi itu, Gus Bima hanya menatap langit. Ia tak menemui siapa-siapa. Sambil memejamkan mata, ia mendengar suara jangkrik, dan berdoa supaya Tuhan membantu warga-warga kampung yang kesusahan. Meminta bantuan manusia, yang notabene cuma makhluk, Gus Bima yakin, hanya membuat orang makin terpenjara kesusahan. Sementara lagipula, itu juga tak menjamin apapun.
Tulisan ini merupakan rekayasa dari kisah yang berkembang di masyarakat. Kesamaan nama dan tempat kejadian hanya kebetulan belaka.
****
Saksikan video menarik di bawah ini: