Tantangan Ekonomi dan Ancaman Kedaulatan Indonesia di Laut China Selatan

Anggi Prastyono
Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN
Konten dari Pengguna
31 Mei 2024 10:53 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Prastyono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penampakan Kapal Perang yang Sedang Beroperasi di Kawasan Laut China Selatan. Sumber Foto: Koral
zoom-in-whitePerbesar
Penampakan Kapal Perang yang Sedang Beroperasi di Kawasan Laut China Selatan. Sumber Foto: Koral
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Teori konflik Karl Marx berpendapat bahwa tatanan sosial dipertahankan melalui dominasi dan kekuasaan, bukan melalui konsensus dan konformitas. Itulah yang menjadi salah satu penyebab ketegangan di Laut China Selatan masih terus berlanjut hingga saat ini. Laut China Selatan menjadi wilayah strategis dengan kekayaan alam dan jalur perdagangan yang vital ini telah menjadi sumber ketegangan dan konflik antara negara-negara di kawasan tersebut. Persaingan klaim teritorial antara China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei telah menciptakan dinamika konflik yang rumit di Laut China Selatan.
Perselisihan tersebut telah terjadi sejak tahun 1970 an, permasalahannya timbul karena keenam negara tersebut mengklaim kepemilikan atas beberapa fitur pulau-pulau kecil, terumbu karang dan pulau karang, yang seluruhnya tidak berpenghuni, dan hanya dua pulau utama yang menjadi perhatian beberapa negara pantai sekitarnya, yaitu Pulau Spratly dan gugusan Pulau Paracel yang saling tumpang tindih. Permasalahan menjadi lebih rumit karena ada perbedaan dan multitafsir oleh masing-masing negara yang terlibat dan memiliki kepentingan sepihak.
ADVERTISEMENT
Nine Dash Line dan Dampaknya Bagi Indonesia
Indonesia bukan termasuk negara claimant di wilayah Laut China Selatan, namun memiliki kedaulatan di dekat wilayah tersebut. Tepatnya di Kawasan Laut Natuna Utara dan Kepulauan Natuna. Indonesia pun pada akhirnya terseret dalam lingkaran konflik Laut China Selatan. Klaim China melalui “Sembilan Garis Putus-putus” (Nine Dash Line) yang mencakup sebagian besar wilayah Laut China Selatan, termasuk wilayah yang tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, menyebabkan kedaulatan Indonesia di Perairan Natuna terancam.
Nine Dash Line sampai sekarang masih digunakan China sebagai dasar historis untuk mengklaim hampir semua wilayah perairan seluas 2 juta km persegi. Klaim Nine Dash Line ini berdampak pada hilangnya perairan Indonesia seluas lebih kurang 83.000 km persegi atau 30 persen dari luas laut Indonesia di Natuna. Klaim ini secara konsisten ditentang oleh Indonesia dan negara-negara lain di kawasan ini karena dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan melanggar prinsip hukum internasional. Perairan Natuna secara hukum internasional merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia dan memiliki hak berdaulat. Hal tersebut telah sesuai dengan putusan konvensi PBB tentang Hukum Laut yang tertuang dalam UNCLOS 1982 dan sudah secara jelas memutuskan perairan Natuna adalah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
ADVERTISEMENT
Tantangan Ekonomi dan Ancaman Kedaulatan Indonesia
Adanya konflik Laut China Selatan yang menyeret Perairan Natuna tentu menyebabkan stabilitas keamanan Kawasan tersebut jadi terganggu. Jalur perdagangan laut Indonesia yang melalui Laut China Selatan menjadi urat nadi bagi perekonomian negara ini. Gangguan pada jalur perdagangan ini dapat mengancam stabilitas ekonomi Indonesia dengan potensi peningkatan biaya logistik, penundaan pengiriman, dan bahkan blokade yang merugikan sektor perdagangan Indonesia yang sangat bergantung pada arus barang dan jasa melalui jalur tersebut. Selain itu, kontrol sumber daya alam di perairan sekitar Laut China Selatan juga menjadi aspek penting dalam menjaga kedaulatan Indonesia.
Berdasarkan hasil kajian dari Pusat Kajian Anggaran Sekretariat Jenderal DPR RI menjelaskan bahwa, wilayah Laut Natuna Utara menyimpan cadangan gas dengan volume 222 triliun kaki kubik. Cadangan gas alam tersebut digadang-gadang menjadi yang terbesar di Asia-Pasifik bahkan dunia. Potensi sumberdaya ikan di Laut Natuna Utara juga mencapai 504.212,85 ton per tahun. Tak heran jika banyak nelayan asing yang mencari ikan hingga ke perairan Natuna. Meskipun Indonesia sudah memberikan peringatan terhadap negara-negara yang melakukan illegal fishing di perairan Natuna, tampaknya hal tersebut tidak membuat jera dan terus berlanjut. Illegal fishing menjadi bukti bahwa ancaman kedaulatan tersebut memang nyata.
ADVERTISEMENT
Gangguan terhadap aktivitas eksploitasi sumber daya alam ini dapat berdampak serius pada sektor ekonomi Indonesia yang bergantung pada sumber daya alam tersebut. Ketidakpastian ekonomi yang muncul dari konflik di Laut China Selatan juga dapat menciptakan ketegangan dalam sektor ekonomi Indonesia, merugikan sektor perikanan, energi, dan industri yang bergantung pada sumber daya alam dari kawasan tersebut. Dampak ekonomi dari ketidakstabilan di Laut China Selatan juga dapat membahayakan aspek keamanan dan kedaulatan Indonesia secara keseluruhan. Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh gangguan perdagangan, penurunan investasi, dan ketidakpastian ekonomi dapat melemahkan kemampuan Indonesia dalam mempertahankan kedaulatannya di tengah ancaman eksternal.
Strategi untuk Menjaga Kedaulatan dan Perekonomian Negara
Indonesia merupakan negara yang menerapkan politik luar negeri bebas aktif dan pencetus Gerakan Non-Blok. Menyelesaikan suatu konflik dengan perang bukan merupakan solusi yang merepresentasikan negara Indonesia. Untuk mempertahankan wilayah kedaulatannya, Indonesia harus menerapkan strategi balance of power. Teori balance of power dicetuskan oleh Stephen M. Walt yang menjelaskan bahwa aliansi secara umum dilihat sebagai respon negara terhadap suatu ancaman. Strategi balance of power dilakukan melalui pendekatan penguatan kerjasama dengan negara-negara lain guna memperkuat kedaulatan Indonesia. Antara lain kerjasama ekonomi, politik dan pertahanan.
ADVERTISEMENT
Penguatan pertahanan dengan memperkuat alutsista pertahanan mungkin menjadi salah satu opsi untuk meningkatkan pertahanan. Namun perlu diingat, kerja sama pertahanan dengan negara lain juga perlu ditingkatkan. Kerja sama ini bertujuan untuk memperkuat pertahanan dan meningkatkan kemampuan militer Indonesia sebagai upaya deterrence effect atau pencegahan. Kerjasama ekonomi regional dan internasional menjadi faktor penting dalam menjaga kedaulatan Indonesia di tengah konflik Laut China Selatan. Ditengah derasnya investasi China ke Indonesia, China menjadi salah satu mitra ekonomi strategis bagi Indonesia. Adanya konflik yang mengganggu kerjasama ekonomi regional dapat merugikan Indonesia dalam peningkatan kesejahteraan ekonomi dan keamanan wilayah. Oleh karena itu, menjaga kedaulatan ekonomi Indonesia memerlukan kerja sama yang kuat. Bukan hanya kerjasama dengan negara-negara tetangga dan negara konflik saja, melainkan mitra kerja sama strategis lainnya. Seperti Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, Inggris, negara-negara Eropa, G20, serta negara Asia pasifik lainnya.
ADVERTISEMENT
Upaya untuk menjaga kedaulatan Indonesia dalam situasi konflik ini memerlukan pendekatan yang holistik dengan memperhitungkan dampak ekonomi dari konflik regional dan memastikan keberlanjutan kepentingan ekonomi dan keamanan negara. Diplomasi publik yang bersifat transparan sebagai instrumen soft power merupakan alat yang penting untuk mencegah kesalahpahaman dalam menghindari konflik dan menjaga hubungan antar negara. Indonesia harus terus berupaya untuk memediasi konflik, memperkuat diplomasi, dan membangun kerja sama bilateral hingga multilateral guna memastikan stabilitas ekonomi dan keamanan di wilayah Laut China Selatan tetap terjaga. Dengan tantangan ekonomi yang terus mengintai dalam konflik di Laut China Selatan, menjaga kedaulatan Indonesia menjadi ujian penting bagi negara ini dalam menghadapi dinamika kompleks nan rumit di kawasan tersebut.
ADVERTISEMENT