Kisah Kuli Bangunan yang Hampir Menjadi Tumbal Pesugihan Pemilik Swalayan

Konten dari Pengguna
10 Agustus 2020 18:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pesugihan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi swalayan. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi swalayan. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Mardi, yang sehari-harinya bekerja sebagai kuli bangunan, tak pernah sanggup membeli penuh satu bungkus rokok. Untuk memberi makan dirinya dan keluarga, uang yang ia dapat amat pas-pasan. Namun, siang itu, ia ditimpa rezeki. Karena bosnya sedang berulang tahun, Mardi mendapat bonus tambahan untuk pekerjaannya hari itu. Jadilah ia bisa membeli sebungkus rokok, suatu pencapaian yang amat jarang di hidup Mardi bahkan dalam kurun waktu berbulan-bulan sekalipun.
ADVERTISEMENT
Maka, siang itu, dengan hati berbunga-bunga, Mardi menuju sebuah swalayan untuk membeli sebungkus rokok.
"Mbak, ini sebungkus berapa?" tanya Mardi kepada kasir.
“Enam belas ribu Pak," jawab kasir.
Cocok dengan harga rokok tersebut, Mardi langsung membayarnya. Ia kemudian segera keluar menuju parkiran swalayan.
Meski hari itu ia ditimpa rezeki hingga bisa membeli sebungkus rokok merek favoritnya, Mardi tetap saja termasuk orang yang melarat. Menuju parkiran, ia berjalan dengan lesu sambil merenungi nasibnya yang serbakekurangan. Utang yang menggunung, tagihan setoran yang selalu datang dari sana-sini, membuat hidupnya kian hari kian tak bergairah.
Berbekal dengan rasa nelangsa dan sedikit tak terima dengan apa yang menimpa hidupnya selama ini, Mardi kemudian mengambil sepedanya dan mengayuhnya. Siang itu memang amat panas, tapi dengan sebungkus rokok di tangan, hidup baginya tetap terasa layak buat dijalani.
ADVERTISEMENT
Namun, tak dinyana, baru menjauh 15 meter dari parkiran swalayan, Mardi kemudian tersadar bahwa terdapat sesuatu yang aneh di keranjang sepedanya. Di keranjang itu, ia melihat sebuah kantong kresek warna hitam berisi segepok uang yang warnanya merah semua. Kalau ditotal, mungkin, uang itu berjumlah Rp 20 juta.
Mardi, yang tak pernah memegang uang sebanyak itu dalam hidupnya, sontak saja bergetar sekujur badan. Ia merasa senang, khawatir, juga bingung, untuk pada akhirnya membawa pulang uang itu atau justru mengembalikannya. Tapi, jika hendak mengembalikannya, uang itu milik siapa? Sederet pertanyaan lalu menghujani batin Mardi.
Namun, tak berselang lama, entah karena hidayah atau apa, Tuhan menunjukkan kasih sayangnya kepada Mardi. Sesaat kemudian, terbesit dalam pikirannya tentang kejadian-kejadian dan kabar ganjil yang ia dapat dari orang-orang tentang swalayan tempat ia membeli sebungkus rokok tadi.
ADVERTISEMENT
Sudah menjadi rahasia umum, pemilik swalayan ialah orang yang kerap berurusan dengan ilmu hitam. Ia, yang seorang lelaki paruh baya duda karena bercerai dengan istrinya, adalah pribadi amat misterius yang tak pernah sekalipun memperlihatkan batang hidungnya di swalayannya sendiri.
Di depan swalayan itu, memang sering terjadi kecelakaan. Saking seringnya, jalan di depan tempat swalayan itu berdiri kerap dijuluki sebagai ‘jalur maut’.
Dilatarbelakangi pikiran itu, batin Mardi lantas menemui titik terang. Yakin bahwa sebelum ia menuju swalayan itu, kantong kresek yang berisi segepok uang tadi belum ada di keranjang sepedanya, ia yakin bahwa uang itu hanyalah uang jadi-jadian.
Ilustrasi uang. Foto: kumparan
Hati Mardi seperti mendapat petunjuk dari Yang Di Atas, bahwa jika ia dengan nekat membawa pulang uang itu, nasibnya akan sama dengan beberapa orang yang mengalami kecelakaan di depan swalayan itu: kehilangan nyawa.
ADVERTISEMENT
Mardi yakin, uang itu ialah pancingan bagi pemilik swalayan untuk mendapatkan tumbal pesugihan. Formulanya sederhana: ketika sang pemilik swalayan mengetahui bahwa di depan swalayannya telah terjadi kecelakaan, ia akan buru-buru datang atau menyuruh pegawainya menggeledah seluruh kantong baju, tas, juga segala hal yang dibawa korban kecelakaan itu. Pasti, korban kecelakaan itu membawa segepok uang pesugihan, karena telah resmi dijadikan tumbal: mati karena kecelakaan.
Meski miskin, Mardi tak pernah berencana dan mau untuk cepat-cepat kehilangan nyawanya. Maka, dengan perasaan geram dan penuh tenaga, ia kembali ke swalayan itu, berniat mengembalikan semua uang yang ada di sepedanya kepada kasir.
Sesampainya di swalayan, benar saja, Mardi marah-marah dan mengembalikan uang itu.
“Ini uangmu. Meski miskin, aku tak butuh!” kata Mardi marah-marah sambil melempar kantong plastik itu ke muka si kasir. Dengan keberanian dan kejernihan pikirannya, hari itu, Mardi menyelamatkan nyawanya sendiri.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini hanyalah rekayasa. Kesamaan tempat dan kejadian hanyalah kebetulan belaka.