Kisah Pesugihan Warung Ayam Geprek yang Terbongkar Saat Idul Adha

Konten dari Pengguna
5 Agustus 2020 17:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pesugihan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ayam geprek. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ayam geprek. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Idul Adha telah datang. Meski pandemi masih berlangsung, warga Desa Watukodok tetap merayakannya sebagaimana sebelum-sebelumnya, menyembelih hewan kurban dan mengadakan salat id.
ADVERTISEMENT
Menjelang subuh, kesibukan para penduduk mulai terlihat. Beberapa dari mereka bergegas menyucikan diri untuk paginya melaksanakan salat di masjid terdekat, sementara beberapa yang lain pergi ke musala, membersihkan tempat yang nantinya akan digunakan untuk menyembelih hewan kurban.
Agung, sebut saja begitu, tak masuk dalam kedua golongan itu. Hari-harinya memang terlihat tak terlalu bersentuhan dengan agama. Ketika hampir seluruh anggota keluarganya membangunkannya pagi itu, ia terlihat gamang untuk bangkit dari kasur, dan justru bilang bahwa ia akan tetap membuka warungnya. Telah beberapa bulan ini, Agung memang membuka sebuah warung ayam geprek.
“Aku mau tetap buka. Masak, cuma gara-gara lebaran, aku berhenti cari uang,” kata Agung singkat pada orang tuanya.
Warung ayam geprek milik Agung itu memang selalu dibanjiri pembeli. Kadang, ketika antre, para pembeli berjubelan hingga memenuhi warung itu, bahkan sampai ke jalan raya. Padahal, untuk ukuran warga desa itu, ayam geprek masihlah makanan yang tergolong biasa. Tak ada yang spesial. Tapi, entah kenapa, ayam geprek buatan Agung itu selalu menarik minat banyak orang.
ADVERTISEMENT
Lantaran warungnya selalu ramai, praktislah Agung menjadi kaya raya. Ia punya tiga mobil, dan semuanya bagus-bagus. Rumahnya megah. Dan, dibanding penduduk desa lain, kehidupannya begitu tampak mencolok.
*
Sebagaimana yang dilakukan para penduduk biasanya, mulai pukul delapan pagi, mereka sudah mulai mendatangi musala untuk menyembelih hewan kurban. Tentu saja, sebagaimana disebut di awal, Agung tak berada di sana.
Untuk Idul Adha tahun ini, Desa Watukodok menyembelih dua sapi dan satu kambing. Waktu penyembelihan berlangsung sekitar tiga jam, berakhir menjelang zuhur.
Ilustrasi penyembelihan hewan kurban. Foto: kumparan
Namun, menjelang proses penyembelihan selesai, tiba-tiba Agung datang ke musala. Orang-orang lalu kaget. Ditanyainya tujuan Agung datang ke sana saat penyembelihan kurban bahkan sudah selesai.
“Aku mau meminta darah,” kata Agung enteng.
ADVERTISEMENT
“Untuk apa?” tanya salah seorang penduduk.
“Ya darah. Kalian nggak perlu tahu untuk apa,” jawabnya.
Mendengar permintaan Agung itu, suasana di musala sempat tegang. Orang-orang tentu sudah tahu bahwa darah hewan haram hukumnya dimakan. Meski begitu, Agung tetap bersikeras untuk memintanya.
Maka, menanggapi situasi itu, salah seorang tetua desa menengahi.
“Kasih saja ke Mas Agung. Mungkin, ia membutuhkannya untuk urusan lain, dan bukan untuk dimakan,” kata sang tetua.
Mendengar ucapan sang tetua, salah seorang penduduk lantas memberikan darah dari hewan kurban yang telah disembelih kepada Agung. Agung pun lantas menerimanya, mengucapkan terimakasih sekadarnya, dan berlalu.
*
Tak ada orang yang tahu, bahwa permintaan Agung soal darah itu mengarah pada urusan bisnisnya: warung ayam geprek. Ia mencampurkan darah itu dengan sambel buatannya, guna membuat dagangannya laris. Soal hal itu, hanya Agung sendirilah yang mengetahuinya. Kedua orang tuanya tak tahu apa-apa sama sekali.
ADVERTISEMENT
Tapi, karena sepandai-pandai tupai melompat, pasti akan jatuh juga, laku pesugihan Agung menggunakan darah itu akhirnya ketahuan juga.
Suatu hari, tetua desa yang pada saat Agung meminta darah di musala menengahi para penduduk yang hampir berkelahi tiba-tiba datang ke warung Agung, berniat bersilaturahmi. Dan, apesnya, kedatangan tetua itu berbarengan dengan waktu ketika Agung mencampurkan darahnya ke ayam geprek yang ia jual.
Mengetahui perilaku jahat itu, sang tetua masih menunggu beberapa saat untuk mengetahui seluruh ritual yang dilakukan Agung, dan ia masih mengintip dari jarak yang terbilang jauh. Dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat Agung mengucurkan darah yang ia dapat dari musala ke lemper, sambil mengucapkan serapalan mantra.
Lantaran tak tahan lagi melihat kejahatan itu di depan mata, sang tetua lantas memberanikan diri untuk menangkap basah Agung.
ADVERTISEMENT
“Mas Agung, Anda sedang apa?” tanya sang tetua. Tentu saja, mengajukan pertanyaan itu, ia sudah mengerti betul jawabannya.
Sa…sa…saya… anu…” jawab Agung gelagapan.
“Anda sekarang tinggal memilih, mau bertobat, atau sekarang juga saya bawa ke kantor polisi,” jawab si tetua.
Mendengar ancaman itu, Agung tak tahu lagi harus berkata apa. Karena ulahnya sendiri, ia terancam dipenjara, dan semua perilaku buruk yang ia rahasiakan selama ini terbongkar sudah.
Tulisan ini hanya rekayasa. Kesamaan nama dan tempat hanyalah kebetulan belaka.