Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Cerita Pesugihan: Jiwa yang Terjebak di Lembaran Kain Kafan
19 April 2020 21:06 WIB
Tulisan dari Pesugihan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Siang itu Dirga seperti biasa duduk di teras rumahnya membaca koran dan sesekali memperhatikan orang yang jalan di depan rumah. Dari kejauhan terdengar samar-samar suara pengumuman kematian anak Pak Karto, ketua RT di kampungnya. Lantas ia meletakkan koran yang dipegang dan mulai menyadari jika hari ini bertepatan dengan hari yang sakral bagi Dirga yakni, malam jumat Kliwon.
ADVERTISEMENT
Warga sekitar termasuk sang istri sebenarnya tidak mengetahui jika untuk menjadi kaya seperti sekarang, memiliki rumah dengan lantai 3, mobil yang berjejer di garasi hingga toko yang tersebar di banyak kawasan bukan Dirga lakukan dengan kerja keras melainkan berawal dari sebuah pesugihan .
Siang itu bukan kesedihan atau iba yang dirasakan Dirga, melainkan ia sedikit senang karena bisa membawa kembali kain kafan sebagai jimatnya dalam mencapai kekayaaan. Sayangnya, yang baru saja ia dengar merupakan kematian anak kecil. Tak menunggu lama, lantas Dirga buru-buru datang ke rumah Mbah Dirman sang juru kunci yang menyarankan Dirga melakukan pesugihan tersebut.
“Mbah, di kampung saya baru saja ada yang meninggal. Tetapi anak kecil tidak seperti biasanya. Bisakah saya ambil kain kafannya?” tanyanya.
ADVERTISEMENT
Bukan menjawab pertanyaan Dirga si mbah malah khusyuk melantukan kata-kata yang terdengar seperti mantra itu.
“Kamu ambil saja kain kafannya seperti biasa, letakkan di lemari yang tidak terlihat orang lain, jaga kain tersebut agar tak berpindah tangan. Karena kalau kain tersebut tidak berada di tangan kamu maka risiko yang didapat akan sangat fatal,” ucapnya.
Malam itu sesuai permintaan dari Mbah Dirman ia menuju tempat pemakaman umum yang dekat dengan kampung, biasanya Dirga memilih untuk mengambil di tempat lain karena kalau sampai ketahuan di desanya dia bisa malu setengah mati. Apalagi Dirga dikenal sebagai orang yang dermawan dan tidak pelit untuk membantu warga yang kesulitan.
Tapi hari itu, karena kain kafan sebelumnya sudah digunakan Dirga mau tidak mau kali ini ia harus mendapatkan kain yang baru. Perlahan Dirga membuka gerbang pemakanan yang hanya dipagari oleh kayu tua dengan rambatan daun di sekeliling.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya hal seperti ini sudah sering ia lakukan, namun perasaan takut saat ingin beraksi tetap saja menghantui Dirga, bukan karena makhluk gaib atau kerabatnya . Melainkan ia takut aksinya tersebut diketahui oleh warga.
Dengan senter yang memancarkan warna kuning tersebut, ia terus mencari makam yang masih basah milik anak Pak RT.
“Wah itu dia” spontan Dirga berceletuk ketika melihat kuburan yang di atasnya tertutupi dengan bunga setaman yang terlihat masih segar. Dengan santainya Dirga membuka baju dan meletakkan senter yang ia bawa di samping kuburan anak tersebut. Sebagai persyaratan pesugihan, ia tidak bisa memongkar makam tersebut dengan alat, melainkan harus menggunakan kedua tangannya untuk menggali kuburan itu.
Setelah menemukan kayu yang menutupi jasad sang anak kecil buru-buru Dirga membuka kain kafannya memakai gigi, sebelumnya ia sempat melihat wajah anak Pak Karto yang begitu lugu, namun tidak ada yang bisa dilakukan Dirga karena ia telah dibutakan oleh hasutan setan untuk mendapatkan kekayaan secara instan.
ADVERTISEMENT
Dirga pun memasukkan lembaran kain tersebut ke kantong celananya dan membereskan kembali kuburan yang telah ia gali. Ia kemudian pulang dalam keadaan yang sedikit was-was karena tak ingin sang istri melihat Dirga dalam keadaan yang berantakan. Untungnya, sebelum menjalankan aksi Dirga sudah membuka kaca jendela kamar khusus di lantai bawah, jadi ia tak perlu untuk mengetuk pintu rumahnya.
Perlahan Dirga meletakkan kain kafan tersebut di lemari dan sisa tanah yang ia ambil dari kuburan diletakkan di sebuah guci besar berwarna biru. Biasanya keesokkan hari dalam guci tersebut akan dipenuhi dengan lembaran uang, dari mana datangnya? Dirga pun belum tahu sampai saat ini, namun yang ia percaya bahwa uang tersebut hadir karena ia telah selesai melakukan syarat pesugihan kain kafan.
ADVERTISEMENT
Besoknya Dirga pun pergi kembali ke rumah mbah Dirman untuk memberikan sedikit uangnya sebagai rasa terima kasih. Sayangnya ia lupa untuk mengunci pintu kamar tempat disimpannya kain kafan itu. Dirga pun bergegas untuk pulang takut-takut istri atau anaknya menyentuh kain kafan tersebut dan berakhir pada kesialan.
Baru saja ia belok di pertigaan perumahan, tiba-tiba sang istri menelepon jika Andi, sang anak jatuh dan tidak sadar diri di ruangan khusus milik Dirga. Sesampainya di rumah betul apa yang dikatakan istrinya, Andi tidak sadarkan diri namun masih bernapas seperti biasa. Dirga pun langusng bergegas melihat kondisi kamar khusus dan benar saja kain kafan tersebut menghilang dan sebagian uang yang ada di dalam guci juga ikut menghilang.
ADVERTISEMENT
Kondisi Andi hari demi hari tidak mengalami perubahan, ia masih saja tidak sadarkan diri namun bernapas normal seperti biasanya. Hingga Dirga menyadari saat mendengar kabar dari warga bahwa baru-baru ini, kampung mereka dibuat geger akan kehadiran pocong keliling yang mengetuk pintu rumah setiap malam untuk meminta tolong dikeluarkan dari kain kafan yang menjerat. Agaknya hal itu menjelaskan mengapa Andi sang anak tidak bangun hingga kini.
Tulisan ini merupakan reka ulang dari kisah yang berkembang di masyarakat. Kesamaan nama dan tempat kejadian hanya kebetulan belaka.