Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Pesugihan: Mengorbankan Buah Hati untuk Ritual Bayi Bajang
12 Maret 2020 18:51 WIB
Tulisan dari Pesugihan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sang bayi merangkak dari meja makan menuju Rani. Dengan tangan kakinya yang mungil, bayi tersebut menghampiri sang ibu dengan penuh tawa. Sampai ditangannya, Rani menggendong buah hatinya , lalu si anak mulai mengucapkan kata pertamanya.
ADVERTISEMENT
“mama.”
Lamunan tersebut seketika lenyap ketika sang dukun memanggilnya untuk masuk ke dalam ruangan yang telah disediakan. Ruangan tersebut tidaklah besar, dan hanya ada lilin sebagai satu-satunya sumber penerangan. Di meja, berisi berbagai macam barang yang tidak Rani mengerti, yang ia tahu hanya kembang yang wanginya membawa kesan mistis.
Rani mencoba untuk mencari posisi terbaik untuk duduk, mengingat perutnya yang semakin besar karena sudah masuk bulan ketujuh dari masa kehamilannya. Dukun itu menghembuskan nafas sejenak, lalu menanyakan kesediaan Rani untuk melakukan pesugihan bayi bajang.
“iya, seperti yang saya bilang sebelumnya di telepon, mbah. Aku siap,” ujar Rani dengan penuh keyakinan.
“Bagaimana dengan Mahar dan juga kamar khusus buat kamu meminta jalan dan petunjuk? Sudah ada?” tanya si dukun.
ADVERTISEMENT
“Untuk kamar nanti suami saya yang urus, mbah. Kalau terkait mahar, saya sama suami cuma punya uang yang waktu itu ditransfer, tidak ada lagi, mbah. Suami saya juga sekarang lagi nyari kerja lagi,” Rani mencoba menarik simpati si dukun.
Rani mungkin tidak akan datang ke dukun jika bisnis suaminya, Eman, tidak gulung tikar. Eman memiliki bisnis rumah makan yang ia buka tak jauh dari tempat tinggal mereka. namun, karena kemampuan bisnisnya yang kurang baik, ditambah tidak adanya promosi, rumah makan mereka lebih sering didatangi kucing liar ketimbang pengunjung.
Akibat memilih untuk bertahan ketimbang menutup warung, suaminya terpaksa meminjam uang kepada lintah darat, tentu saja dengan bunga yang tinggi. Sayangnya, uang yang dipinjam tersebut bagaikan dibakar saja, tak menghasilkan apapun, kecuali utang yang mengepul.
ADVERTISEMENT
Rumah makan yang dirintis Eman uang pesangon itu tidak dapat menutupi jumlah uang yang dipinjam. Karena tak ingin asetnya yang lain ikut direnggut, Rani dan Eman sepakat untuk melakukan pesugihan bayi bajang ini berkat informasi yang didapat dari teman Eman ketika sedang menunggu sesi wawancara untuk pekerjaan di sebuah perusahaan.
“Kamu siap menanggung resikonya?” tanya sang dukun dengan pelan.
“Siap mbah,” jawab Rani.
Dukun itu memulai ritual yang tidak Rani mengerti. Karena takut, Rani hanya memejamkan mata dan mendengar si dukun merapal sesuatu. Nafas Rani semakin berat karena bukan kanker atau penyakit berbahaya yang merenggut haknya sebagai ibu, melainkan utang.
Rani membayangkan anak laki-lakinya tumbuh memasuki umur 6 tahun dan sedang gemar-gemarnya bermain bola di halaman rumah bersama suaminya. Adapun ia memerhatikan anaknya yang lucu itu tertawa-tawa bersama suami yang ia cintai. Ia berharap bahwa ia bisa membuatkan sarapan bagi anaknya setiap ingin berangkat ke sekolah, hingga si anak pergi meninggalkan rumah sebagai orang dewasa.
ADVERTISEMENT
“Sudah selesai,” ujar si dukun.
Rani mencoba merasakan seluruh tubuhnya. Ia tidak menemukan rasa sakit apapun, termasuk di perutnya.
“Memang tidak terasa sakit, mereka hanya memerlukan ruh dari bayimu saja,” sambung si dukun menjelaskan tentang tumbal.
Rani hanya bisa tertunduk lesu. Matanya berkaca-kaca, mencoba untuk tidak marah terhadap dirinya sendiri. ia tahu persis resikonya sebelum memulai pesugihan ini, dan berarti ia sudah mengambil keputusan bahwa kesulitan memiliki anak hidupnya adalah resiko yang ia harus ia pikul di sepanjang hidupnya.