Kisah Pesugihan Siluman Buaya yang Berakhir Meregang Nyawa

Konten dari Pengguna
11 November 2020 18:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pesugihan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi siluman buaya (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi siluman buaya (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
"Lebih baik kau cari kerja, Nurjaman. Bisa-bisanya kau menyiksa anakku dengan membiarkannya bekerja sendirian."
ADVERTISEMENT
"Kau mau meminjamiku uang tidak? Kalau tidak, ya sudah. Jangan kau nasihati aku."
"Hei sialan! Aku ini mertuamu! Jaga sopan santunmu!"
Nurjaman pergi begitu saja tanpa pamit. Perilakunya memang tidak bisa ditolerir. Ia terlampau kurang ajar terhadap mertuanya. Tak hanya mertua, bahkan kepada orang tuanya pun ia tak bisa menjaga sikap.
Bukan tanpa sebab mertua Nurjaman marah-marah. Pasalnya, Nurjaman telah lama menganggur. Ia sama sekali tak mau bekerja. Untuk biaya hidup sehari-hari, Nurjaman mengandalkan keuangan istrinya.
Istrinya, Kamilah, mau tak mau harus menjadi tulang punggung keluarga. Ia berjualan gorengan di depan rumahnya. Jangan tanyakan penghasilan. Seringkali justru Kamilah merugi.
Belum lagi ia harus mengurus dua anaknya yang masing-masing berusia tiga dan tujuh tahun. Penghasilan yang kecil itu tentu saja tak cukup.
ADVERTISEMENT
Banyak tagihan yang harus dibayar Kamilah. Ia harus bayar sewa kontrakan, tagihan listrik, dan tentu saja memberi Nurjaman uang saku yang seringkali jumlahnya besar.
***
"Mengapa kau tak mau bekerja? Aku sudah lelah kalau harus terus begini. Aku mau kita sudahi saja hubungan ini."
"Sialan! Kau tahu apa? Hanya tinggal bekerja di rumah saja kau sudah mengeluh. Aku lelah, aku juga harus mencari peluang."
"Peluang apa, Kang? Mana hasilnya? Kau tak pernah membawa apapun saat pulang."
Satu tamparan keras kemudian mendarat di wajah Kamilah. Nurjaman menamparnya begitu kencang oleh sebab tak terima dengan perkataan istrinya.
"Sialan! Aku mencari peluang rejeki untukmu. Kau mau menghinaku, hah?"
***
Hampir setiap malam Nurjaman selalu bertapa di pinggir sungai Ciawu yang arusnya amat deras. Bebatuan besar dan ranting-ranting pepohonan memecah arus deras tersebut.
Ilustrasi sungai (Foto: Pixabay)
Malam itu, Nurjaman juga melakukan ritual di sungai tersebut. Di hadapannya telah tersedia sesajian berupa kelapa muda, kopi pahit, serta beberapa kembang.
ADVERTISEMENT
Tak lupa serbuk kemenyan yang dibakar juga dipersiapkan. Nurjaman dengan khidmat memejamkan matanya. Mulutnya berkomat-kamit seperti sedang membaca mantra.
Namun, malam itu langit tak secerah seperti biasanya. Petir telah tampak menyambar-nyambar dari kejauhan. Angin pun terasa berhembus sangat kencang.
Udaranya begitu dingin menusuk tulang. Arus sungai Ciawu juga begitu deras. Bahkan, bebatuan-bebatuan besar yang biasanya terlihat malam itu tak tampak sama sekali saking derasnya arus.
Sepertinya, hujan telah turun dengan deras di hulu sungai. Namun, Nurjaman tetap khidmat melakukan ritualnya. Sampai akhirnya ia terbangun karena melihat seekor buaya yang tiba-tiba menatapnya dari dekat.
Awalnya Nurjaman kaget dan ketakutan melihat buaya tersebut. Namun, entah karena angin apa, tiba-tiba Nurjaman mengatakan hal yang aneh.
ADVERTISEMENT
"Kau kah Pangeran Sudarmaningrat itu? Mohon pamit, pangeran. Hamba ingin meminta petunjuk agar hamba bisa kaya."
Buaya itu kemudian mundur tenggelam dan menghilang. Awalnya, Nurjaman merasa kecewa karena ia mengira permintaannya tak dikabulkan. Namun, Nurjaman punya asumsi lain.
"Sepertinya Pangeran memintaku untuk mengikutinya. Baiklah, demi kekayaan, akan ku ikuti ke mana Pangeran pergi. Aku percaya, dengan kekuatan Pangeran, aku akan selamat dalam arus deras ini."
Nurjaman akhirnya melompat ke dalam sungai dan berenang mencari-cari buaya yang ia kira penjelmaan dari sosok gaib yang ia puja. Ia seperti tak peduli dengan arus deras yang mengalir.
***
"Kamilah! Kamilah! Suamimu tewas di pinggir Ciawu. Warga sedang mengevakuasinya. Aku yakin itu Nurjaman, Kamilah. Coba kau lihat!"
ADVERTISEMENT
"Kau jangan mengada-ngada, Yu. Sudah benar itu dia? Kau yakin?"
"Aku yakin. Aku melihat tato ular di lengannya persis seperti tato suamimu."
Kamilah akhirnya berlari menuju pinggir sungai Ciawu dan bergabung dengan kerumunan warga. Saat ia melihat mayat itu, ia berteriak kencang sampai-sampai warga lain memerhatikannya.
"Kang!!! Apa yang kau lakukan? Kau telah membuatku menderita. Lalu, kini kau tinggalkan aku, Kang!" teriak Kamilah sembari menangis kencang.
Nurjaman akhirnya dievakuasi dan dimakamkan pada hari itu juga. Polisi mengatakan kalau ia hanyut saat arus deras ombak terjadi akibat hujan di hulu sungai.
Cerita ini hanya fiktif belaka. Kesamaan nama tokoh dan latar hanyalah kebetulan.