Ceritaku yang Tersesat saat Mendaki Gunung Pesugihan

Konten dari Pengguna
19 November 2020 19:05 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pesugihan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pendaki (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pendaki (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
“Ayo Ran, cepetan dong jalannya,” goda Eki sambil tertawa.
Lontaran-lontaran ejekan terus dilemparkan kepadaku. Sebagai pendaki pemula, aku paham betul kalau aku sebentar-sebentar akan berhenti. Ini memang sering terjadi kepada pendaki pemula. Kalau ejekan itu, mungkin aku saja yang kurang beruntung karena punya teman brengsek yang suka meledek.
ADVERTISEMENT
“Tungguin dong, capek nih,” kataku sambil memegangi lutut. Ini sudah separuh jalan menuju puncak. Tapi aku sudah seperti mau meluncur saja karena lututku seperti mau copot. Meski brengsek, teman-temanku sebenarnya hanya bercanda.
Mereka akan tetap menungguku setiap kali aku berhenti untuk mengistirahatkan lututku sejenak. Kali ini, mereka memutuskan untuk sekalian beristirahat karena ada yang ingin buang air kecil. Kalau sudah di gunung, buang air bisa di mana saja.
“Ki, cepetan kencingnya. Keburu petang nih. Kita setidaknya harus sampai sabana biar bisa bikin tenda,” teriak Kevin, ketua rombongan kami, kepada Eki yang tengah kencing di semak-semak. Sambil menunggu Eki, kami memutuskan untuk meminum air yang kami bawa.
Aneh sekali. Saat meminum air tersebut, aku merasa seperti sedang meminum air kencing. Sontak, aku menyemburkan air yang hampir memasuki tenggorokanku itu. “Loh, Ran, kenapa?” tanya Yuni, anggota rombongan yang lain.
ADVERTISEMENT
“Enggak papa,” balasku. Aku terpaksa berbohong karena tidak ada temanku yang merasa aneh saat meminumnya. Terlebih, aku nanti akan semakin diolok-olok lagi karena minum air kencing. Tak lama, Eki kembali ke rombongan. Kami lalu melanjutkan perjalanan.
---
Setelah hampir satu jam berjalan, kami akhirnya sampai di padang sabana. Tempat ini memang dijadikan langganan para pendaki untuk mendirikan tenda dan bermalam. Hal ini dilakukan agar saat mendaki puncak yang biasanya dilakukan pagi sekali, para pendaki tidak akan membawa beban berat.
Sesampainya di spot yang enak untuk mendirikan tenda, kami lalu membagi tugas. Ada yang menyiapkan tenda, ada yang mencari kayu bakar, dan menyiapkan api unggun. Karena aku tak bisa mendirikan tenda, akhirnya aku dan Eki mendapat tugas untuk mencari kayu bakar.
ADVERTISEMENT
Saat aku dan Eki mulai mendapat beberapa kayu, aku tiba-tiba mendengar suara aneh dari balik bebatuan besar yang ada di dekat tenda kami. Suara itu adalah alunan gamelan yang lembut, seperti sedang ada ritual yang butuh gamelan sebagai pengiringnya.
Ilustrasi gamelan (Foto: merdeka.com)
“Ki, kamu denger sesuatu gak?” tanyaku.
“Denger apaan Ran?” tanya Eki heran.
“Suara gamelan..” kataku lirih.
Aku melihat Eki sedikit membelalak. Sepertinya ia kaget dengan apa yang kukatakan.
“Ran, kita balik ke camp aja yuk. Ini udah banyak kok kayunya,” balas Eki setelah beberapa saat.
Oke sepertinya aku yang mulai aneh. Dari minum air kencing sampai mendengar suara gamelan, semuanya tak kusangka terjadi di sebuah gunung. Memang gunung ini sering diceritakan orang karena tempatnya yang angker. Tapi aku tak bisa percaya dengan hal begituan.
ADVERTISEMENT
Sesampainya di camp, aku lalu masuk ke tenda perempuan, sementara Eki masuk ke tenda laki-laki. Malam itu sangat dingin sekali. Aku dan teman-teman perempuanku saling berpelukan untuk menghangatkan badan.
“Eh, main TOD yuk,” kata Yuni.
“TOD apaan?” tanyaku bingung.
“Aduh Rani, masa TOD gak tau. TOD itu Truth or Dare. Jadi nanti kamu pilih antara dua itu. Terus kami akan menentukan hal yang harus kamu lakukan,” jelas Shela, anggota rombongan lainnya.
Agak malu, aku manggut-manggut saja mendengar penjelasan itu. Kemudian, saat sendok yang digunakan untuk menentukan target itu berputar, ujungnya ternyata berakhir mengarah kepadaku. Karena gengsi, dan ingin membuktikan kalau aku bukan anak cupu, aku memilih Dare.
“Sekarang, kamu keluar tenda dan kencing sendirian. Berani enggak?” tantang Yuni.
ADVERTISEMENT
“Berani dong,” balasku cepat. Aku lalu bergegas keluar tenda dan mencari tempat untuk kencing. Namun, saat itu juga, aku mendengar lagi alunan gamelan yang kudengar ketika mencari kayu bersama Eki. Karena penasaran, aku memutuskan untuk mencari sumber suara.
Ternyata suara tersebut berasal dari balik bebatuan besar dekat tenda rombongan kami. Di sana, ada seorang penari yang berlenggak lenggok di tengah lapangan. Sementara di belakangnya, ada sebuah rombongan pemain gamelan yang memainkan lagu untuk mengiringi penari tersebut.
Tiba-tiba, ada dua orang muncul dari belakang gamelan yang kemudian berjalan ke arahku. Dua orang itu membawa sebuah selendang yang ternyata dikalungkan di pundakku. Aku kemudian dituntun ke tengah untuk menari bersama penari itu.
ADVERTISEMENT
Tak kusangka, aku ternyata bisa menari layaknya seorang penari andal. Tubuhku terus bergoyang mengikuti alunan gamelan yang semakin menghanyutkan. Semakin lama, tubuhku menggerakkan gerakan tarian dengan cepat dan tak karuan.
Aku tak bisa mengontrol tubuhku. Aku berusaha menghentikan semua gerakannya tapi sia-sia. Tiba-tiba, kepalaku pening. Semua penglihatanku menjadi gelap. Terakhir, aku hanya mendengar tubuhku membentur tanah yang sedari tadi kupijak.
---
Aku terbangun di sebuah ruangan yang berbau obat-obatan. Tanganku diinfus dan aku terbaring di sebuah ranjang rumah sakit. Yuni terlihat sangat cemas di sampingku. Dia mengatakan kalau aku telah hilang selama satu minggu sejak dirinya menantangku kencing malam itu.
Para tim SAR yang mencariku ternyata menemukan diriku yang sedang linglung di sebuah hutan di gunung tersebut. Setelahnya, aku langsung dibawa ke rumah sakit.
ADVERTISEMENT
Karena curiga terjadi apa-apa, mereka lalu memanggil orang pintar untuk mengecek keadaanku. Katanya, aku telah lancang memasuki arena ritual pesugihan yang dilakukan oleh seseorang.
Orang pintar itu mengatakan kalau gunung tersebut memang kerap dijadikan tempat pesugihan. Untung saja, aku bisa selamat dari ritual itu karena biasanya, pendaki yang hilang tidak akan pernah kembali dari gunung tersebut.
Tulisan ini hanya rekayasa. Kesamaan nama dan tempat kejadian hanyalah kebetulan belaka.