Konten dari Pengguna

Kontroversi Ormas Keagamaan Kelola Tambang, Ada Apa dengan Negara?

Petrus Polyando
Saya adalah seorang pembelajar filsafat dan ilmu pemerintahan, saat ini mengajar di IPDN
11 Juni 2024 8:38 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Petrus Polyando tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tambang batu bara. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tambang batu bara. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Ditengah kampanye meriah soal persiapan menuju Indonesia emas, akhir-akhir ini kita disuguhi hidangan isu sosial politik dan kasus hukum yang sangat ruwet. Sebut saja Kasus timah yang menyebabkan total kerugian negara 271- T kian gaduh seiring dengan penguntitan terhadap Jampidsus. Tidak kala menarik kasus tindak pidana korupsi Mantan Mentan SYL yang terkesan jorok dan menjijikan. Betapa tidak, banyak fakta persidangan yang menguraikan soal penyalahgunaan anggaran negara untuk kebutuhan sang menteri dan keluarganya. Belum surut kedua kasus kakap di atas, kegaduhan publik kembali tersaji soal siapa Pegy sesungguhnya otak pembunuhan Vina dan Eky. Ini sangat mencengangkan mengingat kasus delapan tahun silam, ternyata belum usai juga dan kembali terekspos karena kisahnya diangkat dalam sebuah film layar lebar.
ADVERTISEMENT
Bergeser dari kasus hukum di atas, kenyamanan publik diganggu lagi dengan isu kontraproduktif lain terkait kebijakan pemerintah, antara lain Potongan Iuran Tapera, Persyaratan Iuran BPJS dalam pengurusan SIM, dan Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (meskipun sudah dibatalkan). Kebijakan-kebijakan ini cukup menyulut amarah publik di berbagai media sosial, dan juga dalam setiap forum diskusi di media-media massa mainstream. Para netizen, pemirsa dan pendengar tampak emosional dan bereaksi heboh dengan menyertakan alasan bertambahnya penderitaan mereka. Bahkan sebagian dengan gamblang curiga mengapa untuk “menopang pembiayaan IKN” harus mengorbankan rakyat. Sebab itu meskipun pemerintah berdalih manfaatnya cukup besar namun tidak cukup meyakinkan sikap sebagian khalayak yang bersikukuh perlu dikaji ulang.
Isu fenomenal lain yang tidak kalah riuh bin geger adalah soal ormas keagamaan diberi kuasa mengelola tambang. Bila ditakar faktor wouuh-nya menurut saya cukup besar, masih diatas desas-desus mundurnya Kepala dan Wakil Kepala OIKN, melampaui kerisauan soal revisi UU TNI-POLRI, melewatkan hebohnya kemenangan PERSIB, apalagi sekedar menunggu kelanjutan ruben-sarwendah. Eksesif-nya hal ini sehingga patut didiskusikan secara komprehensif guna menemukan keterhubungan logis alasan dibalik kebijakan eksentrik ini. Paling tidak terbuka jawaban konkrit yang dapat mengurangi kerutnya dahi kaum awam, sekaligus menurunkan tensi kecurigaan baru kaum oposisi. Jika dibiarkan maka dipastikan kontradiksi pengelolaan sumber daya alam akan terus berkembang di ruang publik melengkapi tema klasik tentang pembagian hasil yang kurang merata, mafia tambang dan konflik agraria. Sebab itu, dipilih sebagai tajuk utama dan fokus analisis dalam goresan singkat ini. Tentu pembahasan isu ini bukan berarti meniadakan tema politik lain nan hangat dan seru soal Papua dengan tagar All Eyes on Papua atau juga yang tidak kalah dasyat hal putusan MA soal usia Kepala daerah yang memunculkan tagar “MK untuk Kaka, MA untuk Adik”. Cukup menarik dibedah khusus pada kesempatan lain seiring momentum pendaftaran calon kepala daerah.
ADVERTISEMENT
Hal Ormas keagamaan kelola tambang.
Polemik bermula dari lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) No.25/2024 yang mengubah beberapa ketentuan dalam PP No.96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Letak perkaranya pada penambahan pasal 83A yang berisi 7 ayat dengan fokus materi soal penawaran wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) kepada badan usaha ormas keagamaan. Bila membaca maksud teks pasal tersebut, sebenarnya cukup positif untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, sebagian besar publik merasa aneh, mengapa harus melibatkan ormas keagamaan untuk kelola tambang. Padahal publik tahu kaum ini sejak awal dibentuk telah dinobatkan sebagai pengawal dogma agama, bertugas mewartakan pokok ajaran Ketuhanan, menjaga keseimbangan praktik relasi manusia dengan Tuhan, sesama dan alam semesta. Mereka tidak disiapkan untuk mencari tambang dan menjalankan bisnis tersebut, atau mengutip pengakuan Franz Magnis Suseno (8 Juni 2024): “kami tidak dididik untuk itu dan umat mengharapkan dari kami dalam agama bukan itu (https://nasional.kompas.com).
ADVERTISEMENT
Fakta ironis ini menimbulkan kontroversi yang memicu kritik dan suara miring dari sejumlah tokoh nasional. Misal Rocky Gerung menyatakan bahwa "Ormas keagamaan itu tugasnya untuk berdoa supaya negeri ini makmur sentosa, bukan menunggu tetesan uang dari negara atau dari korporasi," (dikutip dari kanal YouTube Pribadi, 2 Juni 2024). Kemudian, mantan menteri agama Lukman Hakim Saifuddin, memberi tanggapan penuh kekhawatiran akan muncul fitnah dan musibah bila kebijakan pemberian izin pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan tak berbasis pada penerapan nilai keadilan, keterbukaan, profesionalitas, dan tanggung jawab (CNBC Indonesia, 5 Juni 2024). Sementara itu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan sebagaimana diberitakan di tvonenews.com (Senin, 3 Juni 2024), meminta seluruh ormas keagamaan tidak ikut dalam bisnis pertambangan, guna menghindari konflik sosial antara masyarakat dengan Ormas tersebut. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) justru dengan gamblang mendorong Ormas keagamaan menolak konsesi tambang dari pemerintah, mengingat usaha ini padat modal dan padat teknologi. Dan masih banyak kecaman lain yang diekspresikan terbuka. Jadi kebijakan ini cukup menghebohkan dan layak dibedah dengan pendekatan khusus agar tersingkap seluruh rangkaian peristiwa dan alasan para pihak yang berkepentingan.
ADVERTISEMENT
Alasan kebijakan ini diterbitkan.
Untuk membuka tabir dan menemukan intensi dibalik kebijakan ini, perlu dilakukan dengan dua pendekatan mengetahui dan memahami terhadap isi teks maupun proses dialektika yang terjadi. Kedua istilah ini memiliki perbedaan (F. Budi Hardiman, 2015). Ringkasnya mengetahui lebih mengandalkan kerja isi kepala - memahami dilakukan dengan hati, mengetahui baru dipermukaan - memahami menjangkau kedalaman, mengetahui baru sebagian - memahami telah mencakup keseluruhan, mengetahui baru sebatas memperoleh data - memahami berupaya menangkap makna. Kedua saluran ini saling melengkapi sehingga jamak difungsikan secara kontinum dalam membedah produk politik yang cukup mengganggu nalar atau kelogisan pikir publik.
Tafsir terhadap dasar terbitnya kebijakan ini bisa dilihat dari konsiderannya. Bila ingin fokus, analisis langsung tertuju pada pasal 83A soal pemberian WIUPK kepada badan usaha ormas keagamaan. Secara normatif tampak teks yang tertulis tidak cukup sulit untuk diketahui dan dijelaskan secara lugas kepada khalayak, namun makna dibalik isi dan dinamika proses melahirkannya membutuhkan metode hermeneutik untuk dipahami dari banyak perspektif yang terkoneksi. Sebab itu silang pendapat dua pihak pro dan kontra, menjadi data analisis mendalam, dan menyeluruh, guna mengungkap alasan terselubung. Berikut poin hasil analisis singkat.
ADVERTISEMENT
Pertama, Dalih pemerintah memberikan konsesi WIUPK kepada badan usaha ormas keagamaan untuk mensejahterakan masyarakat sesungguhnya tetap menyulitkan publik untuk mengakui walau telah dipaksakan dengan hati netral untuk memahami dengan lapang. Ini terkait dengan nilai keadilan yang tersirat dipromosikan pemerintah sebagai argumen penting dalam setiap forum debat publik. Bahwa dengan memberikan konsesi mengelola tambang kepada ormas keagamaan, berarti pemerintah telah bertindak adil terhadap semua organisasi kemasyarakatan, walau sebenarnya core business ormas ini bukan pertambangan. Keadilan yang dipromosikan ini tampak tak terlepas dari kesetaraan. Fakta ini bertentangan dengan gagasan keadilan dari Plato dan Aristoteles. Plato berpendapat keadilan terwujud bila kenyataan setiap orang menjalankan tugasnya masing-masing sesuai kompetensi, tanpa memasuki wilayah orang lain. Sang murid – Aristoteles dengan lugas menyatakan keadilan bukanlah kesetaraan namun pembagian hak yang tidak selalu berarti kesetaraan (Betrand Russell, 1946). Kedua pandangan tradisional memang dianjurkan untuk masanya di zaman Yunani Kuno namun masih relevan digunakan pada realitas modern. Dalam kebijakan di atas justru tidak adil, ketika memaksakan yang tidak kompeten mengambil peran diluar areanya. Bagi yang sepakat justru meninggalkan tanda tanya besar, apa keinginan mereka? Bukankah akan berpeluang menurunkan derajat eksistensial ormas ini manakala gagal dalam bisnis tambang yang baru dijelajahi dan dianggap penuh dengan praktik “gelap”. Sementara publik mafhum ormas keagamaan itu urusannya bukan tambang. Tegangan ini semakin meyakinkan hipotesis para kritikus bahwa keanehan kebijakan ini terjawab sebagai upaya memenuhi “janji politik”yang dikaitkan dengan pilpres sebelumnya. Dan tentu sulit dipatahkan asumsi ini sepanjang tidak ada argumen kuat seperti adanya permintaan khusus oleh seluruh ormas keagamaan untuk terlibat dalam urusan tambang. Apalagi faktanya sebagian ormas menolak dengan tegas, sehingga memperkuat kecurigaan publik.
ADVERTISEMENT
Kedua, Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan publik, dimanakah peran negara dalam pengelolaan sumber daya alam (tambang) untuk hajat hidup orang banyak? Bila dalilnya adalah pemberdayaan masyarakat melalui ormas keagamaan, mengapa harus memforsir mereka pada urusan yang bukan kapabilitasnya. Akan lebih afdal kalau ormas keagamaan diarahkan untuk kelola bisnis yang related, semisal urusan haji, dll.
Ini terkesan mengeksploitasi ormas keagamaan, untuk menyelubungkan maksud lain dibalik kebijakan. Tersirat dugaan ada upaya membiarkan benturan ormas keagamaan dengan kelompok masyarakat lokal sebagaimana diwanti-wanti oleh (Walhi) Sulawesi Selatan. Kritik publik sampai pada titik ekstrim bahwa ini sebagai strategi mengatasi kebuntuan negosiasi yang berujung penolakan masyarakat lokal atas pembukaan lahan baru untuk tambang. Ini tentu membutuhkan penjelasan khusus. Publik sebenarnya lebih menghendaki Negara (pemerintah) mempromosikan tata kelola tambang yang baik dan mendistribusikan hasil secara adil dan merata, memperhatikan kepentingan masyarakat adat, lingkungan, dan keberlanjutan bagi generasi selanjutnya. Bukan sekedar membagikan konsesi kepada ormas keagamaan yang menimbulkan polemik kontraproduktif.
ADVERTISEMENT
Ketiga, Penjelasan menteri investasi Bahlil Lahadalia di salah satu media TV nasional (9/6/2024), terungkap niat baik pemerintah untuk membantu ormas keagamaan memiliki sumber pendanaan yang independen. Bila ini merupakan kepentingan terbesar pemerintah, maka semestinya dikomunikasikan sejak awal dengan keterangan komplit dan memadai. Bukan sengaja membiarkan kontroversi di masyarakat. Dengan mengingat PP telah dikeluarkan, bagaimanapun juga pemerintah harus bekerja ekstra menjalin komunikasi dengan para pihak yang berkepentingan agar diterima positif. Ini tentu mempertaruhkan kredibilitas pemerintah soal konsistensi dan komitmen pada janji. Pemerintah harus meyakinkan alasan dan pertimbangan yang menjangkau kekhawatiran umum, sehingga tidak menimbulkan polemik dan kecurigaan berlebihan di ruang publik. Jaminan pemerintah yang terucap dari sang menteri, harus selaras dengan tindakan awal yang cukup memadai terutama langkah konkrit soal mafia dan kerusakan lingkungan yang terlanjut mengganggu kenyamanan ormas. Pemahaman ini yang perlu diyakinkan melalui dialektika konstruktif sebagai langkah solusional mengakomodasi kepentingan para pihak yang menolak.
ADVERTISEMENT
Poin-poin di atas memperlihatkan penyebab utama ketegangan kebijakan ini adalah kurang memadainya komunikasi. Mau tak mau pemerintah harus mengakhiri polemik dengan komunikasi yang jujur dan terbuka dan meyakinkan bahwa niat baik serta janji mereka konsisten dilaksanakan.
Dampak kebijakan bagi masyarakat.
Sejatinya niat baik akan membawa manfaat besar bagi masyarakat, namun bila itu tipu muslihat maka akan tersingkap melalui relaksasi alam semesta. Itulah sekilas keterhubungan antara manusia dan semesta dalam hukum alam sebagaimana digambarkan dunia kosmos oleh Aristoteles. Bahwa semua sesuai kemurnian asalinya, yang menyimpang tentu berimpak. Demikian berlaku bagi kebijakan yang dipolemikan, dampaknya cukup menarik minat para pihak memprediksi akibat yang timbul berdasarkan sudut pandang yang dipengaruhi pengetahuan dan kepentingan yang diperjuangkan. Bagi pemerintah, kebijakan ini tentu diputuskan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat, persisnya kemandirian pendanaan ormas keagamaan. Tema besar ini dipromosikan dalam setiap forum dialektika di ruang publik. Bagi ormas keagamaan, tentu menyisahkan pembelahan dua pihak -yang pro- menyambut baik sedangkan -yang kontra- menolaknya. Masing-masing memiliki alasan yang patut dihargai. Sementara itu bagi sebagian masyarakat, kejanggalan kebijakan ini sangat terlihat kontradiksinya, sehingga propaganda mereka jelas menegasikan niat pemerintah ini.
ADVERTISEMENT
Dari area netral kita dapat mengetahui dan memahami implikasi produk kebijakan ini pada beberapa hal, diantaranya: Pertama, menggeser fokus penerimaan publik terhadap ormas keagamaan yang sejatinya mengurusi dogma dan pengajaran kebenaran agama, menjaga keseimbangan relasi individu dalam urusan duniawi dan ilahi, beralih kepada penguatan dominasi urusan duniawi melalui tambang. Kedua, menimbulkan bumerang bagi ormas keagamaan terutama soal dampak kerusakan ekosistem lingkungan mengingat kodratinya merekalah pengawal keberlanjutan ekosistem lingkungan. Ketiga, potensi benturan kepentingan dengan masyarakat lokal atau pemangku adat sangat besar dan ini akan menampilkan kontroversi baru yang selama ini menampilkan relasi keduanya kontinum. Keempat, bila terjadi keteledoran pemberian konsesi dan terjadi bias penyimpangan praktik di lapangan karena lemahnya pengawasan maka tentu akan berdampak pada tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Kelima, kebijakan ini bisa saja berdampak pada intensitas dan kualitas sikap kritis ormas terhadap pemerintah karena telah ada relasi mutualisme.
ADVERTISEMENT
Semuanya mewaktu bahkan soal kebenaran sekalipun, yang benar sekarang belum tentu benar di masa depan, apalagi yang masih dalam janji dan jaminan. Sambil menanti apa yang akan terjadi, baiknya kita perlu bijak mengetahui dan memahami dari horizon yang berbeda. Negara yang besar perlu dikelola secara profesional bukan amatir yang coba-coba. Indonesia punya potensi untuk mewujudkan ramalan para ilmuwan soal siklus kejayaan tujuh abad, bahkan prediksi lembaga-lembaga ekonomi global mengenai posisi kita pada ±20 tahun kedepan, puncaknya Indonesia Emas tahun 2045. Niscaya semuanya tergantung tata kelola dan manajemen pemerintahan kita. Asumsinya bahwa semakin baik tata kelola dan manajemen pemerintahan maka semakin besar hasil pembangunan yang dicapai dan semakin adil distribusi kekayaan serta semakin kecil kesenjangan masyarakat. Demikian sebaliknya, semakin amburadul tata kelola dan manajemen pemerintahan, semakin kecil capaian keberhasilan pembangunan, semakin timpang distribusi kekayaan serta semakin lebar disparitas sosial. Ini berkaitan langsung dengan isu kontraproduktif yang muncul. Semakin banyak isu besar yang tak terselesaikan dengan baik maka semakin besar energi bangsa tersita dan terkonsentrasi pada pembelahan sikap, demikian sebaliknya. Jadi, yang dibutuhkan saat ini dan kedepan, berkurangnya kontroversi kebijakan di ruang publik dan meningkatnya kualitas kesatuan arah dari semua elemen bangsa. Baiknya berkolaborasi dalam ikatan kebersamaan, memfokuskan pada tujuan pencapaian Indonesia Emas. ***
ADVERTISEMENT