Konten dari Pengguna

Pemilu 14 Hari lagi, Sudah Yakinkah Kita?

Petrus Polyando
Saya adalah seorang pembelajar filsafat dan ilmu pemerintahan, saat ini mengajar di IPDN
1 Februari 2024 10:12 WIB
·
waktu baca 15 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Petrus Polyando tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pekerja menurunkan kotak suara pemilu 2024 saat tiba di Gudang Logistik KPU Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (28/10/2023).  Foto: Novrian Arbi/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja menurunkan kotak suara pemilu 2024 saat tiba di Gudang Logistik KPU Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (28/10/2023). Foto: Novrian Arbi/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebuah pertanyaan reflektif diatas sengaja saya jadikan tema utama tulisan ini, untuk mengingatkan kita bahwa 14 hari lagi negara ini akan melakukan hajatan besar pemilu guna memastikan siapa yang berhak menjadi wakil rakyat di parlemen (DPR, DPD, DPRD) maupun siapa yang layak masuk putaran kedua pilpres. Bahkan boleh jadi untuk hasil pilpres di hari H nanti, kita justru memastikan siapa yang berhak duduk di tahta kekuasaan menggantikan pemerintahan Jokowi lima tahun kedepan, karena perolehan suaranya melampaui 50%. Yang jelas untuk hasil pilpres, terdapat dua kemungkinan besar yakni satu putaran atau dua putaran. Soal siapa yang menang satu putaran dan siapa yang berhak masuk dua putaran, tentu bagi pandangan mata orang netral yang melihat secara jernih dan menganalisis secara obyektif, akan sepakat semua pasangan capres-cawapres memiliki peluang yang sama. Meski beberapa hasil survey mempublikasikan ada pasangan tertentu yang unggul jauh dari kedua pasangan lainnya dan berpeluang satu putaran. Namun, hasil survey tetaplah prediktif, dan masih ada celah margin of error. Harus disadari bahwa survey dilakukan saat ini sehingga yang dipaparkan adalah potret hasil bila pilpres dilakukan pada hari ini. Artinya hari esok dan kedepannya belum tentu seperti itu, bisa saja berubah, karena itu belum ada kepastian sehingga meletakan semua pasangan pada peluang yang sama adalah pilihan bijak. Argumentasinya didasarkan pada peluang skenario lain di luar prediksi hasil survey, semisal ada blunder politik yang dilakukan oleh pasangan yang unggul survey dimana kondisi paslon yang unggul survey terganggu karena perubahan yang tidak dapat diprediksi dan dikontrol (turbulensi) kemudian menyebabkan terjadi peralihan arah dukungan kepada pasangan lainnya. Jadi kita perlu mengembalikan kesadaran kita, memulihkan hati kita, meningkatkan kewarasan kita bahwa semua kemungkinan bisa saja terjadi.
ADVERTISEMENT

Kumpulkan informasi, lakukan analisis, baru bertindak

Setiap orang perlu melihat siapa dirinya secara utuh, kemudian menyadari bahwa dia bukanlah hewan dan dia juga bukanlah dewa. Meski Aristoteles (384-322 SM) seorang filsuf yunani kuno muridnya platon, seringkali mempersepsikan pribadi manusia sebagai hewan dengan embel-embel nilai lebih dibelakangnya, tapi tetaplah manusia adalah makluk yang beda. Salah satu ungkapannya yang terkenal adalah soal manusia dianggap sebagai hewan (makluk) rasional. Dia meletakan bahwa manusia adalah makluk yang lebih tinggi dari hewan, sekaligus menegaskan ada perbedaan besar antara manusia dan hewan. Manusia memiliki kemampuan rasional, ada refleksi, ada pertimbangan dan ada penyempurnaan emosi dan nafsu. Sebab itu, penggunaan kekuatan akal merupakan salah satu ciri penting yang membedakan manusia dengan hewan. Dibalik itu, manusia juga bukan dewa yang maha-tahu, maha-bijaksana dan maha-segalanya, karena itu membutuhkan usaha terus-menerus melalui pengalaman dan pelatihan diri.
ADVERTISEMENT
Kembali soal situasi menjelang pemilu (pilpres). Saat ini kita disuguhi dengan lalu lintas informasi yang penuh sesak (crowded) seputar pemilu (pilpres) dari berbagai media massa mainstream maupun media sosial. Pro dan kontra mewarnai pandangan politik bahkan menambah pelik persoalan kenegaraan maupun persoalan kehidupan sosial kita. Dorongan membagi informasi semakin besar bahkan semua orang berlomba menjadi yang pertama menyampaikan ke media sosial. Tidak peduli informasi tersebut tervalidasi atau tidak, menyesatkan pembaca atau tidak, berdampak positif atau negatif, yang penting emosi bisa tersalurkan, entah untuk mendukung seseorang atau sebaliknya. Soal benar salah nanti dulu.
Dinamika pembicaraan di ruang publik yang melibatkan emosi tidak terkontrol, kemudian menyebabkan kesulitan kita membedakan mana awam, mana intelektual dan mana pakar. Yang awam sudah naik kelas menjadi intelektual, sehingga bidang apapun menjadi santapan baginya untuk berbicara. Walau dengan informasi yang belum tentu benar, tanpa data atau menciptakan data palsu, asal dapat diakui, dipandang dan mungkin diterima sebagai yang kompeten. Yang pakar justru menjadi tersisi karena kehati-hatiannya berpendapat bahkan menolak berpendapat di luar bidang keahliannya. Yang lebih gawat lagi ketika semua orang merasa dirinya intelektual dengan mengambil alih semua hal dan merasa memiliki pengetahuan mumpuni sehingga menjadikannya pusat perhatian. Dan inilah sebenarnya tren manusia zaman now. Padahal kelompok awam dan kaum intelektual zaman now yang menguasai panggung media sosial, sesungguhnya adalah kelompok yang tidak kompeten. Yang lebih parahnya lagi, mereka telah meletakan dirinya terlalu tinggi untuk tampil percaya diri dan menguasai panggung diskusi/debat. Fenomena sosial ini kemudian oleh David Dunning & Justin Kruger (1999) menegaskan bahwa semakin bodoh seseorang, semakin dirinya yakin kalau sebenarnya dia tidak bodoh. Sederhananya semakin tidak kompeten seseorang, semakin dia tidak tahu ketika dia salah dan orang lain benar, semakin dia berusaha berpura-pura dan semakin dia tidak mampu mempelajari apapun.
ADVERTISEMENT
Dalam soal politik, sangat umum terjadi bias konfirmasi dimana kecenderungan orang mencari informasi yang hanya membenarkan apa yang telah dipercayainya, menerima fakta yang hanya memperkuat penjelasan yang disukai, dan menolak data yang menentang sesuatu yang diterima sebagai kebenaran. Perilaku ini saya letakan dengan istilah “model mental pokoknya”. Pokoknya Si-A harus menang, Si-B harus kalah, Pokoknya Si-A harus naik, Si-B harus turun, dll Pokoknya. Bias konfirmasi dengan model mental pokoknya ini, membuat orang menjadi berkurang kadar rasionalitas dan meningkat bahkan membludak kadar emosionalnya. Barangkali soal emosional ini perlu ada penelitian khusus bidang kesehatan yang mengukur tekanan darah masyarakat pada tahun politik dan angka pembelian obat tekanan darah tinggi. Dugaanku sih keduanya meningkat baik tekanan darah maupun angka pembelian obat penurunnya.
ADVERTISEMENT
Fakta, predisposisi masyarakat yang mendahulukan emosi, membuat mereka kehilangan akal sehat sehingga mengabaikan naluri kritisnya sebagai langkah awal bereaksi terhadap suatu isu. Informasi tidak dikumpulkan secara komprehensif atau bersifat parsial tanpa melakukan validasi atau konfirmasi keabsahannya. Sehingga yang terjadi adalah rimba raya umpatan sampah yang terus menerus diproduksi dan di daur-ulang dengan narasi yang berbeda. Pengulangan terus menerus ini kemudian menjadi sebuah kebenaran baru. Inilah yang dikenal dengan Era post-truth, dimana sebagian besar publik merasakan mereka berada dalam situasi tersebut. Era dimana keyakinan personal terhadap suatu informasi lebih dominan ketimbang fakta sesungguhnya. Sehingga sangatlah lumrah hoaks atau berita bohong, dalam isu-isu sosial politik saat ini semakin melimpah.
Sebagai makluk rasional mengikuti gagasan Aristoteles, sepatutnya kita mendahulukan sikap mawas diri ilmiah, dengan menggunakan akal sehat. Semua yang masuk dalam perdebatan suatu isu politik di ruang publik atau media sosial patut ditelaah, diverifikasi dan dianalisis dengan nalar dan jalan pikiran yang masuk akal. Kita tidak harus menjadi yang terdepan bereaksi, tidak perlu takut dikatakan orang biasa saja, tidak perlu merasa kurang intelektual. Abaikan itu dan fokuskan pada pembiasaan diri menghadirkan data dan informasi yang akurat, terverifikasi dan tervalidasi. Sebab itu sebelum melakukan tindakan apapun, seperti berpendapat, memberikan respon atau kalrifikasi, lengkapi data dan informasi, lakukan analisis berulang sampai memiliki keyakinan mendalam atas tingkat keakuratan tertinggi.
ADVERTISEMENT

Soal Keyakinan Pilihan Dalam Politik

Pandangan Glenn Reynolds seorang kolumnis yang dikutip oleh Tom Nichols (2023) barangkali sangat relevan untuk diperhatikan, bahwa untuk menjadi pemilih (voter) seseorang harus mampu berpartisipasi dalam diskusi politik orang dewasa, agar mampu mendengarkan argumen yang bertentangan untuk mengubah pikirannya sebagai reaksi terhadap bukti baru. Nah, keterlibatan masyarakat mengakses informasi seputar pemilu di berbagai media tentu merupakan sarana partisipasi politik sekaligus menjadi ruang pendidikan politik, terlepas dari kualitas informasi tervalidasi atau tidak. Dengan informasi yang beredar, pilihan bisa dipertanggungjawabkan, dan orang tidak sekedar mem-beo, tanpa tahu alasan memilih. Ini juga sebagai bahan validasi tambahan atas informasi saat kampanye dan debat sehingga semakin menambah naluri kritis masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya secara benar.
ADVERTISEMENT
Pada ruang media sosial, semua orang telah masuk dalam ruang perdebatan bebas tanpa kontrol dan terjebak emosi. Mereka menghadirkan banyak diskursus soal bagaimana pemerintahan bekerja, bagaimana hak publik mereka harus terpenuhi, apa kewajiban mereka sebagai warga negara, kapan mereka bisa menikmati kehidupan yang sejahtera, adil dan merata sebagaimana warga negara lainnya. Dan masih banyak tema lainnya yang berkembang dalam ruang publik. Intinya media informasi telah membuka pemahaman baru kepada masyarakat sekaligus menggiring mereka memiliki alasan dalam mementukan pilihannya.
Soal keyakinan akan pilihannya, tentu ada pengaruh besar dari informasi dalam diskusi di ruang media sosial. Bagi yang telah menetapkan hatinya pada pasangan tertentu, informasi yang ada menjadi suplemen atas keyakinan mereka, sehingga mereka hanya akan berusaha mencari informasi searah dengan pilihannya. Kelompok ini sering dikenal sebagai pemilih tradisional yang sangat kuat akar ideologisnya. Namun, bagi kedua kelompok lainnya (swing voters & undecided voters), yang belum memastikan pilihannya tentu akses mereka pada ruang media sosial dan media mainstream dapat menjadi sarana mendapatkan informasi sebagai bahan pertimbangan menetapkan pilihannya. Sementara itu pada kelompok skeptis, yang tidak terafiliasi dengan kandidat atau partai tertentu bisa jadi informasi di ruang media sosial yang diakses semakin menguatkan mereka sebagai Golput. Karena menurut pemahaman mereka, yang ditawarkan tidak akan mengubah apapun. Namun, bisa juga sebaliknya ketika informasi yang menakjubkan soal harapan masa depan yang lebih baik dari kandidat tertentu dihadirkan, mampu mengubah pandangan mereka. Jadi, jelas bahwa suguhan informasi di berbagai media saat ini, telah mengantarkan masyarakat pada dimensi aktif sebagai warga negara.
ADVERTISEMENT

Terkait ketiga Paslon (Anis-Muhamimin, Prabowo-Gibran, Ganjar-Mahfud)

Sudah yakinkah kita terhadap ketiga kandidat pasangan capres-cawapres di atas? Lebih tegasnya apakah kita yakin kalau salah satu dari mereka ketika mendapatkan kepercayaan masyarakat, serta merta semua persoalan bangsa ini akan beres? Pertanyaan ini tentu menghadirkan banyak reaksi jawaban yang sebenarnya mencerminkan dua kelompok besar yaitu mereka yang rasional dan mereka yang emosional. Yang emosional dapat dibagi pada tiga pasangan masing-masing, sementara yang rasional adalah mereka yang berusaha bijak dan selalu menggunakan nalar pengetahuan dan naluri kritisnya.
Bagi kelompok emosional paslon-1 pertanyaan tersebut, jelas akan dijawab dengan tegas, suara lantang, mata menyala dibumbuhi dengan raut wajah meyakinkan, akan menyatakan Yakin 100%. Bahwa kandidatnya akan membereskan semua masalah dengan selepet. Hal yang sama berlaku bagi paslon-2, mereka pun akan menjawab dengan keyakinan yang sama bahwa semuanya bisa terselesaikan di tangan kandidatnya, karena itu cukup dengan joged gemoy. Ini juga berlaku bagi paslon-3, yang selalu Stylish dengan jaketnya. Pertanyaan tersebut akan dijawab oleh pendukungnya dengan sangat yakin menyatakan semuanya beres dengan gerak-gerik sat-set. Jadi itulah jawaban pemilih emosional yang penuh semangat memberikan respon sama “yakin” atau “sangat yakin”. Mereka tidak peduli yang ditawarkan itu masuk akal atau tidak, janjinya bisa terpenuhi atau tidak dikemudian hari, sekali lagi mereka tidak peduli. Semuanya telah terbius dengan alasan yang dibangun dan telah tertanam ikatan emosional dalam nuraninya, sebagai semangat perjuangan yang tidak dapat ditawar. Intinya dengan cara apapun kandidat mereka harus menang.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana dengan kelompok rasional. Nah, ini membutuhkan elaborasi lebih dalam atas pertimbangan mereka terhadap ketiga paslon. Biasanya kelompok ini adalah kumpulan orang-orang yang terkondisi merespon pertanyaan di atas dengan mulai menganalisis apa yang hendak dibuat oleh paslon yang ada. Mereka mulai mengumpulkan berbagai informasi kemudian dengan pengetahuan yang ada, dilakukan analisis apakah ucapan para kandidat dapat dipertimbangkan (admissible). Apa betul yang dijanjikan itu akan mampu dikerjakan. Apa betul yang akan dikerjakan tersebut akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dari yang diperoleh sekarang. Ragam perbahasan ini menjadi proses panjang mengantarkan mereka pada kalkulasi yang cermat, penuh kehati-hatian dan validasi yang teliti atas program yang ditawarkan para kandidat, diikuti analisis dukungan sumber daya yang ada, sehingga sampailah pada pilihan jawaban akhir atas keyakinan mereka dalam skala tertentu.
ADVERTISEMENT
Kaum rasional, biasanya memulai menyoroti apa ide besar masing-masing paslon pada saat debat atau saat kampanye terbuka. Dan tampaknya semua paslon memiliki gagasan yang ditawarkan namun sifatnya hanyalah kontrakonsep atau bisa dibilang asal berbeda satu sama lainnya. Paslon 1 menawarkan visi Indonesia adil dan makmur untuk semua. Dengan mengusung ide perubahan, namun perubahan apa yang ditawarkan belum jelas ditangkap publik. Bahkan mungkin membingungkan masyarakat yang sudah menikmati hasil pembangunan di masa pemerintahan Jokowi. Yang pasti posisinya paslon-1 soal perubahan adalah menghentikan proyek IKN. Kemudian paslon-2, mereka menawarkan visi bersama indonesia maju menuju indonesia emas 2045. Ini juga mengusung ide keberlanjutan yakni meneruskan program pemerintahan Jokowi. Pertanyaan publik adalah apakah mereka yakin semua sektor yang dikerjakan pemerintahan Jokowi sudah sesuai koridor? Selanjutnya kepada paslon-3, mereka menawarkan visi menuju indonesia unggul gerak cepat, mewujudkan negara maritim yang adil dan lestari. Pasangan ini sebenarnya juga ada keberlanjutan dengan penguatan tertentu atau meningkatkan target capaian dari pemerintahan Jokowi. Tapi pertanyaan publik adalah apa bedanya dengan paslon-2?
ADVERTISEMENT
Di atas diskusi kaum rasionalis, tampak ada gugatan yang patut dipertimbangkan. Misal kepercayaan diri para kandidat yang berusaha tampil dalam debat maupun kampanye di beberapa daerah yang seolah kalau mereka terpilih semua masalah bangsa akan terselesaikan oleh mereka dalam waktu lima tahun. Bagi kaum rasionalis ini hal yang bullshit. Mengapa demikian? Ada ragam alasan yang bisa ditampilkan. Bagi ilmuwan maupun praktisi pemerintahan, mengatur dan mengurus negara ini adalah kerja banyak pihak, banyak entitas penyelenggara pemerintahan antara lain: Pusat, Propinsi dan Kabupaten/kota serta juga komunitas masyarakat lokal yang dikenal desa. Kewenangannya telah dibagi. Pertanyaannya adakah selama debat atau kampanye para kandidat menawarkan gagasan soal relasi antara pusat dan daerah dalam kerangka desentralisasi dan otonomi daerah? Yang sempat terpublikasi secara gamblang mungkin soal desa, dimana para kandidat menawarkan variasi gagasan soal bagaimana akan memperlakukan desa. Ada yang menawarkan kenaikan dana desa, ada yang menjanjikan fasilitas kesehatan satu desa, ada yang bersedia membangun dari desa, dll. Lalu bagaimana dengan sinkroniasi program pembangunan antar level pemerintahan, bagaimana dengan isu re-sentralisasi, bagaimana dengan isu tata kelola dan manajemen pemerintahan daerah dan bagaimana dengan posisi gubernur selaku wakil pemerintah pusat. Ini semua adalah persoalan otonomi daerah yang sangat krusial bagi penyelenggaraan pemerintahan yang terasa dampaknya oleh banyak pihak namun terkesan terabaikan para kandidat, sehingga oleh Djohermansyah Djohan dalam opininya yang terpublikasi melalui harian kompas tanggal 16 januari 2024 mengupas kembali dalam Slepet, Joget atau Sat-set Otonomi daerah.
ADVERTISEMENT
Soal mengelola daerah, yang tampaknya sering terlupakan adalah bagaimana mendekatkan akses orang kepulauan dan orang perbatasan akan layanan publik yang mudah dan murah terjangkau, sehingga mereka dapat menikmati kesejahteraan sebagaimana daerah lainnya. Para kandidat seolah memfokuskan pengelolaan negara berbasiskan daratan, lupa bahwa secara de facto negara kita terdiri dari ribuan pulau dengan tingkat kesulitan akses orang pulau terhadap layanan publik sangat tinggi, biaya hidup tinggi dan berbagai kebutuhan pokok sulit terpenuhi. Realitas sosial ini dialami dan dinikmati masyarakat di kepulauan sejak Indonesia merdeka. Ada yang bahkan hingga kini belum menikmati listrik, air bersih, jalan raya di saat masyarakat daerah di wilayah daratan sudah menikmati kemewahan fasilitas internet dll. Padahal secara de jure pun kita telah menegaskan dalam konstitusi kita pasal 25 A bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batasbatas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Semestinya para kandidat berlomba menghadirkan gagasan mengubah pola pembangunan berbasiskan kepulauan dengan agenda konkrit. Pemerintahan Jokowi pernah mneghadirkan tol laut namun tampaknya menyisahkan banyak keluhan, lalu pada kandidat sekarang sekilas ada pasangan ganjar-mahfud menegaskan akan mewujudkan negara maritim yang adil dan lestari. Namun itupun seperti apa belum teridentifikasi dengan tuntas. Jadi bisa dikatakan semua kandidat belum memiliki gagasan besar soal mengelola negara berbasiskan kepulauan. Pentingkah ini dihadirkan? Jelas bagi orang kepulauan hal ini sangat penting mengingat secara de facto dan de jure telah diakui, realitas sosial membuktikan ada gap yang sangat besar soal kesejahteraan mereka dengan masyarakat di daerah non-kepulauan. Bila ini tidak menjadi perhatian utama pemerintah, kita akan kesulitan menggapai target kemajuan Indonesia menyongsong Indonesia emas 2045.
ADVERTISEMENT
Soal Menyongsong Indonesia emas 2045, ini pun tampaknya para kandidat tidak jelas merinci apa desain besar mereka untuk menuju kesana. Yang ditampilkan saat debat maupun kampanye adalah sahut-sahutan saling menyerang, tanpa ada yang membicarakan ketika terpilih dia akan mempersiapkan apa untuk menuju Indonesia emas. Semua saling sangah-menyangga soal masa lalu mereka masing-masing, sehingga lupa membicarakan masa depan. Padahal semestinya sebagai calon pemimpin harus memulai dengan ide besar untuk Indonesia kedepannya. Apa langkah strategis yang ditawarkan ketika kelak mereka terpilih sehingga meyakinkan masyarakat bahwa merekalah yang layak memimpin 278,7 Juta jiwa Penduduk Indonesia (BPS,2023).
Inilah sekilas potret program pasangan calon saat ini yang bisa dijadikan bahan pertimbangan memilih mereka. Tentu bisa dilengkapi dengan data lainnya soal track record atau rekam jejak namun jangan terlalu fokus dengan masa lalu tapi lihat juga apa ide besar mereka untuk masa depan.
ADVERTISEMENT

Epilog

Semua ulasan singkat di atas semoga memberikan jawaban pada diri kita soal kesiapan fisik, mental, pikiran, dan hati yang dipenuhi dengan informasi yang tervalidasi dengan baik sehingga kita memiliki keyakinan akan pilihan kita. Mari meyakinkan kembali diri untuk memilih dan meyakinkan dalam hati kita siapa pilihan kita. Baiknya kita berusaha rasional, jangan meletakan kesetiaan pada orang tapi pada ide besar. Dengan demikian, apapun yang terjadi pada hari spesial tanggal 14 Februari adalah yang terbaik bagi bangsa dan negara sehingga kita semua akan menerima dengan besar hati. Ingat, Siapapun yang terpilih, mereka adalah anak bangsa yang harus didukung. Kita telah memilih demokrasi sebagai sistem politik pemerintahan terbaik saat ini. Mari kita rawat dan kita benahi bersama dengan sebaik-baiknya. Pemilu adalah bagian dari demokrasi, mari kita berpartisipasi aktif guna mewujudkan kualitas demokrasi kita. Mengutip pernyataan filsuf Franz Magnis Suseno (FMS) bahwa pemilu bukan memilih yang terbaik tapi mencegah yang buruk berkuasa. Semoga ini menjadi dasar untuk meyakinkan diri kita akan kandidat yang dipilih nantinya benar-benar keburukannya paling sedikit. Semua kandidat tentu ada keburukannya dan ingin menang namun yang paling banyak menebar kasih sayang akan mendapatkan hadiah terindah di hari valentine berupa tahta kekuasaan 5 tahun kedepan. Bagi orang Katholik, tanggal 14 Februari adalah hari yang sangat spesial, Saatnya benar-benar menjalankan ajaran menjadi 100% Katholik 100% Indonesia. Pada hari tersebut adalah hari kasih sayang, sekaligus hari pemilihan umum dan juga hari rabu abu awal mula memasuki masa pra-paskah atau masa puasa. Bunga dan Coklat lambang kasih sayang, Tinta diujung jari melambangkan warga negara yang baik, dan abu di dahi simbol pertobatan.
ADVERTISEMENT