Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Pesugihan Pantai Klawang, Mau Kaya Malah Hanyut Dibawa Ombak
4 September 2020 17:34 WIB
Tulisan dari Pesugihan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Darsono memang dikenal sudah kehabisan akal. Istrinya saja bahkan tak malu menyebut ayah dari kelima anaknya itu sebagai "orang gila". Pasalnya, sudah hampir satu bulan Darsono diam di kamar tanpa makan dan minum.
ADVERTISEMENT
"Katanya sembah suwun entah ke siapa si Darsono itu. Dia terlalu banyak memuja hal gaib dan malah melupakan anak-istrinya," kata Sumarsih, istri Darsono mengumpat kepada ibunya.
Darsono percaya bahwa dengan bertapa selama 40 hari 40 malam, ia akan diberikan kekayaan dari Nyai Astinah, penghuni Pantai Klawang, pantai di pesisir utara Jawa.
Sayangnya, Darsono lupa bahwa kekayaan datangnya dari usaha dan kerja keras, alih-alih meninggalkan kewajiban dengan mengeram diri di kamar selama itu.
Bukannya harta yang datang, Darsono malah sering bertengkar dengan istrinya. Sebenarnya, pemasukan utama keluarga mereka adalah dari hasil berdagang lauk pauk.
Jika sudah waktunya ritual tiba, Sumarsih mengerjakan semuanya sendirian. Hal itulah yang membuatnya kerap marah kepada sang suami. Sudah harus mengurus lima orang anak, Sumarsih harus memasak dan mempersiapkan dagangan.
ADVERTISEMENT
"Berceraipun aku takut. Jika menjadi janda, apa orang bilang nanti? Kasihan anak-anak, Bu," kata Sumarsih lagi menyesalkan keadaannya sekarang kepada ibunya.
Memang, stigma buruk masyarakat yang diletakkan kepada seorang janda sangat menyiksa. Padahal, tak semua alasan perceraian itu akibat keburukan sifat dari sang istri. Mau bercerai tak mau, bertahanpun malah tersiksa.
***
Adzan maghrib sudah sayup-sayup berkumandang dari kejauhan. Suaranya tak begitu jelas karena suara semilir angin pantai yang mengaburkan suara.
Darsono sudah terduduk khusyuk tepat di samping bibir pantai. Ia tegak bersila dan membuka tangannya seperti orang berdoa. Namun, bibirnya tak merapalkan apapun. Ia hanya memejamkan mata sambil menghadap ke arah laut.
Hari itu adalah hari di mana Darsono harus "menemui" sosok gaib Nyai Astinah, makhluk yang selama ini ia puja dengan berdiam lama-lama di kamar sendirian.
ADVERTISEMENT
Menurut apa yang dipercayainya, setelah bertemu dengan Nyai Astinah, Darsono harus mencium tangannya dan meminta rejeki dari sang nyai. Saat itulah keuangannya akan membaik.
Istrinya tak tahu menahu ke mana perginya Darsono. Ia juga tak mau ambil pusing. "Biar mati saja sekalian si Darsono itu. Aku sudah capek memerhatikan tingkah lakunya," begitu pikira Sumarsih.
Matahari mulai terbenam. Tak ada cahaya yang menerangi tempat di mana Darsono duduk kecuali cahaya bulan. Dari kejauhan memang tampak sederetan tenda orang-orang yang sedang kamping. Namun, itu terlalu jauh.
Selama berjam-jam Darsono duduk di sana, memejamkan mata, dan menghadap ke laut. Entah apa yang ia tunggu. Rasanya tak mungkin jika sesosok makhluk gaib akan datang dan muncul dari laut, kecuali rohnya masuk ke tubuh Darsono.
ADVERTISEMENT
Malam semakin mendingin. Suara ombak dan semilir angin saling beradu seakan menyadarkan pertapaan Darsono. Namun, Darsono tak bergeming. Ia tetap khidmat menikmati "ibadah"-nya.
Mungkin hampir enam jam ia duduk di sana. Menunggu entah apa yang ditunggu. Demi harta, segala hal pasti akan dilakukan. Setidaknya barangkali itu yang dipikirkan Darsono.
Pukul 00.00 sudah tiba. Darsono masih belum bergeming. Saat ombak menyentuh kakinya, sejurus kemudian ia bangun. Cara bangunnya menyentak, seperti terkaget.
Jikapun ada orang yang memerhatikan gerak-gerik Darsono di sana, niscaya si pengamat itu tak akan sadar jika Darsono ujug-ujug melompat ke laut. Ya, tanpa ragu-ragu ia menceburkan diri ke laut.
Ia berenang tanpa ragu ke tengah lautan. Bahkan, bisa dibilang itu bukan berenang, melainkan menyelam. Pasalnya, baru beberapa meter, sosok Darsono sudah tak tampak lagi. Ia menghilang.
ADVERTISEMENT
***
Sumarsih menangis tersedu-sedu. Meski semasa hidupnya mereka kerap beradu mulut, Darsono tetaplah suami Sumarsih, ayah dari anak-anaknya. Tangisan Sumarsih semakin menjadi kala jenazah Darsono masuk ke liang lahat.
Ia tewas karena tenggelam di laut utara. Jenazahnya bahkan baru ditemukan sekitar lima hari seusai ia menghilang dari rumahnya. Mungkin bertepatan ketika ia melompat ke laut setelah bertapa selama enam jam.
"Darsono, kau memang bajingan. Bukannya kaya dan bawa harta ke rumah, kau malah meninggalkan kami demi pesugihan sialan itu. Tuhan, tolong ampunkan dosa suamiku," kata Sumarsih menangis tersedu-sedu.
Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Kesamaan nama dan tokoh adalah kebetulan.