Kisah Bakso Siluman Ular Gentayangan Bekas Korban Tumbal Pesugihan

Konten dari Pengguna
9 November 2020 18:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pesugihan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bakso gaib (Foto: Kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bakso gaib (Foto: Kumparan)
ADVERTISEMENT
"Mas, empat mangkuk, ya. Dua campur, satu jangan pakai toge, dan satu lagi hanya bakso saja."
ADVERTISEMENT
Si pedagang bakso yang mengenakan topi hitam itu hanya mengangguk mendengar pesanan Kribo dan ketiga temannya. Malam itu, Kribo sedang bermain judi dengan teman-temannya di pelataran mushola kampung setelah mendapat bonus akhir tahun.
"Ya masa, sih, 'Bos Kribo' tidak mau melayani kita di malam tahun baru? Kita kehabisan lawan tanding, nih. Mau kan kau, 'Bos'?"
"Ah, berisik kau! Sudahlah, kalian itu pada akhirnya akan kalah olehku. Boleh menang, tapi hasil pinjam dariku juga. Dasar pengangguran berat."
"Haha. Bisa saja kau, Bo. Kan baru kau yang bekerja di antara kita-kita. Bagi-bagilah rezeki mu itu. Jangan kau pendam sendiri. Istripun belum ada. Untuk apa uangmu itu."
Saat sedang bercanda, si tukang bakso mengantarkan pesanan mereka. Sesuai dengan yang dipesan Kribo, empat mangkuk dengan detail yang tadi disebutkan, sudah semuanya diantarkan.
ADVERTISEMENT
"Mas, aku bilang satu tak pakai toge. Kenapa kau kasih pula toge di tiga mangkuk ini?" Deklok, salah satu teman Kribo yang dikenal sebagai preman tukang pukul mengajukan protes karena pesanannya tak sesuai.
"Ah sudah-sudah. Memangnya kenapa kalau pakai toge? Kan masih bisa dimakan."
"Bukan begitu, Bo. Kita ini pembeli, kita ini raja. Dasar bakso sial! Perbaiki pesananku!"
Mendengar dirinya dicaci maki, si tukang bakso menatap keempat pemuda bergajul itu sembari tersenyum. Namun, itu tampak bukan senyum biasa. Rasanya amat dingin sehingga membuat Deklok sendiri merinding.
"Hei. Apa kau senyum-senyum itu? Bikin takut saja. Cepat perbaiki pesananku!"
Deklok tak henti-hentinya menyentak-nyentak si tukang bakso yang sedang tersenyum itu sampai-sampai ia tersulut emosi dan hendak memukuli si pedagang bakso malam.
ADVERTISEMENT
"Sialan. Bukannya cepat ambil yang baru, malah menatapku begitu. Cari ribut kau hah?!"
Buru-buru Kribo dan teman lainnya berdiri untuk menahan Deklok. Namun, belum lagi Deklok menghampiri si tukang bakso yang berdiri barang dua langkah darinya, tiba-tiba si tukang bakso itu menjulurkan lidahnya.
Lidah itu bukan lidah manusia pada umumnya. Ia menjulur begitu panjang dan punya dua cabang mirip ular. Warna lidahnya hitam pekat dan panjangnya hampir mirip seperti tangan.
"Sial! Apa itu?"
"Setan! Bakso setan!"
Keempat pemuda bergajul itu lari terbirit-birit meninggalkan semua barang-barangnya. Sejak saat itu, cerita bakso siluman ular menyebar ke seluruh penjuru kampung.
Bahkan, tak hanya Kribo dan kawan-kawannya saja yang melihat, tetapi warga-warga lainnya juga kerap melihat si tukang bakso yang suka menjulurkan 'lidah ular'-nya.
ADVERTISEMENT
"Jika suatu saat bertemu, tangkap pedagang bakso setan itu, dan kita bakar gerobak bakso beserta di pedagangnya. Saya yakin, itu bakso hasil pesugihan," kata Ketua RW di kampung tersebut menyampaikan pendapatnya di tengah rapat warga.
***
"Menurut penerawanganku, bakso siluman ular itu adalah seorang pelaku pesugihan keris siluman ular. Ia tewas bunuh diri karena melihat putrinya tewas terhunus keris pujaannya."
"Lalu, bagaimana cara kami mengatasinya, Mbah? Warga sudah resah sejak kemunculan pertamanya. Bahkan, ada salah satu warga yang tersungkur ke dalam lubang bekas galian sumur saat berlari terbirit-birit."
"Aku akan memberikan amalan-amalan untuk mengusirnya. Kau ketua RW, bukan? Perintahkan warga mu untuk membaca amalan ini. Lambat laun, bakso hantu itu akan hilang dengan sendirinya."
ADVERTISEMENT
Awalnya, Duloh, ketua RW kampung tersebut berencana akan menyergap si bakso siluman itu, tetapi dukun yang ia datangi mengatakan kalau warga tak akan kuat membakar gerobaknya.
"Gerobak itu hanya ilusi. Jika kau menyentuhnya, kau akan kesurupan. Jadi, membakar bukanlah ide bagus. Tukang bakso itu sebenarnya hanya jin yang menyerupai si tukang bakso sesungguhnya. Ia menjulurkan lidah ular hanya untuk menakut-nakuti saja."
"Baiklah, Mbah. Aku akan perintahkan warga sebagaimana wejangan Mbah."
"Terakhir, kembalikanlah semuanya kepada Gusti Allah. Berdoalah, semuanya pasti akan selesai."
***
"Wistria! Maafkan Bapak, Nak. Bapak khilaf, Bapak salah, Bapak mengaku dosa terhadapmu. Bapak harus menanggung akibat dari semua ini. Bapak harus bertanggungjawab, Wistria. Maafkan Bapak."
Dulkodir menangis tersedu-sedu di depan makam putrinya, Wistria. Putri semata wayangnya itu tewas karena terhunus keris simpanannya. Keris itu adalah keris pesugihan untuk memperkaya dirinya. Kabarnya, keris tersebut dibuat di samudera selatan oleh sosok siluman ular.
ADVERTISEMENT
Katanya, kalau ia menyimpan keris tersebut, rezeki akan terus mengalir tak henti-henti sehingga membuatnya jadi kaya raya. Keuangan Dulkodir yang merupakan seorang orang tua tunggal, memang membaik pasca keris itu ia dapatkan dari seorang dukun.
Namun, saat memberikan keris tersebut, sang dukun yang memberikannya kepada Dulkodir telah mewanti-wanti agar Dulkodir terus menjaga Wistria. Pasalnya, dedemit yang tinggal dalam keris tersebut selalu membutuhkan tumbal anak perempuan.
"Wistria adalah anakku, Ki. Jelas ia akan terus aku jaga sepanjang hidup. Biarpun keris tersebut membutuhkan tumbal anak perempuan, tak mungkin Wistria menjadi tumbalnya karena aku selalu di sisinya."
"Semua itu tergantung keyakinanmu, Kodir. Jika memang kau yakin, aku tak bisa berbuat banyak."
Namun nahas, di sebuah malam petaka, Dulkodir lupa pulang untuk mendampingi Wistria. Ia keasyikan bermalam di sebuah rumah bordir, menyewa seorang PSK, dan mabuk-mabukan. Kekayaan terkadang membuat orang menjauh dari akal sehat.
ADVERTISEMENT
Saat dirinya pulang di pagi buta sembari sempoyongan, betapa kagetnya Dulkodir melihat tubuh Wistria sudah tersungkur bersimbah darah dengan keris menancap di perutnya. Meski telah berteriak kencang memuntahkan semua penyesalan. Namun, nafas Wistria telah berhenti dan tak bisa lagi kembali.
Kematian putrinya tak hanya membuatnya menyesal, tapi juga membuat Dulkodir harus mendekam di penjara karena tak bisa membuktikan sebab kematian putrinya.
Lima hari berselang di dalam penjara, Dulkodir tewas karena menelan deterjen lantai yang tersedia di dalam lapas. Sepertinya, tak ada lagi obat yang ampuh untuk mengobati penyesalannya selain kematian.
Cerita ini hanya fiktif belaka. Kesamaan nama tokoh dan latar hanyalah kebetulan.