Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Menuju Indonesia Emas Tanpa Otonomi Daerah?
20 April 2025 19:48 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Petrus Polyando tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Petrus Polyando
20/4/2025

Pertanyaan pemantik, Bisakah Menuju Indonesia Emas Tanpa Otonomi Daerah? Tulisan ini dalam rangka memeriahkan hari otonomi daerah yang akan diperingati pada tanggal 25 april. Mengambil tema ini sebenarnya ingin menghidupkan kembali nalar kritis pembaca terhadap kampanye Indonesia Emas di tengah realitas otonomi yang memudar. Ada paradoks kebijakan desentralisasi yang mengaktifkan otonomi daerah dan realitas kebijakan rezim belakangan ini.
ADVERTISEMENT
Judul ini terinspirasi dari buku “Menudju Otonomi Jang Sempurna”, sebuah buku kenang-kenangan dari konggres pertama desentralisasi daerah-daerah otonom seluruh Indonesia di Bandung, tahun 1955. Sengaja dibuat mirip, demi memudahkan penafsiran pembaca terhadap dinamika otonomi daerah. Menuju otonomi artinya menempatkan otonomi daerah sebagai sasaran, sementara tulisan ini mengukuhkan sebagai sarana.
Sekilas kisah buku klasik diangkat, tatkala mengaktifkan ingatan kita sekaligus menjelaskan pertentangan kondisi dulu dan sekarang. Bahwa di tengah kesulitan-kesulitan waktu itu, para pendiri bangsa telah memikirkan jalannya pemerintahan pusat sampai daerah secara sempurna, berdasarkan kedaulatan rakyat.
Persis sebuah kebijakan desentralisasi yang memberikan kewenangan kepada daerah melaksanakan otonomi daerah. Ada pertimbangan bahwa negara besar dan luas ini, amatlah sulit dikelola dengan baik bila hanya diberatkan pada pemerintahan pusat saja. Sebab itu patut diberikan batasan kekuasaan (kewenangan) kepada daerah-daerah.
ADVERTISEMENT
Ini bermakna ada kesadaran penuh para pendahulu bahwa mewujudkan tujuan negara memerlukan gotong-royong pusat dan daerah, sehingga perlu mengaktifkan otonomi daerah dengan desentralisasi. Pasang-surut terjadi mengikuti kemauan rezim, sehingga besar-kecil kewenangan otonomi daerah, bergerak bak pendulum.
Akhir-akhir ini diskursus publik tentang otonomi daerah, tampak kurang menggairahkan dan tidak mendapat atensi khusus. Ini kontras dengan kisah tujuh puluh tahun silam. Publik lokal yang semula antusias menyambut rezim pemerintahan baru dan gegap gempita mendesak pembukaan moratorium pemekaran daerah, demi memperoleh kesempatan mengelola daerah, bak tenggelam dalam keheningan.
Mereka yang menggebu menuntut perluasan kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus pemerintahan di wilayah, melempem layu laksana kurang nutrisi. Bahkan sebagian diam terpaku menikmati irama “gemoy” yang dimainkan rezim baru.
ADVERTISEMENT
Kampanye soal penguatan lokalitas nyaris tak terdengar lagi. Hegemoni kewenangan yang mengalir deras ke daerah melalui perubahan radikal relasi pusat dan daerah dalam asas desentralisasi didukung dengan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, seakan kembali ke asal (mudik) menuju sentralisasi.
Sikap publik ini menimbulkan beberapa asumsi: Pertama, barangkali narasi keberlanjutan dan gebrakan program strategis pemerintahan saat ini dianggap on the right track bahkan melampui ekspektasi mereka. Kedua, bisa jadi mereka yang selama ini bersemangat mengkampanyekan hal-hal seputar otonomi daerah telah masuk dalam gerbong kekuasaan. Ketiga, Jangan-jangan memilih sikap diam, pasif dan bungkam karena sulit berharap lebih terhadap gaya rezim saat ini. Tentu semua perlu dibuktikan.
Akibat Manuver Rezim
Di atas segalanya, dampak dari sikap pasif publik terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan, sangatlah besar. Akan semakin terbuka sistem sentralistik, dan semakin menyempit otonomi daerah. Apalagi parlemen dikuasai pemerintah. Kemudian para elit berkumpul dalam lingkaran kekuasaan. Diikuti sebagian besar kelompok masyarakat sipil bergabung ke istana.
ADVERTISEMENT
Kondisi tersebut, sangat mudah membangun konsensus, tanpa gangguan suara pengkritik. Rezim semakin leluasa bergerak mengubah aturan main, sehingga perlahan otonomi daerah semakin tertutup menuju batas terendah, persis di masa orde baru. Ini menguatkan keyakinan kita bahwa fase surut otonomi daerah telah tiba.
Tampak dari beberapa manuver, misal partai politik berkehendak mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh DPRD, pengangkatan Penjabat kepala daerah dari pemerintah pusat, koalisi partai diwacanakan permanen dari pusat sampai daerah, ada reatret kepala daerah, dll.
Indikasi kentara ketika Wakil Presiden Gibran menegaskan berulangkali kepada kepala daerah saat acara reatret di Magelang. bahwa “tidak ada visi lain selain visi Presiden Pak Prabowo, tidak ada misi lain selain misi Presiden Pak Prabowo”. Alarm bagi kepala daerah bahwa anda hanya boleh menjalankan program nasional di daerah. Patut dipertanyakan, di mana janji manis kepala daerah dengan segala visi misi mereka saat kampanye, yang kemudian membuat masyarakat terbuai dan memilih mereka?
ADVERTISEMENT
Kondisi lokal
Di sisi lain, kondisi obyektif Daerah memperlihatkan ada sejumlah persoalan dari otonomi daerah. Masih banyak perilaku koruptif aparat, penyalahgunaan wewenang dan anggaran, serta konflik internal. Pejabat minim ide kreatif dan inovatif dalam mengelola potensi lokal, sehingga permasalahan kualitas pembangunan lokal dan persoalan akses pelayanan publik sulit teratasi.
Pendapatan Daerah melalui PAD masih sangat terbatas, sehingga sulit merealisasikan pembangunan wilayah. Daerah masih terlalu bergantung terhadap keuangan pusat (Sri Mulyani, 2024).
Hal pemilihan kepala daerah, masih dihadapkan dengan berbagai keluhan misal, kecurangan, besarnya biaya pemilihan, politik uang, calon yang tidak kompeten, dll. Pasca terpilih dan berkuasa, hubungan kepala daerah dan mitra DPRD pun seringkali bermasalah, sehingga timbul konflik kepentingan. Tata kelola dan manajemen pemerintahan daerah jamak diwarnai kerja rutinitas birokrasi tanpa progres penting bagi kemajuan daerah.
ADVERTISEMENT
Justru yang menarik, penampilan sebagian penjabat kepala daerah, sukses mengeksekusi program dan mampu memenuhi harapan publik lokal. Padahal proses pengisiannya diangkat, masa jabatan dan kewenangan terbatas, dan tidak memiliki otonomi penuh dalam pengambilan keputusan.
Pun demikian, untuk pejabat definitif saat ini belum banyak riak eksekusi program strategis lokal seperti aksi-aksi Kang Dedi Mulyadi (KDM) di Jawa Barat dan Sherly Tjoanda di Maluku Utara, dan sebagian kecil lain. Publik justru terpukau dengan propaganda masif program strategis pemerintah sehingga kurang peduli terhadap kerja-kerja entitas pemerintahan di level lokal.
Ini semua seolah menguatkan asumsi otonomi daerah perlu dirasionalisasi. Bisa jadi perlu dikurangi, menyesuaikan dengan kehendak rezim mengkonsolidasi kewenangan terpusat demi kepentingan tertentu. Bahkan mungkin termasuk otonomi desa, layak ditata-ulang. Sebagaimana Indikasi terlihat dari program nasional pembentukan koperasi merah putih di desa, yang dikhawatirkan berlanjut dengan penyeragaman program lain sehingga akan mengurangi kemandirian desa.
ADVERTISEMENT
Tantangan Kini dan Ke depan
Selain manuver rezim dan kondisi lokal, tantangan kini dan ke depan memiliki andil besar terhadap langkah perubahan kebijakan strategis nasional. Ini terkait situasi global yang penuh gejolak, tidak pasti, sangat kompleks, dan ambigu kemudian berevolusi menjadi mudah rapuh, penuh kecemasan, tak terduga dan tak dapat dimengerti.
Perang antar negara, konflik etnis, ketegangan negara adidaya, dan terbaru perang ekonomi dan perang tarif, tentu mengganggu situasi politik dan ekonomi nasional. Bahkan mengancam stabilitas pembangunan berbagai program strategis.
Di tengah kesulitan menemukan sumber penerimaan negara yang signifikan demi melanjutkan PSN rezim lalu dan membiayai PSN sekarang, kondisi anggaran yang tersedia harus di-sharing ke daerah dalam jumlah besar.
Fakta ini, berpotensi mengecilkan lapangan permainan otonomi daerah. Pemerintah dengan dukungan penuh parlemen (±80% partai koalisi), mungkin saja secara gradual merevisi total kebijakan desentralisasi dengan dalih situasi negara. Misal, grand design tetap otonomi daerah tetapi peraturan teknis mempraktikan sistem sentralisasi. Jadi, perlahan daerah semakin hilang otonomi.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan reflektif, apakah ini pertanda kita akan kembali ke masa silam - rezim sentralistik-otoriter? Yakinkah kita Kampanye Indonesia Emas tercapai tanpa otonomi daerah?
Pertanyaan ini timbul seiring gaya rezim yang mirip dengan karakteristik rezim competitive authoritarian yang digagas Steven Levitsky & Lucan A Way (2002). Misal, kecurangan pemilu, pelanggaran kebebasan sipil, penyalahgunaan alat negara sehingga mendistorsi lapangan permainan. Kekuatan oposisi terhambat oleh lapangan permainan yang tidak seimbang dan membahayakan sehingga tidak ada persaingan yang adil. Pers tidak lagi kritis terhadap kekuasaan, parlemen dikuasai partai pemerintah, daerah semakin tidak otonom dan kampus menjadi alat legalisasi kebijakan.
Jangan lupa, Sydney J. Harris seorang jurnalis Amerika yang hidup dari tahun 1917 – 1986 pernah mengingatkan bahwa "Sejarah berulang dengan sendirinya, tetapi dengan penyamaran yang licik sehingga kita tidak pernah mendeteksi kemiripannya sampai kerusakan terjadi".
ADVERTISEMENT
Otonomi Sebagai Jalan tengah.
Berangkat dari pemikiran filsuf Aritoteles (384-322SM) perihal jalan tengah dari sebuah keutamaan. Murid cemerlang Platon ini mengajarkan bahwa setiap keutamaan adalah pertengahan dari dua titik ekstrim yang masing-masing kurang baik.
Ajaran Aristoteles ini, patut digunakan dalam memahami otonomi daerah. Sebagai konsekuensi logis adanya desentralisasi, kebijakan ini dapat dikategorikan sebuah keutamaan. Menurut saya, ini sebagai sebuah jalan tengah dari dua titik ekstrim di negara demokrasi bersusunan tunggal, yakni sentralistik-otoriter dan separatis-okhlokrasi-federasi. Pengalaman sejarah dan realitas kondisi menjadi alasan itu.
Pengalaman sejarah membuktikan mengelola negara dengan sistem sentralistik telah membuat sebagian wilayah tertinggal dan tak terjangkau dari sentuhan pembangunan. Fokus pembangunan di Pulau Jawa membuat kesenjangan pembangunan antar wilayah. Dengan kendali pengelolaan negara pada satu titik kekuasaan, rezim cenderung otoriter.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, kondisi obyektif wilayah kita luas, karakteristik masyarakat beragam, disertai fakta daya dukung pembangunan belum merata, sangat riskan mengulang kondisi masa lalu. Sangat sulit memenuhi kebutuhan dasar warga bila penyelenggaraan berbagai urusan publik diletakan pada entitas pusat.
Di sisi lain, Pengalaman sejarah mengingatkan bahwa ada gerakan pemberontakan di sebagian daerah demi memperjuangkan hak mengelola wilayah secara otonom. Pernah ada tuntutan memisahkan diri, ada juga ide membentuk negara federal (Lihat: diskusi awal reformasi oleh Romo Mangunwijaya dkk).
Jadi, pilihan otonomi daerah melalui formula desentralisasi adalah sistem akomodatif dan konstruktif, di mana orang lokal diberikan hak kewenangan menyelesaikan masalah mereka dengan cara mereka, sementara pemerintah memfokuskan pada hal strategis nasional.
ADVERTISEMENT
Betul, otonomi bukanlah segalanya, melainkan sebuah cara mengelola negara dari dua cara yakni pusatkan kekuasaan pada satu titik atau sebarkan kekuasaan kepada entitas lain termasuk daerah. Namun ambisi meraih Indonesia Emas Tanpa Otonomi rasanya sulit. Ini bermakna, target Indonesia Emas (yakni kemakmuran dan kebahagiaan warga), hanya bisa diraih dengan otonomi daerah.
Dengan otonomi, semakin memperkuat kerjasama, koordinasi dan kolaborasi pusat dan daerah dalam mengeloa negara mencapai tujuan. Tidak ada yang merasa ditinggal.
Sebab itu, yang kurang dari otonomi daerah, sebaiknya diperbaiki secara bijak. Daerah yang sejauh ini belum proporsional oleh norma yang berlaku, di tata ulang dengan otonomi asimetris.
Pada akhirnya dibutuhkan komitmen bersama, dan nawaitu ada di tangan pemerintah mau atau tidak menghadirkan formula baru yang tepat dan lebih akomodatif bagi kepentingan strategis nasional dan kebutuhan warga lokal.
ADVERTISEMENT
Biarkan orang lokal menyelesaikan masalah mereka dengan cara mereka, dibawah payung konstitusi yang telah kita sepakati bersama. Mengurangi keekstriman yang mengancam keutuhan adalah sikap mulia yang penuh keluhuran budi dan kelimpahan kebijaksanaan. Jalan tengah adalah Jalan terbaik.
**Dirgahayu Otonomi Daerah XXIX, Dengan Otonomi Kita Raih Indonesia Emas**